ANDY, UH KAMU NYEBELIN
Oleh: Agung Hima (Penulis Tinggal di Semarang)
[1]
Andy bikin puisi? Begitu tanya yang setiap hari muncul di
otak saya. Cah mime kok bikin puisi? Opo iso? Sembari menunggu kiriman bukunya
saya pun menikmati indah pantai senggigi di lombok, disanalah saya juga
mengalami sebuah peristiwa yang membuat saya berpikir ulang untuk
berdekat-dekat dengan penyair. Pada akhirnya terjawab sudah apa yang pernah
dikatakan Richard boleslavky, seorang tokoh drama modern yang pernah menulis 6
pelajaran bagi seorang aktor. Bahwa
penyair/penulis biasanya “Cuma” menuliskan sebuah peristiwa untuk di rangkaikan
menjadi sederet-deret kalimat indah atau bahkan membingkai dengan bahasa
alegoris yang njlimet hingga
memungkinkannya terjadi puisi gelap. Bahkan semakin gelap konon katanya semakin
indah. Duh…
Lewat sms, Andy mengabarkan puisi sudah dikirim, dan benar,
2 buah buku mungil dan manis itu sekarang sudah berada di atas meja belajar
anak saya. “lumayan” begitu kata anak saya. 2 buah buku dengan warna dasar
putih dengan gambar yang manis disertai pilihan font yang “kartun” emang sangat
menarik. Judulnya juga seperti diperuntukkan bagi pembaca “remaja” IBLIZ IMUT
dan UH, KAMU NYEBELIN (II&UKN). Dan
buku satunya IBU AKU MINTA DIBELIIN MUSHOLA (IAMDM). Wow.
Beberapa hari kemudian baru saya menelusuri buku itu, ada
pengantar mutia sukma, ikun sk, satmoko budi santosa dan endorsment lainnya, yang kukira cukup menggambarkan apa yang
dituliskan Andy. So, apalagi yang harus dibedah dari buku ini? Jangan-jangan
kalau dibedah malah menambah nggak karuan, sebab saya sendiri masih meyakini
bahwa “kesalahan-kesalahan” yang timbul dalam puisi justru ketika puisi itu
dibedah sedemikian rupa sehingga puisi tidak lagi bebas untuk menemukan
pembacanya sendiri. Nah lo!
[2]
Dalam mendeskripsi banyak bahasa di dunia diperlukan sebuah
unit kata,
sebagian kata dibatasi fonologis, sedangkan bagi bahasa yang lain dibatasi
morfologis. Kata mempunyai stabilitas intern dan mobilitas posisional, yang
berarti mempunyai komposisi tertentu dan relatif memiliki distribusi yang bebas.
Tentu saja, dengan adanya distribusi bebas ini membutuhkan sebuah komunikasi
dalam sebuah konstruksi kata-kata yang pada akhirnya dimungkinkan adanya sebuah
pengertian,
baik dari sebuah kata-kata yang tersurat ataupun tersirat.
Sebagai penyalur gagasan, kata ibarat “pakaian” yang dipakai
oleh pikiran penulis untuk mengkomunikasikan “jiwa” yang terdapat dalam kata
yang disusunnya. Maka perlu disadari bahwa semakin
banyak kata yang dikuasai semakin memungkinkan menyalurkan gagasan atau ide
yang dikuasainya dan yang sanggup diungkapnya. Mereka yang menguasai gagasannya atau luas
kosa katanya akan dengan mudah mengadakan komunikasi dengan orang-orang lain.
Dalam hal ini ketika II&UKN dan IAMDM terlahir ia tidak
lepas dari upaya komunikasi penulis kepada pembacanya (bahkan mungkin termasuk
pilihan kover dan orang-orang yang memberi endorsement). Hingga pada akhirnya
persoalan pemilihan kata menjadi sangat penting dalam penjalinan komunikasi
ini. Sungguh sangat gegabah ketika menyederhanakan persoalan pilihan kata yang
tidak perlu dipelajari atau dibicarakan karena menganggap bahwa proses itu
terjadi secara wajar pada setiap manusia. Di dalam banyak puisi yang berceceran
di setiap jaman, sering dijumpai puisi yang sulit mengungkapkan gagasan dan
miskin variasi bahasanya tapi juga tidak sedikit menemu puisi yang berlimpah
kata namun sama sekali tidak ada isinya.
Membaca puisi Andy dalam 2 antologi ini saya sepakat dengan
apa yang dikatakan oleh nama-nama yang ada dalam kata pengantar dan endorsment
dalam buku ini. Sebab setiap pembaca berhak menafsirkan apapun atas apa yang
ditulisnya. Saya juga menemukan begitu banyak persoalan ketika membaca
puisi-puisi Andy. Saya begitu lelah ketika membaca puisi-puisi panjang yang
mungkin sarat makna tapi kadang juga sumringah ketika bertemu dengan
kalimat-kalimat yang lucu. Puisi-puisi Andy memang benar mengaduk-aduk begitu
banyak persoalan meski saya juga mendapat bahwa kadang ia gagap untuk
menghentikan apa yang ditulisnya.
Ibarat saya butuh pecel, tapi Andy menuliskan banyak hal dan
memberikan spaghetti, nasi liwet dan beraneka makanan untuk disantap, hingga
pada akhirnya saya harus berhenti untuk menyantapnya. Secara ngawur dalam benak
saya timbul bahwa kadang Andy tidak menyadari puisi yang ditulis sebanarnya
harus berhenti pada titik yang seharusnya berhenti, tapi ia malah melanjutkan
dengan banyak hal sehingga justru ketika ia menulis banyak maka ia bercerita
sangat sedikit. Tapi justru ketika ia menuliskan puisi dengan beberapa kalimat,
justru puisi itu bercerita sangat banyak.
USAI PESTA LUPA
:whani D
ada yang indah di dada kita
keberanian dan nafas panjang
HARI IBU
Ibu, aku tak cukup lelaki menjadi ibu
Puisi-puisi inilah yang justru secara pribadi membuat saya
terperangah. Andy seperti bicara banyak hal tentang bagaimana sebuah proses
bertahan hidup, menjalani kehidupan yang semakin hari semakin tidak mudah.
Persis dengan apa yang pernah diusungnya dalam reportoar pantomim-nya beberapa
tahun yang lalu (saya lupa judulnya).
Maka ketika saya membaca puisi-puisi dengan baris panjang, saya malah
menemukan banyak kecerewetan yang meskipun mempunyai daya tonjok tapi malah
membikin saya untuk tidak mengamininya. Persis ketika istri saya menasehati
anak saya yang tetep mantuk-mantuk mendengar
nasehat, tapi tetep juga tanganya lihai mengubah chanel televisi. Nah lo!
[3]
Saya meyakini bahwa apa yang ditulis Andy merupakan donne
apenser atau suatu bahasa yang kepenuhan kekayaannya tidak pernah
selesai diungkap. Maka puisi-puisi Andy memungkinkan untuk dibedah lewat cara
apapun, dengan varisasi kajian akan dengan mudah mengungkap “something” yang
ditulis Andy baik secara jelas atau disembunyikan.
Namun secara pribadi saya juga bercuriga bahwa puisi-puisi
yang ditulis Andy mungkin merupakan embrio dari naskah-naskah reportoar
pantomim yang belum selesai untuk dipentaskan. Sebagai seorang aktor mime dan
sutradara tentu saya paham bahwa apa yang ditulisnya telah sampai pada proses
“mengalami”. Sehingga saya banyak
melihat bahwa puisi-puisi Andy sungguh bercerita. Disanalah saya menukan kemarahan, kelesuan
bahkan sampai sebuah kesakitan yang menjadi energi hidup seorang Andy.
Maka sekali lagi saya sepakat dengan apa yang dituliskan
dalam kata pengantar ataupun endorsement dalam buku puisi Andy.
Ditulis untuk Andy Sri wahyudi.
Teks-teks
yang Sedih namun tetap Optimis
Oleh: Adin (Direktur, Hysteria Sastra)
Akan
halnya Ikun SK, teks-teks Andy datang pada saya sudah sejak lama. Seperti
ingatan yang cerewet ingin dihidup-hidupkan kembali, demikianlah Andy mengabsen
saya tiap hari. “Adin yang baik apakah sudah selesai teks yang kamu tulis
untukku,” katanya. Demikianlah ‘teror’ ini menghampiri saya tiap saat. Bahkan
dalam beberapa kesempatan saya matikan handphone saya untuk menghindari diabsen
dia. Hahahhaha. Tapi begitulah, kawan yang baik tidak akan pernah berhenti untuk
terus menyapa dan meneror meski kita acuhkan berkali-kali bukan?
Heran
juga, saya yang belakangan ini mulai tidak bergairah lagi dengan kata-kata,
seolah diseret oleh panggilan yang tidak masuk akal untuk bersuntuk-suntuk
dengan teks lagi. Setidaknya jika tidak bersuntuk-suntuk, dipaksa untuk
bersemangat oleh ajakan teman-teman yang sedang bersemangat. Tidak hanya para
mahasiswa baru, tetapi juga kakak kelas saya yang mau tidak mau saya tidak bisa
berkelit. Maka, saya kembali pada jalan ini untuk saat ini.
Ada
dua buah antologi puisi yang disodorkan pada saya, yakni Ibu, Aku Minta Dibelikan Mushola, dan Iblis Imut sengaja saya pilih satu judul saja untuk saya tekuni.
Antologi pertama memuat sajak-sajak Andy pada kurun waktu 2001-2008 sedangkan
antologi kedua memuat sajak dalam kurun waktu 2007-2011. Pilihan saya untuk
mengapresiasi antologi yang kedua, Ibliz
Imut, didasari pada bacaan sepintas lalu yang secara tekstual lebih menarik
daripada antologi pertama. Pertimbangan ini tidak berdasar kajian teks secara
mendalam, tetapi pada kesan sepintas lalu saja.
Beberapa
waktu yang lalu saya dihadapkan pada teks-teks rekan saya Galih Pandu Adi dan
Timur Budi Raja, keduanya juga memaksa saya untuk menengok mereka melalui teks
yang dianggitnya. Teks keduanya meski mengelaborasi kesunyian dan kadang
kesedihan, tetap saja mempunyai perbedaan dalam bahasa ungkap. Pada keduanya,
masih banyak saya temukan kesunyian dan kesedihan yang dikatakan dengan cara
seperti kebanyakan penyair menulis tentang kedua tema tersebut. Berbeda dengan
teks-teks Andy, penyair yang juga pegiat mime ini menulis kesunyian, lebih
khusus lagi kesedihan dan memperlakukan kenangan dengan cara berbeda.
Kata
Andy:
Ada sedih yang warnanya ungu, merah,
jingga, nila. Ada sedih yang remaja dan dewasa, ada sedih ang cantik, sedih
yang ganteng, sedih yang fotogenik dan ada sedih yang genitnya minta ampun. Ada
juga sedih yang masih kanak-kanak, ingusnya meler-meler. Ia berlari telanjang
bulat sambil menangis, ia dikejar ibunya disuruh mandi. Wah..pasti kamu senang
melihatnya. Melihat kesedihan berlarian lincah kesana-kemari.
(dalam
‘Adhik jangan menangis lagi ya..’)
Kesedihan
hadir dalam puisi-puisi lelaki yang bernama lengkap Andy Sri Wahyudi ini dengan
ringan, enteng, tidak berlarat-larat, kadang lucu, namun tetap sedih dan
optimis
Tapi orang-orang sedih karena punya
perasaan, tapi kamu tetap cantik seperti pantai
(dalam
‘Ibliz Imut)
Begitulah,
karena punya perasaan orang-orang punya alasan untuk sedih, tidak lantas
berlarat-larat dalam perasaan sedih, aku lirik tetap memandang optimis karena
dia punya orang yang dicintai sebagai objek keindahan.
Dalam
sajak ‘Ibliz Imut’ Andy menggambarkan leukemia dengan cara yang menarik.
Penyakit yang menakutkan dan sering merenggut nyawa orang, ditangannya disulap
menjadi penyakit yang lucu dan bersahabat. Bukan dalam artian leukemia bernada
positif, namun mengajak penderita untuk menerima nasibnya dan berdamai dengan
hal ini. Ada dua cara untuk memperlakukan nasib, pertama menolaknya, yang kedua
menerimanya. Sajak ‘Ibliz Imut’ adalah ajakan Andy untuk tidak sekedar
menerimanya dan pasrah, tetapi lebih dari itu mengajak untuk memberi pemaknaan
ulang pada penyakit mematikan ini.
Masih
ada kesempatan untuk memilih bahagia! Dalam keadaan sesedih apapun, termasuk dirundung
leukemia. Inilah keistimewaan Andy dalam memperlakukan kesedihan.
Saya
cenderung sepakat dengan Satmoko Budi Santoso dalam endorsement nya yang
mengatakan puisi-puisi Andy ditulis secara spontan. Dasar pengeditan tekspun
bukan berdasar pada renungan mendalam untuk mencapai daya ungkap yang orisinal,
namun salah jika kemudian menyederhanakan Andy sangat menganggap remeh bahasa.
Dalam sajak ‘Sore Itu Aku Tak Menemukanmu’ misalnya Andy sama sekali tidak
main-main. Tidak kita temui kat-kata semacam ngrumi, soklat, buatjingan, ampyun
dan beberapa kata lagi yang membuat sajak-sajak Andy terkesan main-main.
Kesan
lain yang saya tangkap, Andy hendak membuat bahasa menjadi miliknya sendiri
meskipun jelas itu tidak mungkin karena sajak-sajaknya masih mengandaikan untuk
dibaca orang, artinya ia tetap pada konvensi bahasa baik sintaksis maupun
semantiknya. Namun usaha untuk membuat itu jadi khas Andy memang terasa,
misalnya dalam penggantian kata coklat menjadi ‘soklat’, bersentuhan dengan
‘bersintuhan’ merupakan salah satu bukti usahanya.
Tidak
seperti Roland Barthes yang menganjurkan matinya pengarang ketika teks lahir,
saya justru sangat kesulitan membunuh Andy dalam tiap pembacaan sajak-sajaknya.
Wajah Andy, perilaku yang menyebalkan, humornya yang aneh, dan tawaran
persahabatannya yang lucu melulu hadir dan memaksa saya membaca teks-teks ini
dengan menghadirkannya dalam imajinasi saya.
2007
lalu saya pertama kali berjumpa dengan penyair kelahiran Yogyakarta, 13
Desember 1980 saat mendapat kesempatan lokakarya penulisan buku program di
Jakarta yang diselenggarakan oleh Yayasan Kelola. Sejak saat itu kami intens
menjalin kontak.
Beberapa
puisinya juga secara sengaja ditujukan untuk nama-nama tertentu. Ini juga
menjadi penyebab sulitnya saya menceraikan Andy dalam pembacaan saya. Saya
sedang membayangkan Andy bertutur pada saya, Dab Joko Bibit, Gus Dur, Dwi
Cipta, Indrian Kota, Joned, Whani Darmawan, Danarto dan banyak lagi
sahabat-sahabatnya yang disebut satu persatu.
Pada
Dab Joko Bibit misalnya aku lirik mengajak person yang disapanya sejenak
bedamai dengan kebencian yang mengalir sederas arus mimpi, pada Gus Dur ia
mengenangnya dengan jalan memutar. Tidak langsung spesifik menyapa Gus Dur,
Andy lebih senang menceritakan Gus Dur melalui kisah yang dibangun bersama
ibunya. Semua ini membuat saya mengimajinasikan Andy sebagai kawan yang ramah
menyapa dan semakin saya bayangkan semakin basah pembacaan ini atas
kehadirannya.
Namun
demikian entah kenapa kejenakaan itu pelan-pelan lenyap pada sajak-sajak yang
ditulis pada tahun 2011 an. Kalau diperhatikan sajak-sajak Andy berubah menjadi
sajak ‘serius’ lagi. Mendadak saya kehilangan Andy yang lucu dan menyebalkan.
Kenapa? (m8)
Puisi Klembak Mentol
Ratjikan Aseli Pemuda
Andy
(catatan untuk dua
buku puisi Andy Sri Wahyudi : Iblis Imut, dan Ibu Aku Minta Dibelikan
Mushola)
Jika Anda adalah
seorang penulis syair atau prosa fiksi, maka kemungkinan besar Anda perokok,
tak urusan saya jenis kelamin Anda. Nah, Anda pasti juga sadar, betapa rokok
adalah sebuah realita kegigihan umat manusia Indonesia. Lihat saja, betapa
gencar kampanye penindasan dan upaya-upaya terang-terangan untuk membunuh
rokok. Tidak saja berasal dari gerakan pura-pura intelektuil, tetapi juga dari
tangan kanan Negara melalui Kementrian Kesehatan, bahkan melalui sayap agama
dan organisasi agama yang dengan sukarela, menjanjikan neraka untuk Anda
(perokok).
Namun demikian,
bagaimana nasib konsumsi rokok? Surutkah? TIDAK! Paberik-paberik, dengan
semangat mengejar uangnya terus berupaya melawan tanpa harus menyerang kembali
musuh besarnya… dan kita (perokok)? Juga dengan penuh kegigihan yang agung
(tanpa makian dan kebencian) terus tersenyum menggali sumber-sumber uang
sehingga tetap bisa merokok dan berkarya. Kita, kaum2 yang tegar, dan pantas
dijuluki generasi penerus orang-orang luhur …
Nah, demikianlah
fenomena puisi… sampai hari ini, kita terus mengenal dengan baik karya-karya
puisi besar dari generasi lama, dan kita saksikan bersama kelahiran yang terus
menerus memunculkan penyair baru. Tetapi, berapa jumlah kumpulan puisi di toko
buku? Rupanya, puisi bukanlah konsumsi yang menyehatkan sehingga pabrik2 buku
tidak serta-merta menganggapnya sebagai komoditi yang menguntungkan. Lagipula,
menulis puisi, umumnya sudah dikenal oleh hampir semua orang sejak masa awal
remaja ketika cinta monyet menghampirinya. Ya, hampir semua orang pernah
membuat puisi. Mungkin begitu sebabnya, sehingga menerbitkan puisi bukanlah hal
yang modis bagi penerbitan buku.
Tetapi sebagaimana
pabrik rokok dan perokok, penyair-penyair semacam Andy, yang keturunan orang-orang
luhur ini, tidak menemukan satu alasanpun untuk dendam dan mengumpat. Ia justru
melenggang dengan karya-karya sederhana dan gokil. Lalu keceriaannya membuat
malaikat bersedia menuntunnya, mempertemukannya dengan orang-orang serupa, yang
tetap tulus mencintai puisi. Penerbit mayor label enggan menimang puisi, maka
alam menggeliat mereka-reka lahirnya penerbitan Indi, dan orang-orang semacam
Andy, menemukan jalan untuk berpuisi.
Puisi-puisi Andy ini
bergaya aneh dan lucu. Saya tidak yakin ia bisa lolos masuk ke Koran. Tetapi,
nyatanya, kita tidak bisa menolak bilang bahwa puisi nya ini memang unik.
Gayanya yang kekanakan, imaji nya yang “kartun” dan isi nya yang tidak sulit
untuk disimpulkan bahwa ia mempuisikan hal-hal sederhana kesehariannya. Ia menulis
puisi sebagaimana remaja 90-an menulis Diary. Andy, membelokkan kecewa atas
hal-hal yang lewat begitu saja dalam hidupnya di masa kecil, menjadi semangat
untuk menjaga apa yang sedang melintas dalam hidupnya kini ke dalam puisi.
Mungkin biar abadi. Ini berarti, Puisi bagi Andy adalah semacam sebuah jalan
keluar, sebuah langkah hidup. Ini mengingatkan saya pada Haji Djamhari yang
mencari cara agar tetap merokok tetapi batuknya juga bisa sembuh, dan
terciptalah rokok kretek yang mengandung cengkeh itu.
Pada puisi Andy,
terasa adanya sesuatu yang lugu dan beraroma “ndesa” sekaligus lawas, seperti
aroma rokok klembak menyan. Meski seringkali kita temukan gaya-gaya kalimat
“muda” yang hanya muncul dalam pergaulan kota masa kini, seperti rokok Mentol…
Ya Puisi Andy seperti rokok jenis baru, Klembak Mentol, apek tapi seger
semriwing, udik sekaligus gaul… Dan sekali lagi, seperti kegigihan rokok,
penerbitan puisi Andy ini adalah juga bentuk kegigihannya, untuk tetap bisa
merokok… J
M. Ahmad Jalidu, chief editor Garudhawaca Digital Book.