Selasa, 13 September 2011

Cerpen Ahay...


Di Sungai Waktu Itu
Sebuah Surat cinta

Suatu kali aku mengajakmu berjalan menyusuri sungai dari siang yang mulai pudar  hingga langit berwarna oranye. Sungai yang berliku seperti sejarah setiap kehidupan. Entah apa yang kamu rasakan waktu itu. Sepertinya kita tak pernah lelah meski keringat bercucuran dan jari-jari kaki memohon-mohon untuk diam sebentar. Kamu tahu mengapa kita terus melangkah? Sebab langkah itu seperti perasaan, ia berjalan sendiri, kadang menggelinding meninggalkan semua kompromi. Tak ada yang mampu mengalahkannya, kalaupun ada pasti sedang terjadi konspirasi antara Iblis, Malaikat dan Tuhan. Ah, biarkan saja. Biarkan ia tetap bernama perasaan. Jangan kamu tambahi nama keluarga, nama marga atau nama baptis ataupun nama Arab. Biarkan ia bangga dengan namanya sendiri.
Aku masih ingat waktu itu di bulan Februari, bulan pertama setelah aku menyatakan cinta padamu. Cinta yang selalu berkibar-kibar dan telanjang. Kita sudah berjanji sebelum melangkah pertama kali. Di jalan nanti kita tidak boleh jajan sembarangan karena tidak baik untuk kesehatan. Jika melihat burung jangan bertanya mengapa ia bisa terbang, jangan bertanya mengapa ikan-ikan bisa berenang, jangan bertanya berapa centi meter loncatan katak. Biarkan saja, kita tinggal melihat dan percaya pada irama semesta. Kelak kita pasti akan mengerti. Tapi kalau tersesat boleh bertanya pada pohon-pohon atau debu-debu yang mampir di pori-pori kita, karena pohon dan debu tak pernah berbohong. Pasti akan ada jalan yang  membawakan arah untuk kita. Yupz! Kita melangkah…
Perjalananan ini seperti cerita legenda yang di dalamnya memuat pesan dan peristiwa, juga ada puisi di sesela percakapan nanti. Kita hanya berdua tak ada masyarakat dan agama yang menemani sepanjang jalan, hanya ada dua liter air bekal perjalanan. Kata Kakekku berdua itu lucu, berdua itu berpikir, berdua itu berjuang, berdua itu bertengkar, berdua itu pilihan, berdua itu bajingan juga. Jika ingin sendiri cabutlah rumput lalu dekatkan ke telingamu, pasti dia akan berbisik: kembalilah padanya, peluklah dia dan berbaik-baiklah. Atau kalau kamu tak percaya pada rumput dekatkan telingamu pada ilalang, perdu, belukar atau serangga atau apa saja, pasti mereka akan berbisik sama seperti bisikan rumput. Kalau kamu tetap besikeras ingin sendiri dan menjauh dari bisikan semua mahkluk Tuhan itu, maka air sungai dan angin akan selalu berbisik padamu. Kamu tahu mengapa aku yakin semua bakal berbisik padamu? hihiiiihiii…karena mereka juga pernah berbisik padaku. Mereka semua sahabatku, juga sahabatmu. Mereka tak mau melihat kita berpisah, semua mahkluk Tuhan menyayangi kita. Percayalah.
Berjalan itu menyusun keberanian kecil dalam dada kita. Keberanian yang nanti akan menjadi bukit dan gunung-gunung…

di bawah matahari sore by: Sang







Di Kelokan Pertama
Aku melihat seekor burung kecil terbang mengejar kawanannya yang terbang jauh meninggalkannya. Suara cicit burung kecil itu sungguh lucu, membuatku teringat masa kecil dulu ketika pagi tiba, ketika aku terbangun dan merasakan sepi yang aneh. Tak ada suara radio atau suara ayah ibuku  hanya suara daun jendela yang bergerak kecil membentur-bentur kusen lantaran tertiup angin pagi. Aku sendirian dan perutku lapar sekali. Aku memanggil ayahku, aku memanggil ibuku tapi tak ada yang datang. Meoong…kulihat kucingku di kolong tempat tidur menghabiskan nasi kering sisa makannya kemarin. Aku keluar rumah lewat pintu belakang mencari ayah ibuku. Kutanyakan pada tetangga sebelah, kemana ayah ibuku pergi.
“Ayahmu kerja sejak pagi pukul lima, ibumu...hmm…ibumu hilang dicuri Jin semalam,” kata tetanggaku dengan santai. Aku terkejut, aku bersedih, mataku berkaca-kaca. Kutinggalkan tetanggaku. Aku menangis sambil kupanggil ibuku. Ibu..ibu..ibu..lalu aku berlari mencari ibuku di sepanjang jalan sambil terisak-isak. Isakanku hampir mirip seperti cicit burung yang terbang sendirian itu.
Hey…! Ayo lekas jalan!” teriakanmu  menyadarkanku dari lamunan. Rupanya kamu membiarkanku berhenti mengamati burung kecil itu.
Sementara sungai masih mengalir dan airnya tak pernah habis. Sungai yang kita susuri bukan sungai episodic[1] atau ephemeral[2] melainkan sungai permanen yang airnya tak pernah surut. Ia mengalir dari jaman ke jaman, mencipta ekosistem yang harmonis. Sebuah kehidupan yang selalu ramai. Tak pernah ada yang merasa sepi di dekat sungai, seperti kita saat ini.
Tidakkah kau tahu, peradaban dunia dimulai dari sungai? Sebab sungai seperti ibu bagi kehidupan. Maka di kelokan pertama ini ingin kukatakan padamu: kita akan membangun sebuah peradaban mini buah tangan kita sendiri.
Kita melangkah mengikuti jalan setapak di atas kelokan sungai yang airnya mengalir tenang…

Di Kelokan Kedua
Hujan datang tiba-tiba, ia tidak SMS dulu atau setidaknya berteriak dari atas agar kita lebih santai mencari tempat berteduh yang nyaman, tak perlu berlari mencari pohon rimbun. Sungguh gerombolan hujan yang tidak sopan. Yah, setiap gerombolan memang tidak sopan dan sembarangan. Ia turun di saat yang tak tepat, saat yang begitu menyenangkan dan menenangkan. Segera kugandeng tanganmu dan kuajak berlari untuk berteduh. 
Di bawah pohon, kita melihat hujan yang usil dan sesekali tempias air mengenai baju dan kulit kita. Aku berdiri dibelakangmu dan kulingkarkan kedua tanganku ke pinggangmu, secara reflek kedua tanganmu meraih pergelangan tanganku. Biarkan orang lewat membatin kita seperti model kalender tahun delapan puluhan. 
Kita tak banyak bercakap lantaran mata kita terlalu asyik melihat hujan yang jatuh membrondong sungai. Kecipak air hujan seperti melukis ornamen kemarahan di permukaan sungai. Jika kamu tahu, sungai tengah melukis dirinya sendiri agar tak hanya mengalir tenang tapi sewaktu-waktu ada deras dari dalam dan luar dirinya. Sejatinya air hujan yang marah itu kembali pada asal-usulnya. Ia larut menjadi aliran dan menghidupkan tubuh sungai menjadi gerak yang lincah. Sungai selalu menerima apa yang akan dihadapinya sebab ia tahu semua yang berasal dari dirinya akan kembali ke dalam dirinya meski dalam bentuk yang berbeda. Seperti sedih, kecewa, cemburu, luka, bahagia dan apa saja yang sewaktu-waktu datang menyambangi kita dalam bentuk yang selalu baru. Dan kita harus meyakini seperti sungai, menerima dan mengolahnya menjadi bagian dari tubuh kita. Tubuh yang berhias peristiwa.
Tenanglah hujan tak menjadi hambatan dalam perjalan ini. Ia akan turun sebentar sebab matahari masih bersinar dan di langit tak ada mendung. Memang aneh, tapi senyatanya terjadi, Nenek menamainya hujan tokek.
Hujan berhenti menyisakan gerimis yang malas dan jalan yang sedikit becek. Aku menggandeng tanganmu berjalan sambil melompati genangan air.
“Hati-hati! Jangan meloncat sebelum aku siap meloncat.” Pesanmu padaku.
“Maafkan aku ya, aku sudah memperhitungkan setiap loncatan kita tapi jalannya terlalu licin hingga membuatmu terpeleset. Hiihhii…tidak,  kamu tidak jatuh seluruhnya sebab tanganku masih sempat meraih tubuhmu untuk berdiri, hanya kaki kananmu saja yang menyentuh tanah dan menjadi kotor lantaran tanah basah itu menempel di celana dan kulitmu. Ah, tak apalah  hanya sedikit kotor tanah becek yang  melekat di kulit dan celana, nanti kita cuci di pinggir sungai tapi biarkan saja kotoran masih melekat meski sudah kita basuh dengan air. Mmm… Kadang kita memang harus bersahabat dengan ke-kotor-an agar lebih mengenali untuk berjuang menjadi bersih. Dan setelah bersih nanti pasti banyak kotoran lain akan mendekati kita. Jangan bersedih, ingat! Mereka telah menjadi sahabat kita.” Cerewetku kepadamu.
Aku menggandengmu lebih hati-hati dalam perjalanan, tanganmu erat sekali menggenggam tanganku. Demikian juga aku.

Di Kelokan ke Ketiga
Di tepi sungai setelah membersihkan celana panjang dan telapak kaki dengan basuhan air, kita melihat sesuatu yang lucu, sesuatu yang meminta untuk didekati. Kita melihat genangan air yang jernih, pasir dan batu kerikil terlihat sangat jelas. Air dalam genangan itu jauh berbeda dengan air yang tengah mengalir di sungai. Kita berjongkok memandangi air jernih itu berlama-lama, di dalamnya ada batu krikil dan pasir hitam yang begitu tentram berdiam. Ada juga udang kecil yang bersembunyi di balik kerikil, sepasang udang yang tengah bercanda. Ketika aku hendak menyentuhkan ujung jariku, kamu melarangku.
“Jangan, nanti udangnya berubah monster. Biarkan ia menjadi udang kecil dibalik kerikil, jika ingin menyentuh sentuhlah dengan hatimu,” katamu sambil menahan tangan kananku.
Aku menoleh padamu yang masih asyik melihat sepasang udang itu.
“Jika kamu tahu, setiap kebahagiaan itu datang dari dalam hati, kamu tak dapat menyentuh atau meraba kebahagiaan. Kalau kebahagian itu berupa materi ia akan kedinginan dan kepanasan lalu lapuk atau rusak atau bisa jadi terjungkal. Biarkan sepasang udang itu bercanda dengan bahasanya sendiri, setiap mahkluk punya dunianya sendiri dan berhak membangunnya.” Aku hanya melongo melihatmu berbicara sambil terus melihat sepasang udang itu. Tiba-tiba tanganmu meraih tanganku dan mengajakku meninggalkan pinggir sungai melanjutkan perjalanan.  
Di jalan kamu masih terus bercerita tentang sebuah dunia yang pernah kamu lihat, seperti dunia sepasang udang tadi.  Dulu ketika remaja kamu pernah membenci sekolah dan keluarga, rasanya tak pernah ada yang mau mengerti dan memperhatikanmu. Hidupmu seperti angin yang ingin bertiup namun selalu saja ada dinding yang mengembalikanmu ke tempat semula. Padahal cita-citamu sangat sederhana, kamu hanya ingin punya keinginan.
Lantas kamu menciptakan duniamu sendiri yang kurasa cukup menyenangkan untuk dibayangkan. Ooww…andaikan saja kamu adalah Kanchana Ketkeaw si gadis kalajengking dari Thailand yang tubuhnya kebal dengan sengatan[3], pasti kamu sudah memilih hidup bersama ribuan Kalajengking di dalam kamar, lantaran Kalajengking lebih jujur dan nggak butuh kekuasaan atau kehormatan. Kalajengking nggak pernah takut miskin dan lebih bersahabat. Tapi kamu punya pilihan  yang lebih menyenangkan, setiap kali rumah sedang sepi kamu sering melihat rendaman air cucian piring berlama-lama. Duuuh…dalam rendaman itu kamu melihat sebuah dunia yang diam, kamu menyebutnya dunia para pertapa. Ada piring-piring yang tergeletak dan sisa nasi yang melayang-layang, juga gelas yang jatuh terkulai, dan sekumpulan minyak yang mengambang enggan menyatu dengan air meski ia dipaksa di dalam air.
Semua diam berendam dan melayang-layang seperti tengah merenung. Tapi katamu, mereka semua baik hati, piring, gelas, nasi dan minyak menjadi sahabatmu untuk bercerita tentang apapun. Mereka juga selalu menceritakan percakapan ayah ibumu. Merekalah yang membuatmu bahagia. Nasi-nasi itu mengajarimu menari untuk mengusir segala sepi. Minyak mengajarimu sebuah tekad untuk terus bertahan meski kamu berada dalam pusaran yang mengutukmu. Piring dan gelas itu seolah mengatakan padamu: berdiam dan tersenyumlah sebab esok hari selalu ada matahari yang membasuhmu dengan segala kesegaran hidup. Itulah yang dinamai keyakinan dan daya hidup.
Pelan-pelan tanganmu melepas genggamanku lalu berlari meninggalkanku.
“Heii laki-laki pemalas! Ayo kejarlah aku! Lihatlah ada jalan lurus yang akan membuat kita lebih tenang dan bisa melihat jarak yang jauh. Ayolah!” Teriakmu dari jauh di depanku.
Aku belari menyusulmu.

Jalan Lurus
Senang rasanya dapat berdekatan denganmu lagi dan ingin bercerita tentang banyak tentang…
Kamu mengajakku berhenti sebentar, haus katamu. Seperempat air dalam botol itu telah menghapus hausmu dan hausku. Wajahmu tampak kembali cerah dan segar, matamu melihat arah yang jauh dan pasti.  Jajaran pohon dan rerumputan di pinggir jalan itu begitu menawanmu.
“Siapa yang menatanya hingga seperspektif itu?” tanyamu entah pada siapa.
“Yang jelas bukan pemilik supermarket!” ku jawab dengan seloroh.
Kamu cemberut melihatku. Baiklah akan kujelaskan maksudku, bukankah sudah kubilang sejak awal bahwa pohon dan rumput itu baik hati. Mereka tak pernah berbohong seperti manusia. Mereka jujur, rasakan saja betapa pohon dan rumput bisa menata dirinya sendiri dan tak pernah mengganggu pohon yang lain. Dapatkah kamu mengimajinasikan jika kelak manusia bisa menata dirinya sendiri dan tak saling mengganggu? Maka tak pernah ada kecelakaan di jalan, tak pernah ada penindasan, tak ada korupsi dan penipuan, tak ada perang, tak perlu ada agama dan mungkin tak ada lagi dunia ini. J
Pohon dan rumput tak pernah ada kelas, mana yang tinggi dan mana yang rendah. Kita bisa menikmatinya secara bersamaan dan tak perlu memilih seperti di Supermarket, yang menata barang dengan strategi yang manis: barang yang lebih murah biasanya diletakkan di rak bawah, sementara yang lebih mahal diletakkan sejajar dengan pandangan mata[4].
Aku pesankan juga padamu di jalan lurus ini, jika ada buaya nyasar di sungai lalu naik ke atas dan mengejar kita, maka kemungkinan besar ia akan mengejar dengan cepat dan leluasa karena buaya akan bergerak lebih cepat di darat. Maka berlarilah berkelok kelok agar buaya kebingungan. Buaya akan kesulitan mengubah arah secara tiba-tiba[5].
“Buayanya kamu kan?” tuduhmu.
“Aduh, aku bukan buaya, aku ini kado dari malaikat untukmu.” Aku tersenyum melihatmu tertawa sinis padaku.
Kamu tahu? Jalan ini lurus seperti masa lalu. Ya, katanya masa lalu itu penuh lika-liku, namun sejatinya masa lalu itu terlalu lurus dan dapat kita tempuh sewaktu-waktu. Begitu cepat dan lancarnya kita bercerita tentang masa lalu sepahit dan segembira apapun meski diikuti tangis atau tawa.  Ia seperti sebuah jalan tanpa liku yang dengan cepat dapat kita telusuri. Menurutku masalalu itu mirip minyak kayu putih, karena rasanya semriwing dan membuat kita nggak masuk angin, bebas dari rasa mual dan menghangatkan tubuh. Masa lalu telah membuat serum kekebalan dalam tubuh, ia menyadarkan tentang nilai perjuangan dan cara bertahan untuk berdaya hidup.
Eh, kemarilah sebentar dekatkan telingamu kan kubisikkan   sesuatu,Cups..cups…mwahh…hihiii…”
Aku berlari setelah menciummu. Kamu mengejarku. Kita tertawa-tawa.

Bunga Rumput di sekitar Kita
by: Sang

Bendungan
Mendekatlah kepadaku, berdirilah disampingku. Lihatlah permukaan air yang sedemikian tenang seperti menyimpan rahasia yang terpendam terlalu lama. Dewi yang baik, aku ingin mengajakmu duduk di atas batu, melihat air yang mengalir sangat lamban dan mendengar suara derasnya arus yang bergemrujuk keluar dari bendungan. Suaranya membuat kita hampir tak mendengar  semua di sekeliling kita. Dewi, baru kali ini aku memanggil namamu, sebab aku ingin tak ada yang mendengarnya selain kamu. Selain telinga kita tak boleh ada yang mendengarnya, sebab jika ada yang mendengarnya pasti mereka akan memanggilmu dan kamu akan menengok. Aku tak mau ada yang mengganggu kita kali ini.
Di sini kita tengah melihat sebuah bendungan air yang diam namun menyimpan energi yang melimpah. Manusia membendung air sungai menjadi sebuah genangan yang menyuburkan tanah, menumbuhkan padi-padi, menciptakan aliran listrik yang menerangi jalan-jalan desa dan membiarkan ikan-ikan berkembang biak di dalamnya, yang kelak jika bendungan itu dibuka semua penduduk akan memanennya. Aku ingin, jadilah kita seperti bendungan yang menyuburkan, menumbuhkan, menerangi dan membebaskan. Bendungan ini diam tapi berenergi. Jika kita tak sanggup jadi bendungan, kita bisa menjadi udara yang selalu menghidupi. Setidaknya kita bisa menjadi udara untuk diri kita sendiri.
Dewi… pasanglah telinga baik-baik agar kita bisa mendengar suara di luar arus sungai, jadikan telinga kita telinga kucing yang banyak dihiasi urat saraf melebihi telinga manusia. Kita tak perlu menengok ke kanan dan ke kiri, cukup berdiam konsentrasi. Dengarlah seluruh keluh kesah sampah yang terapung-apung dan tanah yang terkikis, dengar juga dengingan serangga kecil yang mulai bersuara menyambut sore. Mereka mempunyai kisah yang tak mudah tertebak dan mengagetkan. Pejamkanlah matamu, cerita mereka akan segera mendatangimu. Setiap menit cerita itu akan berubah bahkan kadang dalam hitungan detik, sebab sewaktu-waktu tanah bisa longsor, sampah bisa menyangkut semaunya dan denging serangga akan berhenti tiba-tiba jika ada ancaman. Semua dapat berubah dengan tiba-tiba dan lepas dari genggaman tangan. Kita hanya bisa memasang telinga baik-baik untuk mendengar seluruh perubahan untuk berdiskusi dengan perubahan…
Mari beranjaklah dari batu ini, kita akan berjalan lagi. Persediaan air minum jangan dihabiskan, sisakan sedikit untuk berjaga-jaga kalau nanti tak kita jumpai mata air. Ayo!

Mata Air
Dua puluh menit sudah kita berjalan dan berdiam diri seperti sedang terjadi pertengkaran. Tidak, meskipun diam tapi tangan kita tetap bergandengan hingga keringat di telapak tangan berlekatan. Kita belum menjumpai mata air sejauh ini dan bekal minum kita tinggal satu tenggakan lagi. Bersabarlah, orang sabar pasti subur tapi orang subur belum tentu sabar. Kita mesti setia dengan perjalanan ini, jangan mudah putus asa. Mata air juga lahir dari kesetiaan ia datang dari dalam tanah setelah bertapa bertahun-tahun, lalu menyembul menjadi air yang jernih untuk kita minum nanti. Tapi aku lebih percaya bahwa mata air berasal dari keringat dewa tanah setelah ia berolah raga senam tanah. Dewa tanah selalu menjaga kesehatannya agar semua yang berada di atasnya dapat hidup dengan sehat, termasuk kita.
Aku melihat anak-anak mandi di sungai dengan riang gembira, mereka telanjang bulat. Kamu menyarankan padaku untuk bertanya pada mereka di mana letak mata air. Tentu saja dengan senang hati aku tanyakan pada anak-anak kecil itu.
Salahsatu di antara mereka menunjuk ke sebuah arah sambil berteriak , “Nang kana ana mbelik mas, jenenge mbelik swara mas![6]
Aku ucapkan terimakasih dan tersenyum melihat gaya anak kecil yang lincah dan lantang menunjukkan arah. Lega rasanya menemukan mata air di tepian sungai, orang Jawa biasa menyebutnya belik seperti yang disebutkan anak kecil tadi. Kita bergegas menuju Belik Swara yang kubayangkan jernih dan dingin.
Kita telah sampai di sebuah belik yang bernama Swara. Mata air jernih itu menyembul dari di bawah telapak kaki kita. Banyak mata air yang menyembul dari dalam tanah, kuhitung ada sembilan lubang mata air. Jumlah yang istimewa, tetanggaku mengatakan bahwa angka sembilan adalah angka yang istimewa, sebab ia selalu kembali menjadi dirinya sendiri meski di
sejajarkan dengan angka-angka yang lain. Cobalah kalikan angka sembilan dengan angka satu sampai sepuluh lalu jumlahkan angka hasilnya pasti akan kembali menjadi sembilan (2x9=18 lalu 1+8=9). Tapi jangan kalikan dengan angka nol karena angka nol adalah sperma dari semua angka.  Hihihihii…sejak SD kita juga sudah tahu kok kalau angka sembilan adalah angka yang bagus sekali. Bukankah kita akan bungah dan bangga jika mendapatkan nilai Sembilan?
Ayahku juga sering bilang kalau lubang yang ada di tubuh kita berjumlah sembilan dan kita harus merawat baik-baik sembilan lubang itu. Merawat dengan cara kita sendiri agar hidup ini berjalan seimbang. Dulu aku sering menyanggahnya bahwa manusia juga mempunyai jutaan lubang pori-pori yang juga harus dirawat. Jadi, manusia itu ditugasi merawat banyak sekali lubang untuk menjaga dirinya, menjadi dirinya dan mengatur dirinya. Hahahaa… kamu tak menanggapinya karena omongku ngelantur.
Aku tahu mengapa dinamai Belik Swara, karena air belik itu mengeluarkan suara yang aneh, begini suaranya: pluk.pluk.pluk.pluk. Begitu di sepajang tahun. Selamanya. Lalu aku memelukmu selama tiga detik sebab konon aku pernah dengar cerita dari orang sekitar sungai, jika memeluk kekasihnya di bilik itu maka akan menjadi pasangan abadi.
Minumlah beberapa teguk lalu basuhlah kaki, tangan, muka dan penuhi botol kita dengan mata air jangan dengan air mata.

Sepuluh Kelokan
Sepuluh kelokan telah kita lewati sambil menikmati setiap langkah dan mengalahkan marah berkadar rendah hingga marah yang mengandung bakteri. Sayang sekali, aku tak menghitung sudah berapa jam perjalanan ini, sudah berapa jejak yang kita tinggalkan, sudah berapa tema kita bicarakan. Andaikan saja ku hitung sejak awal pasti akan kususun menjadi sebuah kalung dan gelang untuk kita kenakan. Sebuah aksesoris yang dirangkai dari waktu, cerita, jejak dan perasaan. Pasti akan menarik perhatian teman-teman, jika ada yang pesan katakan saja hadiah dari Dewa Tanah.
Aku melihatmu dengan tatapan aneh, seperti ada yang kurang dengan dirimu. Mengapa kamu kelihatan lucu, mengapa kamu kelihatan sipit, mengapa kamu kelihatan aneh. Oh, Aku segera tahu, kamu tak memakai kacamata. Mengapa tidak dipakai? Aku kwatir jika nanti tersandung batu atau terpeleset lagi. Biasanya kamu akan marah jika kacamata tidak berada di dekatmu. Pernah kamu bilang padaku: Aku lebih membutuhkan kacamataku dari pada kamu, katamu dengan sengit lantaran aku memindahkan kaca matamu dari ke atas almari kecil saat kamu tidur. Padahal aku takut kacamata itu terinjak.  Aku nggak tahu kalau kamu akan marah jika kacamata itu jauh darimu. Swear!
Kali ini kamu hanya tersenyum melihatku.
“Kutanggalkan kacamataku untuk sementara waktu, aku ingin melihat jalan dengan mata telanjang. Aku yakin jalan ini akan mengerti dan mencintaiku lebih dari cintamu. Ia tak akan menjatuhkanku untuk ke dua kalinya. Aku juga ingin melihatmu dengan mata telanjang agar terlihat lebih ganteng, hehee…” katamu sambil meraih tangan kiriku.
Kamu harus memakai kacamata agar bisa membaca buku, menonton film, menulis bulletin anak, mengajar dasar-dasar broadcast dan membukakan pintu untukku. Setiap tahun harga kacamata akan naik, kita harus bekerja untuk membeli kacamata setiap tahun.
Aku akan bekerja menjadi Pastur atau Tentara tapi kalau tidak diterima, aku akan bekerja menjadi Buruh Tambang atau Juragan Ayam. Kalau semua tidak mau menerima lamaran kerjaku tentu saja aku akan mengajakmu merampok bank. Aku sudah menyiapkan strategi perampokan yang cantik untuk kita berdua melebihi pasangan legendaris Bonnie dan Clyde[7]. Dewi…kamu ngga marah kan kalau aku belum punya tabungan di usia 30 tahun ini? Mulai besok aku pasti akan bekerja menjadi apa saja kecuali koruptor atau anggota multi level marketing.  Ah, aku tetap mencintai pantomim, memahat dan mencipta puisi untuk mengisi hidup hingga hari tua nanti.
Sudah sepuluh kelokan, beberapa menit lagi kita akan sampai muara. Bertahanlah.

Bukan Antara Aku dan Kamuby: Sang

Tempuran
Ada dua arus yang bertemu menjadi satu arus dan terus mengalir, orang Jawa menamainya Tempuran. Tempat untuk laku kungkum[8] orang-orang saat laku prihatin untuk mendapatkan energi dari alam atau bisa mencari kemuliaan hidup. Tak ada yang istimewa di tempat yang bernama tempuran ini, tempat yang kelihatan wingit lantaran huru ‘n’ coba kalau ngga ada huruf ‘n’ tempatnya terkesan imut seperti makanan Jepang. Eh, tapi diam-diam aku pernah juga melakukan laku kungkum ketika SMA, telanjang bulat berendam di sebuah tempuran kali. Tapi apa lacur rupanya ikan-ikan kecil dan udang kali tertarik pada bentuk burungku. Mereka merubung burungku dengan gigitan kecil namun mengena. Maka berteriaklah aku dan dimarahilah aku oleh teman sekungkumanku.
Tempuran itu hanyalah sebuah pertemuan. Sudah berkali kita mengalaminya, orang selalu menceritakan betapa sulitnya menggabungkan dua aliran yang berbeda. Senyatanya dua sungai itu tetap saja bertemu dan bergabung menjadi satu aliran menuju satu muara. Dan aku yakin setiap aliran sungai pasti mengusung bangkai, sampah, pecahan kaca, racun, batu, tahi, pohon tumbang dan lain-lain. Semua bakal bertemu dalam sebuah tempuran lalu mengalir bersama menuju muara. Aku tidak tahu apakah kedua sungai saling berdiskusi atau sudah saling memahami. Coba tanyakan pada mereka apa yang mereka diskusikan berdua.
Aih…kurasa mereka tidak sedang menyatukan pikiran dan perasaan tapi tengah menciptakan spirit baru agar air terus mengalir. Tapi semua itu hanyalah perkiraan-perkiraan tak menentu. Apapun teorinya, aku kadang khawatir jika suatu ketika kamu ilfil[9]  padaku tiba-tiba atau bosan bertemu. Aku bisa gila kalau kamu pergi membuat aliran sendiri. Kalau aku gila nanti, pohon-pohon akan sedih, rumput-rumput pusing, burung-burung gelisah, ikan-ikan ngambek, sepeda motorku pasti menangis.
Aku harap kita akan membuat kanal-kanal yang membuat kita terus bernafas. 

Jalan Lurus Kedua
Untuk mengurangi segala bosan dalam perjalanan dan menghindari pertengkaran di jalan, aku ingin membacakanmu sebait puisi. Hanya sebait sebab muara sudah dekat dan semua percakapan sudah menguap di perjalanan tadi. Di jalan lurus ke dua ini membuat kita sadar datangnya lelah. Maka berhentilah sebentar, duduklah di atas rumput sambil meluruskan kaki. Sebentar dan dengarlah.
Jendela yang membuatmu tersenyum
hei, bukalah daun jendela itu
kau kan melihat dirimu sedang duduk di kursi taman
sambil mencicip ice cream dan membaca novel
bukalah sebentar saja, lalu tutup kembali dengan pelan
aku takut ada yang meloncat masuk trus menculikmu
sebab aku sudah merasa bahagia kau berada di sana

tahukah kau? jendela itu ada di tengah dadaku.

Aku suka melihatmu tersenyum mendengar puisiku. Kamu tahu mengapa aku suka puisi? Bukan karena aku bercita-cita menjadi penyair, tapi hanya menjalani kewajiban saja. Dewi, bersastra itu kewajiban setiap warga negara!
Ayo lekas beranjaklah kita berlari secepatnya, jangan khawatirkan berat badanmu sebab berlari demi kebahagiaan akan membuat semua terasa ringan.

Muara
Kita telah sampai di muara sungai yang berpemandangan sederhana tapi membuat kita bahagia. Di Muara ini kita melihat pertemuan antara matahari, langit, burung-burung, angin, suara deras air dan kita. Muara ini semacam danau yang begitu luas.
Di muara ini kita akan menenggelamkan dendam, luka dan basa-basi. Di sini kita akan membuang seluruh kesombongan, keangkuhan, ironi dan tragedi. Di sini kita berdiri melihat langit oranye dan merasakan sesuatu yang tengah bergerak-gerak sendiri di dada ini.
Silakan nikmatilah, carilah tempat bersandar yang nyaman. Kamu bisa memilih tempat di bawah pohon jati, di atas rumput liar, di bibir muara, di dekat pohon pisang, atau di sini: di pelukanku.
Tanganku merangkul pinggangmu dan kepalamu rebah di bahuku.

                              
Jogjakarta, 3 April 2011


[1] sungai yang pada waktu musim hujan airnya banyak, sedangkan pada musim kemarau airnya kecil
[2] sungai yang ada airnya hanya pada saat musim hujan. hanya saja pada musim hujan sungai jenis ini airnya belum tentu banyak. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sungai)

[3] Salah satu dari 5 rekor tergila yang dipecahkan di Thailand
(http://anaxmuda.blogspot.com/2011/05/5-rekor-tergila-dan-terhebat-yang.html)
[4] http://kaskuslounge.co.cc/50-kejadian-unik/
[5] http://kaskuslounge.co.cc/50-kejadian-unik/
[6] Di sebelah sana ada belik mas! namanya belik swara!

[7] Film Bonnie and Clyde (1967) disutradarai Arthur Penn. Pasangan perampok legendaries yang beraksi di Amerika, biasanya merampok Bank, SPBU, toko.
[8] Berendam. (Syarat yang dilakoni sesorang untuk meraih sesuatu: pangkat, kekayaan, dan kemuliaan.)
[9] Hilang Feeling / Sudah tak ada perasaan lagi