Rabu, 05 November 2014

Puisi Akyu lho...

Masih ada di sana
Buat Ara

Bintang – bintang jauh sekali dari sini
Seperti wajahmu yang murung menungguku
Angin pantai datang padaku, ia membawa kehangatan
Kota bersuara sepi dan bulan menyabit di atas lautan
Di sini aku ingin membuat kemerdekaan dari wajah dan tubuh
Berhari – hari aku menari – nari di jalanan,
di bawah debu dan panas, di antara luka lama dan hening
Di tengah tawa dan deru mobil yang lucu
apakah sudah makan seafood atau ikan bakar hari ini?
Bintang bintang bicara sendiri, Sepertiku
seperti igauan yang panjang dan haru.
Sepertimu yang hangat di dalam tubuhku.


Makassar, 2014

cerita anak-anak  negri

buat sahabat sahabatku

sejak sawah-sawah dilipat-lipat menjadi beton-beton bertingkat!
anak-anak negri tak lagi mengakrabi bumi pertiwi
terkucil di tengah perubahan, memandangi kemewahan asing
meratapi bulir-bulir padi.

sejak sekolah-sekolah dipagari dinding-dinding tinggi
anak-anak negri tak mengenali kenyataan hidup bangsanya sendiri
mengejar cita-cita, melompat-lompat girang tak peduli menanjak
di tengah ketertinggalan kanan kiri.

sejak tanah-tanah ditumbuhi pabrik-pabrik industri
anak-anak negri tak menikmati kesuburan tanah leluhurnya
tubuh-tubuh berganti besi, keringat dirubah menjadi oli
hanya mengais sampah-sampah upah yang payah!

sejak pemandangan disulap menjadi mall-mall, hotel
dan café-café demi kepentingan para pemodal
anak-anak negri dihantui mimpi-mimpi
tak mengenali prinsip dan pribadi!
lupa (harga) diri

sejak para penjudi berceramah seperti kyai
anak-anak negeri terbius janji-janji
tertidur diranjang angan-angan
dijejali sandiwara-sandiwara dan telenovela

sejak tentara menjadi cita-cita dan merasa 
gagah berdiri membanggakan amunisi
bingung mengatur strategi memerangi rakyat
melindungi diri sendiri.
anak-anak negeri kembali dirasuki sejarah gelap para penjajah

sejak seni bergelombang menjadi bayang-bayang
karier dan prestasi. terkurung gunung-gunung mimpi
dan susah rendah hati. anak-anak negeri berkompromi
menjadi bajingan-bajingan seni yang mondar-mandir sendiri
sambil ketawa-ketiwi menertawai berdikari!  

kepada mereka para peletak batu-batu pertama
yang lahir dari kegagahan masa silam
yang melewati pertarungan-pertarungan panjang melelahkan
yang membabati hutan-hutan!
yang medobrak – dobrak belenggu sambil bertriak: merdeka!
yang menyerukan deru kebebasan keseluruh penjuru!
kini tertinggal layu, tak terjejak. beku di buku-buku!

ya, sejak saat itu...
sejak raja-raja menuntut upeti-upeti
berkelakar di atas kursi bersanding permaisuri
menghendaki sembah-sembah dan puja-puji
sejak menjamur gengsi-gengsi para priyayi
bernyanyi sambil menjilati kaki-kaki
sejak kapal-kapal eropa merapat di pantai-pantai nusantara
menggasak rempah dan madu negri pertiwi 
hanya mewariskan cara dan gaya menguasai
sampai saat ini tertanam di kepala anak-anak negri
menjajahi bangsanya sendiri…


03 Nov 2005

Pagi Februari

Pagi tadi ada tangan aneh yang memberiku kasih sayang, entah tangan siapa. Tapi bukan tangan istriku. Sentuhannya lembut seperti gandum, aku terpejam, enggan rasanya untuk membuka mata. Apakah ada tangan dewi kayangan yang baru saja mampir di pipiku? Aku heran, tapi aku merasakannya. Ia datang tepat saat aku sedang malas, saat aku sedang sakit hati, saat aku sedang merancang mencari uang. Tangan itu tangan cinta, tapi bukan tangan istriku. Rasanya lucu seperti masa kecil, seperti tangisan saat ingin ikut ibu pergi ke pasar. Aku ingin tertawa, menertawai hidupku yang bercita-cita menjadi pasar dan matahari sore.

Karangmalang, 2013


Rajin Menabung

            Buat Mohamad Hatta

Ibu menyirami tanaman setiap sore. Aku senang melihatnya.
Jari-jarinya bercahaya seperti kemerdekaan yang lahir dari nafasku.
Daun-daun ingin hidup abadi bersama tanah dan sejarah
Semua menyayangi tanah dan air, semua adalah darah yang berpelukan
Karena Kakek tak pernah menghancurkan plakat perdamaian
tapi ulat bulu yang mengkrikitinya hingga kalimat dalam plakat menjadi kepingan sampah
anak-anak benci pada ulat bulu karena mereka datang dari sebuah dunia yang miskin dan pelit

suatu hari kita akan menjadi besi yang lentur dan harum
besi yang berlapis emas pengetahuan yang berjalan tegap seperti mercusuar
kita akan memberi makan ulat-ulat bulu dan mengajari kebaikan
perasaan dan pikiran kita akan terbang tak mendekam dipojok museum

ibu masih menyiram bunga ketika aku datang dengan bendi roda dua
kubawakan setangkai cerita yang akan menemani tidurnya nanti
ku tunggu halaman rumah hingga basah dan gunung-gunung akan menemaniku
berbicara pada serangga, batu, daun, meja kursi dan hasil bumi.
Aku akan bercerita tantang bendera yang berkibar – kibar
Aku akan menyimpan nafas dan keringat untuk pertemuan di meja bundar

Di halaman rumah, ibu selalu menyiramiku sebab aku adalah tanah tempat semua berada
Tanah yang menabung nafas, doa, keberanian, ketulusan, kepalan tangan dan perjalanan.

Halo ibu…
kini aku bisa mencipta kemerdekaan bersama teman-temanku karena aku rajin menabung…

April 2013


Berjemur Matahari Pagi
Buat Ir Soekarno

…dan hujan semakin deras, ia membawa cerita tentang dada yang menantang, tentang tangan-tangan yang terkepal, tentang kapal-kapal yang berlayar, tentang hutan, ngarai, gunung, bukit dan lembah. Tentang darah-darah yang berpelukan. Di atas tanah ini.
Huaahheemm…aku mengantuk dipelukan nenek yang terus bercerita:
…jauh di sana ada penjara berwarna perak yang dihuni kurcaci gagah perkasa. Cahaya hangat dari debu-debu  menembus penjara, cahaya yang membuat pohon dan rumput tertawa. Cahaya yang membuat tulang-tulang  kurcaci berubah besi dan emas. Berubah huruf dan kata. Berubah gelegar suara. Berubah raksasa, dan ia bernama dunia !
Langit membawa kicau burung dan denging serangga, mengisahkan legenda; Buah mangga menertawai pohon kering yang angkuh, kupu-kupu terbang membentur tembok –tembok pengadilan. Ada kaleng rombeng menggugat kemanusiaan. Rajah leluhur menjadi abu perjuangan dalam peci beludru hitam. Matahari mencintai tubuh yang menggeliat-liat di atas rerumputan, tubuh yang melahirkan persatuan di bawah pohon sukun.
Inilah doa-doa panjang yang berkibar kibar di dada pemuda, doa dari seribu tangan yang membuat adonan revolusi dari teks-teks dan suara-suara api.
…udara melukis kristal-kristal embun, menggumpal, berkilau meneteskan Proklamasi:
Kami adalah bangsa yang lahir dari kata M A R D I K A!
Nenek masih bercerita....

Jogja, Juli 2013



Cincin Kertas
Buat Ara

Kubuatkan hadiah ulang tahunmu
Untuk bicara tentang awan dan
waktu yang memutih.
Untuk sebuah legenda:
Lelaki Jalanan dan Perempuan Hujan
yang menaruh kesetiaan dan janji
di tengah ruang bernama titik
yang
setiap tahun akan berbuah
setiap tahun akan bersemi
setiap tahun akan menjadi
cincin yang  melingkar hening
pada selembar pagi.

Agustus,  2013

Pementasan TO'BAD

Media dan Sampah Visual Dalam Tubuh Anonim
Oleh: Andy Sri Wahyudi

Keburukan – keburukan yang muncul dalam diri manusia mempengaruhi tubuh, pikiran dan perasaan manusia dalam perilakunya.
Sepercik kalimat itulah yang melahirkan pertunjukan monolog “To’BAD”, dimainkan oleh Hendra Setiawan, salah satu aktor Teater Kubur – Jakarta. Pertunjukan pada hari Kamis, 21 Maret di Sanggar Bengkel Mime Theatre – Yogya itu menciptakan teror – teror lewat gerak tubuh dan mimik wajah yang tak lazim. Hendra berperan menjadi tokoh Anonim, ia mengejek beberapa penonton dari belakang dengan mimik wajah buruk, lidah menjulur dan jari-jari tangan bergerak seperti penyihir. Penonton dibuat resah sekaligus geli dengan tingkah polah tokoh tersebut. Sebuah kemunculan yang terasa janggal, ia datang tiba-tiba dan memaksa penonton untuk mengenalinya tanpa mengerti latar belakang hidup dan karakternya. Apalagi maksud dan tujuannya.

Tokoh tersebut semakin meresahkan dengan tubuhnya yang sesekali mengejang – ngejang lalu perlahan melepas baju dan celana panjangnya, hingga tinggal mengenakan celana kolor. Siapapun diejek dan diolok-olok dengan wajah buruknya, beberapa penonton juga membalasnya dengan olok-olok wajah buruk. Ia bersikap sok akrab dengan penonton yang tak dikenalnya, mengajak bersalaman, tersenyum manis dan merangkulnya. Terlihat bahwa dirinya adalah orang tak dikenal yang tiba-tiba datang dan tak tahu malu. Sebab penonton yang diakrabinya tampak risih, bahkan ada yang merasa jijik. Tokoh Anonim itu terus bergerak dengan tubuh dan mimik wajah yang selalu berubah-ubah karakternya. Sesekali ia tersenyum, menertawai dan mengejar penonton. Ia sengaja terus menerus membuat teror dengan perubahan polah tingkah dan mimik wajahnya. Hingga alur gerakannya beputar kembali pada titik awal, dikenakannya lagi baju dan celana penjangnya. Ia kembali berkumpul bersama penonton dan melupakan teror yang telah dilakukannya. Monolog “To’BAD” seperti tak ada akhir namun dibiarkan selesai begitu saja, hanya menyisakan kenangan wajah-wajah palsu yang buruk dan gerak tubuh yang asing.

Inspirasi dari Serangan Media
Fenomena media sosial semacam facebook, twitter dan acara infotainment menjadi esensi dari monolog “To’BAD”. Fungsi media sosial tak lagi ke arah positif namun telah melenceng hingga melahirkan kriminalitas, penipuan dan berita sampah yang merugikan banyak orang. Acara televisi semacam infotainment menjadi ajang mengumbar gosip saling menjelekkan dan mengolok-olok. Aib pribadi menjadi barang dagangan yang diperjual belikan dikhalayak umum. Ironisnya masyarakat malah menikmati sebagai konsumsi sehari-hari yang dijadikan tontonan untuk segala usia. Segala hal tentang keburukan telah menjadi sesuatu yang layak dibanggakan dan seolah hal-hal buruk menjadi idola masyarakat.

Fenomena terbaru yang muncul adalah hadirnya sampah-sampah visual  berupa wajah calon legislatif. Mereka hadir secara tiba-tiba di tengah kehidupan masyarakat, tidak sekadar hadir begitu saja tetapi membawa janji-janji untuk masa depan yang lebih baik. Mereka datang mengatasnamakan kebaikan, kebahagiaan dan kesejahteraan. Wajah-wajah itu hadir dengan senyum manis, santun dan tampak akrab seolah mereka saudara atau sahabat dekat. Mereka meminta dipilih untuk menjadi pemimpin yang memperjuangkan kehidupan rakyat. Hadirnya wajah-wajah itu mengotori jalanan, merusak keindahan taman, bahkan ada yang sembarangan memaku di batang pohon. Kehadiran sampah visual itu terasa sebagai sebuah teror baru yang memaksa untuk mengenali dan memilihnya secara tiba-tiba, tanpa mengerti kebenaran maksud dan tujuannya. Masyarakat seperti sedang dibentuk menjadi masyarakat asal-asalan.

Teror dan intrik dalam dunia hiburan dan politik dari media itulah yang kemudian membentuk tubuh Anonim menjadi tubuh yang gagap dan sulit berkembang secara progresif. Tubuh, pikiran dan perasaan didikte oleh media sosial dan visual. Rasanya tak ada ruang untuk tawar menawar, semua dipaksakan untuk kepentingan kelas dan golongan tertentu. Tubuh Anonim menggambarkan sebuah masyarakat yang terus menerus dijejali berita dan visual dari berbagai media tanpa mengetahui kebenarannya, masyarakat disulap menjadi mahkluk penurut. Tak ada waktu untuk merenung dan mengkritisi apa yang dipikirkan dan dirasakannya.

Membuka Kesadaran
Monolog “To’BAD” karya Hendra Setiawan mengajak sejenak diam untuk merenung mengkritisi keadaan. Diam untuk membuka kesadaran bahwa tak selamanya berita diberbagai media itu benar, juga sampah-sampah visual yang memajang wajah manis itu belum tentu seorang pribadi yang tulus, jujur dan bervisi menuju perubahan yang baik. Semua harus dikritisi dan dikoreksi dengan pikiran sehat, sebab siapa tahu dibalik berita, wajah dan janji-janji manis itu menyimpan keburukan-keburukan. Masyarakat diajak agar mempunyai sikap dan prinsip yang kuat dalam menghadapi serangan dari berbagai media dan teror dari sampah-sampah visual di jalan-jalan. Keburukan yang muncul dalam diri juga harus dicegah agar tidak menjalar mempengaruhi pikiran, prasaan dan perilaku. Ada dua pilihan, melawan keburukan atau menjadikan keburukan sebagai kodrat manusia yang tak pernah berakhir. Keburukan mempunyai banyak wajah yang berupa kebohongan, kriminal, mengumbar  janji palsu, munafik, pengecut, bodoh, tak sadar diri, sombong dan masih banyak yang lainnya. Satu jalan agar terbebas dari pengaruh keburukan hanya melawannya dengan ketegasan dan kesadaran untuk menuju suatu masyarakat yang kritis.

Yogyakarta, 23 Maret 2014
Andy Sri Wahyudi
Pemimpin Bengkel Mime Theatre Yogyakarta