Jumat, 03 Agustus 2012

Lounching di Semarang


ANDY, UH KAMU NYEBELIN
Oleh: Agung Hima (Penulis Tinggal di Semarang)

[1]

Andy bikin puisi? Begitu tanya yang setiap hari muncul di otak saya. Cah mime kok bikin puisi? Opo iso? Sembari menunggu kiriman bukunya saya pun menikmati indah pantai senggigi di lombok, disanalah saya juga mengalami sebuah peristiwa yang membuat saya berpikir ulang untuk berdekat-dekat dengan penyair. Pada akhirnya terjawab sudah apa yang pernah dikatakan Richard boleslavky, seorang tokoh drama modern yang pernah menulis 6 pelajaran bagi seorang aktor.  Bahwa penyair/penulis biasanya “Cuma” menuliskan sebuah peristiwa untuk di rangkaikan menjadi sederet-deret kalimat indah atau bahkan membingkai dengan bahasa alegoris yang njlimet hingga memungkinkannya terjadi puisi gelap. Bahkan semakin gelap konon katanya semakin indah. Duh…

Lewat sms, Andy mengabarkan puisi sudah dikirim, dan benar, 2 buah buku mungil dan manis itu sekarang sudah berada di atas meja belajar anak saya. “lumayan” begitu kata anak saya. 2 buah buku dengan warna dasar putih dengan gambar yang manis disertai pilihan font yang “kartun” emang sangat menarik. Judulnya juga seperti diperuntukkan bagi pembaca “remaja” IBLIZ IMUT dan UH, KAMU NYEBELIN (II&UKN).  Dan buku satunya IBU AKU MINTA DIBELIIN MUSHOLA (IAMDM). Wow.

Beberapa hari kemudian baru saya menelusuri buku itu, ada pengantar mutia sukma, ikun sk, satmoko budi santosa dan endorsment lainnya, yang kukira cukup menggambarkan apa yang dituliskan Andy. So, apalagi yang harus dibedah dari buku ini? Jangan-jangan kalau dibedah malah menambah nggak karuan, sebab saya sendiri masih meyakini bahwa “kesalahan-kesalahan” yang timbul dalam puisi justru ketika puisi itu dibedah sedemikian rupa sehingga puisi tidak lagi bebas untuk menemukan pembacanya sendiri. Nah lo!

[2]

Dalam mendeskripsi banyak bahasa di dunia diperlukan sebuah unit kata, sebagian kata dibatasi fonologis, sedangkan bagi bahasa yang lain dibatasi morfologis. Kata mempunyai stabilitas intern dan mobilitas posisional, yang berarti mempunyai komposisi tertentu dan relatif memiliki distribusi yang bebas. Tentu saja, dengan adanya distribusi bebas ini membutuhkan sebuah komunikasi dalam sebuah konstruksi kata-kata yang pada akhirnya dimungkinkan adanya sebuah pengertian, baik dari sebuah kata-kata yang tersurat ataupun tersirat.

Sebagai penyalur gagasan, kata ibarat “pakaian” yang dipakai oleh pikiran penulis untuk mengkomunikasikan “jiwa” yang terdapat dalam kata yang disusunnya. Maka perlu disadari bahwa semakin banyak kata yang dikuasai semakin memungkinkan menyalurkan gagasan atau ide yang dikuasainya dan yang sanggup diungkapnya.  Mereka yang menguasai gagasannya atau luas kosa katanya akan dengan mudah mengadakan komunikasi dengan orang-orang lain.

Dalam hal ini ketika II&UKN dan IAMDM terlahir ia tidak lepas dari upaya komunikasi penulis kepada pembacanya (bahkan mungkin termasuk pilihan kover dan orang-orang yang memberi endorsement). Hingga pada akhirnya persoalan pemilihan kata menjadi sangat penting dalam penjalinan komunikasi ini. Sungguh sangat gegabah ketika menyederhanakan persoalan pilihan kata yang tidak perlu dipelajari atau dibicarakan karena menganggap bahwa proses itu terjadi secara wajar pada setiap manusia. Di dalam banyak puisi yang berceceran di setiap jaman, sering dijumpai puisi yang sulit mengungkapkan gagasan dan miskin variasi bahasanya tapi juga tidak sedikit menemu puisi yang berlimpah kata namun sama sekali tidak ada isinya.

Membaca puisi Andy dalam 2 antologi ini saya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh nama-nama yang ada dalam kata pengantar dan endorsment dalam buku ini. Sebab setiap pembaca berhak menafsirkan apapun atas apa yang ditulisnya. Saya juga menemukan begitu banyak persoalan ketika membaca puisi-puisi Andy. Saya begitu lelah ketika membaca puisi-puisi panjang yang mungkin sarat makna tapi kadang juga sumringah ketika bertemu dengan kalimat-kalimat yang lucu. Puisi-puisi Andy memang benar mengaduk-aduk begitu banyak persoalan meski saya juga mendapat bahwa kadang ia gagap untuk menghentikan apa yang ditulisnya.

Ibarat saya butuh pecel, tapi Andy menuliskan banyak hal dan memberikan spaghetti, nasi liwet dan beraneka makanan untuk disantap, hingga pada akhirnya saya harus berhenti untuk menyantapnya. Secara ngawur dalam benak saya timbul bahwa kadang Andy tidak menyadari puisi yang ditulis sebanarnya harus berhenti pada titik yang seharusnya berhenti, tapi ia malah melanjutkan dengan banyak hal sehingga justru ketika ia menulis banyak maka ia bercerita sangat sedikit. Tapi justru ketika ia menuliskan puisi dengan beberapa kalimat, justru puisi itu bercerita sangat banyak.

USAI PESTA LUPA
:whani D

ada yang indah di dada kita
keberanian dan nafas panjang

HARI IBU
Ibu, aku tak cukup lelaki menjadi ibu

Puisi-puisi inilah yang justru secara pribadi membuat saya terperangah. Andy seperti bicara banyak hal tentang bagaimana sebuah proses bertahan hidup, menjalani kehidupan yang semakin hari semakin tidak mudah. Persis dengan apa yang pernah diusungnya dalam reportoar pantomim-nya beberapa tahun yang lalu (saya lupa judulnya).  Maka ketika saya membaca puisi-puisi dengan baris panjang, saya malah menemukan banyak kecerewetan yang meskipun mempunyai daya tonjok tapi malah membikin saya untuk tidak mengamininya. Persis ketika istri saya menasehati anak saya yang tetep mantuk-mantuk mendengar nasehat, tapi tetep juga tanganya lihai mengubah chanel televisi. Nah lo!

[3]

Saya meyakini bahwa apa yang ditulis Andy merupakan donne apenser atau suatu bahasa yang kepenuhan kekayaannya tidak pernah selesai diungkap. Maka puisi-puisi Andy memungkinkan untuk dibedah lewat cara apapun, dengan varisasi kajian akan dengan mudah mengungkap “something” yang ditulis Andy baik secara jelas atau disembunyikan.

Namun secara pribadi saya juga bercuriga bahwa puisi-puisi yang ditulis Andy mungkin merupakan embrio dari naskah-naskah reportoar pantomim yang belum selesai untuk dipentaskan. Sebagai seorang aktor mime dan sutradara tentu saya paham bahwa apa yang ditulisnya telah sampai pada proses “mengalami”.  Sehingga saya banyak melihat bahwa puisi-puisi Andy sungguh bercerita.  Disanalah saya menukan kemarahan, kelesuan bahkan sampai sebuah kesakitan yang menjadi energi hidup seorang Andy.

Maka sekali lagi saya sepakat dengan apa yang dituliskan dalam kata pengantar ataupun endorsement dalam buku puisi Andy.

Ditulis untuk Andy Sri wahyudi.


 
Teks-teks yang Sedih namun tetap Optimis

Oleh: Adin (Direktur, Hysteria Sastra)


Akan halnya Ikun SK, teks-teks Andy datang pada saya sudah sejak lama. Seperti ingatan yang cerewet ingin dihidup-hidupkan kembali, demikianlah Andy mengabsen saya tiap hari. “Adin yang baik apakah sudah selesai teks yang kamu tulis untukku,” katanya. Demikianlah ‘teror’ ini menghampiri saya tiap saat. Bahkan dalam beberapa kesempatan saya matikan handphone saya untuk menghindari diabsen dia. Hahahhaha. Tapi begitulah, kawan yang baik tidak akan pernah berhenti untuk terus menyapa dan meneror meski kita acuhkan berkali-kali bukan?

Heran juga, saya yang belakangan ini mulai tidak bergairah lagi dengan kata-kata, seolah diseret oleh panggilan yang tidak masuk akal untuk bersuntuk-suntuk dengan teks lagi. Setidaknya jika tidak bersuntuk-suntuk, dipaksa untuk bersemangat oleh ajakan teman-teman yang sedang bersemangat. Tidak hanya para mahasiswa baru, tetapi juga kakak kelas saya yang mau tidak mau saya tidak bisa berkelit. Maka, saya kembali pada jalan ini untuk saat ini.

Ada dua buah antologi puisi yang disodorkan pada saya, yakni Ibu, Aku Minta Dibelikan Mushola, dan Iblis Imut sengaja saya pilih satu judul saja untuk saya tekuni. Antologi pertama memuat sajak-sajak Andy pada kurun waktu 2001-2008 sedangkan antologi kedua memuat sajak dalam kurun waktu 2007-2011. Pilihan saya untuk mengapresiasi antologi yang kedua, Ibliz Imut, didasari pada bacaan sepintas lalu yang secara tekstual lebih menarik daripada antologi pertama. Pertimbangan ini tidak berdasar kajian teks secara mendalam, tetapi pada kesan sepintas lalu saja.

Beberapa waktu yang lalu saya dihadapkan pada teks-teks rekan saya Galih Pandu Adi dan Timur Budi Raja, keduanya juga memaksa saya untuk menengok mereka melalui teks yang dianggitnya. Teks keduanya meski mengelaborasi kesunyian dan kadang kesedihan, tetap saja mempunyai perbedaan dalam bahasa ungkap. Pada keduanya, masih banyak saya temukan kesunyian dan kesedihan yang dikatakan dengan cara seperti kebanyakan penyair menulis tentang kedua tema tersebut. Berbeda dengan teks-teks Andy, penyair yang juga pegiat mime ini menulis kesunyian, lebih khusus lagi kesedihan dan memperlakukan kenangan dengan cara berbeda.
Kata Andy:

Ada sedih yang warnanya ungu, merah, jingga, nila. Ada sedih yang remaja dan dewasa, ada sedih ang cantik, sedih yang ganteng, sedih yang fotogenik dan ada sedih yang genitnya minta ampun. Ada juga sedih yang masih kanak-kanak, ingusnya meler-meler. Ia berlari telanjang bulat sambil menangis, ia dikejar ibunya disuruh mandi. Wah..pasti kamu senang melihatnya. Melihat kesedihan berlarian lincah kesana-kemari.

(dalam ‘Adhik jangan menangis lagi ya..’)

Kesedihan hadir dalam puisi-puisi lelaki yang bernama lengkap Andy Sri Wahyudi ini dengan ringan, enteng, tidak berlarat-larat, kadang lucu, namun tetap sedih dan optimis

Tapi orang-orang sedih karena punya perasaan, tapi kamu tetap cantik seperti pantai

(dalam ‘Ibliz Imut)

Begitulah, karena punya perasaan orang-orang punya alasan untuk sedih, tidak lantas berlarat-larat dalam perasaan sedih, aku lirik tetap memandang optimis karena dia punya orang yang dicintai sebagai objek keindahan.
Dalam sajak ‘Ibliz Imut’ Andy menggambarkan leukemia dengan cara yang menarik. Penyakit yang menakutkan dan sering merenggut nyawa orang, ditangannya disulap menjadi penyakit yang lucu dan bersahabat. Bukan dalam artian leukemia bernada positif, namun mengajak penderita untuk menerima nasibnya dan berdamai dengan hal ini. Ada dua cara untuk memperlakukan nasib, pertama menolaknya, yang kedua menerimanya. Sajak ‘Ibliz Imut’ adalah ajakan Andy untuk tidak sekedar menerimanya dan pasrah, tetapi lebih dari itu mengajak untuk memberi pemaknaan ulang pada penyakit mematikan ini.
Masih ada kesempatan untuk memilih bahagia! Dalam keadaan sesedih apapun, termasuk dirundung leukemia. Inilah keistimewaan Andy dalam memperlakukan kesedihan.

Saya cenderung sepakat dengan Satmoko Budi Santoso dalam endorsement nya yang mengatakan puisi-puisi Andy ditulis secara spontan. Dasar pengeditan tekspun bukan berdasar pada renungan mendalam untuk mencapai daya ungkap yang orisinal, namun salah jika kemudian menyederhanakan Andy sangat menganggap remeh bahasa. Dalam sajak ‘Sore Itu Aku Tak Menemukanmu’ misalnya Andy sama sekali tidak main-main. Tidak kita temui kat-kata semacam ngrumi, soklat, buatjingan, ampyun dan beberapa kata lagi yang membuat sajak-sajak Andy terkesan main-main.

Kesan lain yang saya tangkap, Andy hendak membuat bahasa menjadi miliknya sendiri meskipun jelas itu tidak mungkin karena sajak-sajaknya masih mengandaikan untuk dibaca orang, artinya ia tetap pada konvensi bahasa baik sintaksis maupun semantiknya. Namun usaha untuk membuat itu jadi khas Andy memang terasa, misalnya dalam penggantian kata coklat menjadi ‘soklat’, bersentuhan dengan ‘bersintuhan’ merupakan salah satu bukti usahanya.

Tidak seperti Roland Barthes yang menganjurkan matinya pengarang ketika teks lahir, saya justru sangat kesulitan membunuh Andy dalam tiap pembacaan sajak-sajaknya. Wajah Andy, perilaku yang menyebalkan, humornya yang aneh, dan tawaran persahabatannya yang lucu melulu hadir dan memaksa saya membaca teks-teks ini dengan menghadirkannya dalam imajinasi saya.
2007 lalu saya pertama kali berjumpa dengan penyair kelahiran Yogyakarta, 13 Desember 1980 saat mendapat kesempatan lokakarya penulisan buku program di Jakarta yang diselenggarakan oleh Yayasan Kelola. Sejak saat itu kami intens menjalin kontak.

Beberapa puisinya juga secara sengaja ditujukan untuk nama-nama tertentu. Ini juga menjadi penyebab sulitnya saya menceraikan Andy dalam pembacaan saya. Saya sedang membayangkan Andy bertutur pada saya, Dab Joko Bibit, Gus Dur, Dwi Cipta, Indrian Kota, Joned, Whani Darmawan, Danarto dan banyak lagi sahabat-sahabatnya yang disebut satu persatu.

Pada Dab Joko Bibit misalnya aku lirik mengajak person yang disapanya sejenak bedamai dengan kebencian yang mengalir sederas arus mimpi, pada Gus Dur ia mengenangnya dengan jalan memutar. Tidak langsung spesifik menyapa Gus Dur, Andy lebih senang menceritakan Gus Dur melalui kisah yang dibangun bersama ibunya. Semua ini membuat saya mengimajinasikan Andy sebagai kawan yang ramah menyapa dan semakin saya bayangkan semakin basah pembacaan ini atas kehadirannya.
Namun demikian entah kenapa kejenakaan itu pelan-pelan lenyap pada sajak-sajak yang ditulis pada tahun 2011 an. Kalau diperhatikan sajak-sajak Andy berubah menjadi sajak ‘serius’ lagi. Mendadak saya kehilangan Andy yang lucu dan menyebalkan. Kenapa? (m8)


Puisi Klembak Mentol
Ratjikan Aseli Pemuda Andy
(catatan untuk dua buku puisi Andy Sri Wahyudi : Iblis Imut, dan Ibu Aku Minta Dibelikan Mushola) 
Jika Anda adalah seorang penulis syair atau prosa fiksi, maka kemungkinan besar Anda perokok, tak urusan saya jenis kelamin Anda. Nah, Anda pasti juga sadar, betapa rokok adalah sebuah realita kegigihan umat manusia Indonesia. Lihat saja, betapa gencar kampanye penindasan dan upaya-upaya terang-terangan untuk membunuh rokok. Tidak saja berasal dari gerakan pura-pura intelektuil, tetapi juga dari tangan kanan Negara melalui Kementrian Kesehatan, bahkan melalui sayap agama dan organisasi agama yang dengan sukarela, menjanjikan neraka untuk Anda (perokok).
Namun demikian, bagaimana nasib konsumsi rokok? Surutkah? TIDAK! Paberik-paberik, dengan semangat mengejar uangnya terus berupaya melawan tanpa harus menyerang kembali musuh besarnya… dan kita (perokok)? Juga dengan penuh kegigihan yang agung (tanpa makian dan kebencian) terus tersenyum menggali sumber-sumber uang sehingga tetap bisa merokok dan berkarya. Kita, kaum2 yang tegar, dan pantas dijuluki generasi penerus orang-orang luhur …
Nah, demikianlah fenomena puisi… sampai hari ini, kita terus mengenal dengan baik karya-karya puisi besar dari generasi lama, dan kita saksikan bersama kelahiran yang terus menerus memunculkan penyair baru. Tetapi, berapa jumlah kumpulan puisi di toko buku? Rupanya, puisi bukanlah konsumsi yang menyehatkan sehingga pabrik2 buku tidak serta-merta menganggapnya sebagai komoditi yang menguntungkan. Lagipula, menulis puisi, umumnya sudah dikenal oleh hampir semua orang sejak masa awal remaja ketika cinta monyet menghampirinya. Ya, hampir semua orang pernah membuat puisi. Mungkin begitu sebabnya, sehingga menerbitkan puisi bukanlah hal yang modis bagi penerbitan buku.
Tetapi sebagaimana pabrik rokok dan perokok, penyair-penyair semacam Andy, yang keturunan orang-orang luhur ini, tidak menemukan satu alasanpun untuk dendam dan mengumpat. Ia justru melenggang dengan karya-karya sederhana dan gokil. Lalu keceriaannya membuat malaikat bersedia menuntunnya, mempertemukannya dengan orang-orang serupa, yang tetap tulus mencintai puisi. Penerbit mayor label enggan menimang puisi, maka alam menggeliat mereka-reka lahirnya penerbitan Indi, dan orang-orang semacam Andy, menemukan jalan untuk berpuisi.
Puisi-puisi Andy ini bergaya aneh dan lucu. Saya tidak yakin ia bisa lolos masuk ke Koran. Tetapi, nyatanya, kita tidak bisa menolak bilang bahwa puisi nya ini memang unik. Gayanya yang kekanakan, imaji nya yang “kartun” dan isi nya yang tidak sulit untuk disimpulkan bahwa ia mempuisikan hal-hal sederhana kesehariannya. Ia menulis puisi sebagaimana remaja 90-an menulis Diary. Andy, membelokkan kecewa atas hal-hal yang lewat begitu saja dalam hidupnya di masa kecil, menjadi semangat untuk menjaga apa yang sedang melintas dalam hidupnya kini ke dalam puisi. Mungkin biar abadi. Ini berarti, Puisi bagi Andy adalah semacam sebuah jalan keluar, sebuah langkah hidup. Ini mengingatkan saya pada Haji Djamhari yang mencari cara agar tetap merokok tetapi batuknya juga bisa sembuh, dan terciptalah rokok kretek yang mengandung cengkeh itu.
Pada puisi Andy, terasa adanya sesuatu yang lugu dan beraroma “ndesa” sekaligus lawas, seperti aroma rokok klembak menyan. Meski seringkali kita temukan gaya-gaya kalimat “muda” yang hanya muncul dalam pergaulan kota masa kini, seperti rokok Mentol… Ya Puisi Andy seperti rokok jenis baru, Klembak Mentol, apek tapi seger semriwing, udik sekaligus gaul… Dan sekali lagi, seperti kegigihan rokok, penerbitan puisi Andy ini adalah juga bentuk kegigihannya, untuk tetap bisa merokok… J  
M. Ahmad Jalidu, chief editor Garudhawaca Digital Book.




Melodi Memori


Cerita Cinta
Oleh: Andy Sri Wahyudi
                                                                                                   
Sudah kukatakan pada Tia, perempuan seleraku sangatlah sederhana. Aku suka gadis berwajah keibuan, bergaya keibuan, berprilaku keibuan, bertutur kata keibuan dan aku juga menyukai Ibu-ibu. Tia belum juga percaya dengan pernyataanku itu, Tia selalu berusaha mengenalkanku dengan gadis-gadis macam Lia, Nina, Lupik, Imola, Luna, atau Imel. Kurasa mereka sama saja, seragam, tidak eksentrik dan mudah membuatku bosan.
Seleraku bukanlah gadis putih, langsing, semampai, trendi dan modis. Aku hanya pemuda kampung yang tak suka neko-neko. Sudah berkali aku katakan pada Tia kalau aku mencintainya dengan sepenuh perasaanku, meski Tia tidak percaya. Mungkin ia merasa aneh dengan dirinya, mengapa ada laki-laki yang bisa jatuh cinta padanya yang gedut dan sama sekali nggak modis. Aku tersenyum sendiri jika ingat peristiwa petang hari di bawah pohon jambu tempat aku dan Tia suka menghabiskan waktu di siang hari.
“ Nang, aku ingin tahu alasanmu, mengapa kamu mencintaiku selain aku ini keibuan dan seperti ibu-ibu?”
“Tia, aku tak punya alasan apa-apa, dan jangan kau tanyakan lagi.”
Tia diam, aku diam. Cuit..cuit..cuit…cuitt…seekor burung mencuit sambil bergegas dari ranting terbang ke udara bebas. Kami pulang jalan kaki berdua dan saling diam. Sesekali jari-jari tanganku kusenggolkan jari-jari tangannya. Tia cuek saja.
Tidak hanya satu – dua kali peristiwa itu terjadi, mungkin puluhan kali, dan selalu berakhir dengan diam yang sebenarnya kusukai. Aku merasakan dalam diam itu ada perasaan geli, sebel, lucu, malu, dan rasanya…ingin sekali mencubit pipi Tia yang tembem itu.
Setiap peristiwa itu berulang, selalu ada seekor burung yang mencuit-cuit ketika kami berdua sama-sama diam. Cuit..cuit..cuiit…cuitt…

Jumpa Pertama
Tia, gadis manis yang gaya berpakaiannya kadang mengejutkanku. Uh! Selera fashionnya mirip ibu-ibu PKK atau ibu-ibu yang berangkat arisan atau ibu-ibu yang mengantar anaknya ke sekolah. Berkemeja batik, bercelana kain dan bersepatu tipis tanpa hak, kadang mengenakan rok di bawah lutut. Satu yang membedakan dengan ibu-ibu: tas punggung yang berisi novel, bedak dan artikel tentang pendidikan. Kadang dia mengenakan kemeja coklat yang didobeli jaket warna merah dengan ritsliting depan terbuka. Namun Tia sangat cuek bebek, tiap hari menjalankan aktifitasnya sebagai mahasiswa komunikasi dan pengajar honorer di SMU swasta. Aku tak tahu apa yang ada dalam benaknya ketika memilih pakaian. Temanku ada yang mengomentari, jika cara berpaikaiannya aneh, kadang pilihan warna dan model berpakainnya tabrakan.
Aku bilang, “dia memang suka dengan gaya seperti itu.”
“Wuuu…jangan diperhalus dong kamu harus mengakui kalau pikirannya memang sampainya segitu,” balas temanku. Aku tertawa ngakak, “ya, pikiran yang nabrak-nabrak!”
Baru lima bulan aku mengenal Tia, aku masih ingat pertama kali bertemu ketika menghadiri acara baca puisi di sebuah komunitas teater. Aku tak menyangka bisa mengenalnya dengan cepat dan langsung akrab, padahal Tia termasuk gadis pendiam yang sulit didekati. Tia hadir di acara pembacaan puisi sendirian. Tentu saja terlihat sangat asing di komunitas itu, lantaran yang biasa menghadiri acara baca puisi hanya orang-orang itu saja. Aku mendekatinya setelah dua puisi karya Marwan anggota baru teater itu dibacakan dengan nada romantis. Ku sapa Tia dengan kepercayaan diri yang kukumpulkan beberapa menit lalu.
“Hai, selamat malam…”
“Eh, malam juga..” dia melihatku dengan tenang tanpa curiga.
“Kamu sendirian ya? dari komunitas mana?” tanyaku sok akrab.
“ Hmmmm…aku sendirian dan aku tak perlu komunitas.”
“Tahu dari mana acara ini?”
“Dari baca poster jelek di papan pengumuman depan.”
“Eh, maaf namamu siapa? Aku Lanang”
“Tia” sambil menjabat tanganku tanpa basa basi.
“Mengapa kamu datang ke acara ini?”
“Aku sedang suntuk, malas dan frustasi, trus mau bikin puisi juga buntu.”
“Trus ndengerin orang baca puisi?” sambungku
Tia hanya tersenyum melihatku.
Aku mengambil salahsatu kursi yang masih kosong dan menjejerkan dengan kursi yang diduduki Tia. Kami berdua terlibat dalam obrolan yang akrab dan tak lagi memperhatikan pembacaan puisi. Kurasa percakapan kami lebih puitik daripada pembacaan puisi yang masih dengan iringan musik perkusi dan terkesan mistis nan artifisialis.
Tia pulang setelah acara selesai, dia tak mau ku antar meski hanya sampai parkiran sepeda motor. 
Senang rasanya berkenalan dengan cewek seperti Tia. Aku merasa udara malam tengah tersenyum padaku…Sejak saat itu Tia menghiasi pikiranku, memenuhi buku harianku, dan sering membuatku melamun. Tak dapat kupungkiri, aku naksir Tia.

Ternyata
Aku terkejut ketika berkunjung ke rumah Tia pertama kali, di kota kecil Klaten. Ketika aku duduk di ruang tamu, secara iseng kubuka album-album keluarga yang tergeletak di atas meja tamu. Sepertinya memang tamu dipersilakan membuka-buka sendiri. Aku kaget sekali ketika ada sebuah foto yang berlatar halaman rumahku, ada juga foto kakakku ketika masih kecil yang mengenakan seragam pramuka dan di sampingnya ada sepeda roda tiga milikku. Auuhh… Sungguh aku kaget sekali, gambar dalam album itu membuat ingatanku terbang ke masa lalu ketika rambut ayahku masih hitam legam. Ketika aku masih bersenjatakan botol kempongan susu. Aku berusaha mengingat-ingat semua temanku waktu itu demi rasa kagetku tentang Tia dan masa kecilku.
Setelah lama kuingat-ingat, aku baru sadar ternyata Tia adalah sahabat masa kecilku yang telah berpisah selama tujuh belas tahun lebih. Tia, gadis kecil berambut poni itu, dulu selalu bermain berdua denganku. Dulu kami paling suka berlarian di atas pematang sawah mengejar kupu-kupu yang tersesat. Tia, Gadis mungil yang dulu selalu menggandeng tanganku jika hendak menyeberang jalan raya untuk membeli ice juice jambu biji di warung mbak Tini.
“ Nang, silakan diminum.” Tia memotong lamunanku tentang masa kecil.
“ Eh, oh..iya Tia, terimakasih.” Aku tersenyum melihat Tia yang juga tersenyum segar.
Betapa kagetnya aku ketika melihat segelas ice juice kental warna pink tua di atas meja. Jelas itu adalah juice rasa jambu biji kesukaanku dari kecil. Lebih tepatnya kesukaan kami dari kecil. Aku tambah kaget ketika di dalam gelas kulihat dua sedotan plastik yang ujungnya mengarah ke arahku dan ke arah Tia. Sungguh, peristiwa kali ini membuatku bergetaran menahan rindu yang datang tiba-tiba. Ingatanku kembali melayang jauh ke belakang ketika aku dan Tia melakukan kebiasaan-kebiasaan lucu dan mengesankan: Aku dan Tia masih berusia 6 tahun, rambutku masih prontos dan Tia berambut poni. Di kebun belakang rumah, setiap hari minggu pagi cerah kami berdua berdiri menghadap ke timur tempat matahari terbit. Kami berdua paling suka melihat cahaya matahari yang bersilangan menembus celah-celah pohonan. Aku dan Tia paling suka mengelus-elus batang sinar matahari yang berbentuk seperti tombak menancap di tanah. Kami melihat ada jutaan bulatan debu kecil yang hidup di dalam sebatang sinar matahari itu. Debu yang kami sayangi. Kami menamainya debu piaraan Tuhan. Aku dan Tia sangat mencintai sinar matahari. Aku masih ingat ketika kami sering berdoa di bawah pohon jambu, kami memohon kepada matahari agar menjadi sahabat abadi. Sejak saat itu Kami mengaku sebagai anak matahari.
Selain kisah ‘matahari’, ada yang membuatku tersenyum ketika mengingat sesaji yang kami buat dari daun-daun, tanah, air, ranting, batu dan buah-buahan yang jatuh. Sesaji itu kami taruh pada sebuah sekotak kayu  yang tak lagi terpakai. Kami menaruhnya di bawah pohon – pohon besar karena setiap pohon yang besar kami anggap sebagai Ibu dari setiap pohon kecil yang sedang tumbuh. Sesaji itu kami persembahkan kepada pohon besar  sebagai tanda rasa sayang kami kepada ibu pohon yang menghidupi pohon-pohon yang lain.
Ah, belasan tahun telah lewat tapi kenangan itu masih juga hangat terasa dalam ingatan dan perasaan kami berdua. Di ruang tamu kami tertawa-tawa, menertawai nostalgia dan pertemuan tak disangka. Tia adalah anak pak Hasan, tetanggaku dulu yang pindah rumah lantaran Pak Hasan dipindah tugaskan ke luar pulau Jawa. Dulu keluargaku dan keluarga Tia sangatlah akrab meski keluarga Tia jauh lebih kaya dari keluargaku.
Saat ini adalah Lanang dan Tia yang mengaku sudah sama-sama dewasa.

Tia, Kamu Seksi
Jendral Ramilo dari Filipina pernah berkata kepada Presiden Sukarno bahwa orang-orang Filipina itu ganteng dan cantik, Sukarno menjawabnya dengan enteng “Ya, mungkin, tapi orang-orang Indonesia itu Seksi”. Tia hanya tersenyum kecut mendengar ceritaku, dia bilang, ah, Sukarno  si pecinta keindahan itu, memang selalu membuat bangsanya menjadi percaya diri. Apakah Sukarno punya ukuran seksi yang mengglobal? Seksi yang diakui seluruh dunia? Hehehe..kubilang bahwa semua orang Indonesia itu memang seksi termasuk nenek-nenek, kakek-kakek, ibu-ibu. Juga tanah airnya yang ke-seksi-annya diakui dunia. Kalau masih nggak percaya lihatlah relief perempuan di candi-candi itu, betapa seksinya leluhur kita. Seksi yang subur, bukan seksi yang kerempeng. Kami berdebat hingga marahan seminggu hanya gara-gara kata: Seksi!
Suatu ketika aku menulis surat pernyataan buat Tia tentang kata ‘seksi’ yang kuakhiri dengan kalimat: Tia, kamu seksi. Tia membalas surat itu dengan balpoin warna merah marun, “GOMBAL!”
Aku sedikit tersinggung, lantas ku bercerita apa adanya pada Tia:
Tia, kamu layak mencurigai seleraku tentang perempuan yang keibuan dan yang berbau ibu-ibu. Sebab sejatinya aku bingung dengan diriku, bingung dengan semua relasi yang pernah kujalani. Salah seorang sahabatku pernah bilang bahwa aku tak mempunyai selera tentang perempuan. Katanya aku asal pacaran saja, asal menerima dan menyatakan cinta, setelahnya tak ada masa depan untuk cinta. Aku tak pernah merawat dan bercita-cita dalam berpacaran. Lantas untuk apa pacaran?
Sejak saat itu aku tak pernah lagi pacaran, karena aku merasa bersalah dan merenungi keadaanku. Aku bingung  dengan mitos cinta yang katanya, membuat deg-degan, salah tingkah, menggetarkan dada dan indah tak terkatakan. Juga menyimpan misteri. Tapi diusiaku yang sudah 25 tahun belum juga merasakan seperti dalam mitos tersebut. Biasa saja, bahkan terlalu biasa. Aku pernah curiga dengan diriku, jangan-jangan aku pecinta sesama jenis. Aku pernah secara iseng beciuman dengan laki-laki tapi rasanya juga biasa saja, malah geli sendiri.
Ketika beberapa kali bertemu denganmu aku merasakan seperti mitos cinta orang kebanyakan itu. Saat itu juga aku merasa punya selera pada perempuan, maka kukatakan padamu kalau seleraku cewek yang keibuan dan serba ibu-ibu. Karena aku melihatmu dengan ciri-ciri seperti itu, tapi sebenarnya ada sesuatu yang sulit kukatakan dengan bahasa daerah atau bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Biarkan sesuatu itu hanya kurasakan dan menjadi milikku.
Kamu boleh membuang suratku, tapi yang harus kamu ingat  “Seksi itu tidak setiap hari muncul, tapi setiap saat bisa muncul dan diam-diam memukau”. Aku tak akan mengatakan saat kamu secara diam-diam membuatku terpukau. Maaf.
Sekali lagi kukatakan padamu, kali ini secara lisan: Tia, kamu Seksi J

Cerita-Cerita Kecil Menuju Harapan
Pertemuanku dengan Tia membuat orang tuaku kaget, apalagi setelah aku mengajak Tia main ke rumah. Ibu seolah tak percaya.
“Masak sih ini Tia..?” kata Ibu memandangi Tia agak lama.
“Iya, bu, ini Tia anak Pak Hasan.” Kataku menyahut.
“Ah, ibu nggak percaya, coba ibu tanya”
Tia hanya tersenyum malu sambil menundukkan kepalanya.
“Tia, Ibumu masak apa?” tanya ibu membuatku heran.
Tia melihat ibu lalu tersenyum dan menjawab dengan cepat.
“Masak terong dan goreng ikan asin!”
“Apa?
“Masak terong dan goreng ikan asin!!” kata Tia dengan nada meninggi.
Setelah itu Tia tertawa, ibu juga tertawa dan mereka berpelukan erat. Aku baru ingat, pertanyaan itu sering diucapkan ibu untuk menggoda Tia waktu masih kecil. Tia selalu menjawabnya dengan jawaban yang selalu sama dan bernada sebal, karena ibu selalu mengulang pertanyaannya. Kemudian terjadi percakapan hangat antara ibu dan Tia. Ibu menanyakan kabar Pak Hasan dan Bu Hasan yang sekarang tinggal di Klaten. Ibu bercerita kalau ayah sudah meninggal dunia dua tahun lalu dan tentang kakakku yang sekarang bekerja di Surabaya.  Aku memberitahu ibu, Tia sekarang tinggal di rumah Neneknya di Jogja. Ibu nitip salam buat keluarga Tia. Aku berharap ibu bahagia jika aku pacaran dengan Tia. Ibu terlihat sayang pada Tia. Aku juga berharap Tia membuatku bersemangat untuk menyelesaikan skripsiku yang sudah dua tahun terbengkalai.  
***
Menjelang siang di bulan Maret, aku dan Tia pulang kuliah jalan kaki menuju rumah Nenek Tia. Langit yang cerah, tiba-tiba mendung, rintik gerimis turun perlahan. Aku dan Tia melihat langit, lalu kami berpandangan dan tersenyum seolah bersepakat untuk tidak berteduh. Berdua berjalan santai membiarkan gerimis yang diam-diam membasahi baju dan tubuh kami. Beruntung tas kami terbuat dari bahan anti air. Aku dan Tia menikmati perjalanan hari itu, bercakap-cakap di sepanjang jalan di bawah gerimis yang lembut. Tentu saja sambil tertawa-tawa, kadang menertawai orang-orang yang kerepotan mengenakan mantel di tepi jalan. Berdua bergandengan hingga sampai ke rumah nenek Tia dengan basah yang menggembirakan. Hati kecilku bebisik pelan: terimakasih Tuhan,  telah menghadiahiku gerimis seperti ini. Aseekk…deh…
Sesampai di beranda rumah, Pak Hasan dan Bu Hasan menyambut dengan senyuman dan geleng-geleng kepala.
“ Duh…kalian itu sadar nggak sih kalau sudah dewasa? atau mau nostalgia masa kecil?” kata Bu Hasan dengan nada sedikit jengkel.
“Iya bu, sadar kok…” balas Tia sambil menaruh tas di kursi beranda.
“Udah sana langsung ke belakang jangan sampai ketahuan Nenek.” Sahut pak Hasan.
Sementara aku agak kikuk dengan kejadian itu, sungguh malu sekali rasanya. Aku tak menyangka kalau orang tua Tia datang ke Jogja. Tia menggandeng tanganku ke kamar mandi lewat pintu belakang. Kuucapkan kata permisi dengan agak gerogi pada orang tua Tia. Kuharap pak Hasan dan Bu Hasan memaklumi kejadian ini.
“Lho, Lanang sudah bawa pakaian ganti?” kata Bu Hasan.
Aku menjadi tambah kikuk, aku dan Tia menghentikan langkah.
“Tia, nanti Lanang dipinjami baju ayah, ambil di almari lama.” Lagi Pak Hasan menyahut.
“Waduh..terimakasih Pak…” ucapku lirih.
“Ayo cepet!” Tia menarik tanganku.
Aku segera akrab dengan keluarga Tia. Bu Hasan sering bercerita padaku tentang Tia dan tentang kakaknya yang bekerja di Jakarta. Pak Hasan juga sering bercerita tentang burung-burung piaraannya. Bu Hasan da Pak Hasan menanyakan kabar ibu, dan berencana bermain ke rumahku. Duh…aku merasa diterima di tengah  keluarga Tia.
***
Suatu hari Tia bercerita padaku tentang kisah cintanya yang selalu ia sembunyikan pada siapapun, juga keluarganya. Tia pernah pacaran dengan cowok sekelasnya sewaktu SMA dan kakak angkatannya di kampus, tapi keduanya berakhir dengan alasan yang sama: sudah tidak cocok lagi. Aku tak menanyakan perihal ketidakcocokannya, hanya kudengarkan saja semua ceritanya. Kadang di sesela cerita aku mencium kening Tia saat dia menundukkan kepala.
“Hmm…Tia, aku suka nonton film kartun Tom and Jerry, Kamu suka?”
Tia terdiam tiba-tiba, mungkin dia merasa jengkel karena aku seperti akan mengalihkan tema ceritanya. Mungkin ia mengira aku malas mendengarkan ceritanya, tapi segera kujelaskan tentang falsafah film kartun itu. Tom dan Jerry, sepasang tokoh kucing dan tikus yang tak pernah cocok, tapi mereka menjadi sepasang tokoh yang seru. Tokoh yang menghibur diri sendiri dengan ketidakcocokkan. Tokoh yang banyak akal karena terinspirasi dari ketidakcocokkan. Tokoh yang membuat dunia mereka menjadi ramai karena “tidak cocok”. Aku yakin jika tak ada Tom pasti Jerry kesepian, begitu juga Tom pasti akan resah dan merasa kehilangan jika tak ada Jerry. Jadi mengapa harus putus hanya karena tidak cocok? Aiihh, aku ini….diam-diam aku berdoa, semoga Tia tidak bertanya mengapa aku putus dengan pacar-pacaraku. Aku khawatir akan kujawab: sudah tidak cocok lagi. Tia tersenyum lebar lalu meremas lembut jari-jari tanganku.
Aku dan Tia duduk berdua di sebatang pohon Jambu yang baru tumbang di belakang rumahku. Kami bercerita tentang banyak tentang sambil melihat bulan yang bulat penuh. Tia berbisik padaku, “Nang, kita akan saling bercerita hingga kita sama-sama tua kan?” Aku menoleh, kupandangi mata Tia dalam-dalam lalu kuberbisik padanya, “Iya Tia, kita akan bercerita hingga sama-sama tua.”
Ujung bibirku menyentuh daun telinga Tia, tepat ketika seekor nyamuk menggigit leherku.

Jogjakarta, Maret 2012