Jumat, 03 Agustus 2012

Lounching di Semarang


ANDY, UH KAMU NYEBELIN
Oleh: Agung Hima (Penulis Tinggal di Semarang)

[1]

Andy bikin puisi? Begitu tanya yang setiap hari muncul di otak saya. Cah mime kok bikin puisi? Opo iso? Sembari menunggu kiriman bukunya saya pun menikmati indah pantai senggigi di lombok, disanalah saya juga mengalami sebuah peristiwa yang membuat saya berpikir ulang untuk berdekat-dekat dengan penyair. Pada akhirnya terjawab sudah apa yang pernah dikatakan Richard boleslavky, seorang tokoh drama modern yang pernah menulis 6 pelajaran bagi seorang aktor.  Bahwa penyair/penulis biasanya “Cuma” menuliskan sebuah peristiwa untuk di rangkaikan menjadi sederet-deret kalimat indah atau bahkan membingkai dengan bahasa alegoris yang njlimet hingga memungkinkannya terjadi puisi gelap. Bahkan semakin gelap konon katanya semakin indah. Duh…

Lewat sms, Andy mengabarkan puisi sudah dikirim, dan benar, 2 buah buku mungil dan manis itu sekarang sudah berada di atas meja belajar anak saya. “lumayan” begitu kata anak saya. 2 buah buku dengan warna dasar putih dengan gambar yang manis disertai pilihan font yang “kartun” emang sangat menarik. Judulnya juga seperti diperuntukkan bagi pembaca “remaja” IBLIZ IMUT dan UH, KAMU NYEBELIN (II&UKN).  Dan buku satunya IBU AKU MINTA DIBELIIN MUSHOLA (IAMDM). Wow.

Beberapa hari kemudian baru saya menelusuri buku itu, ada pengantar mutia sukma, ikun sk, satmoko budi santosa dan endorsment lainnya, yang kukira cukup menggambarkan apa yang dituliskan Andy. So, apalagi yang harus dibedah dari buku ini? Jangan-jangan kalau dibedah malah menambah nggak karuan, sebab saya sendiri masih meyakini bahwa “kesalahan-kesalahan” yang timbul dalam puisi justru ketika puisi itu dibedah sedemikian rupa sehingga puisi tidak lagi bebas untuk menemukan pembacanya sendiri. Nah lo!

[2]

Dalam mendeskripsi banyak bahasa di dunia diperlukan sebuah unit kata, sebagian kata dibatasi fonologis, sedangkan bagi bahasa yang lain dibatasi morfologis. Kata mempunyai stabilitas intern dan mobilitas posisional, yang berarti mempunyai komposisi tertentu dan relatif memiliki distribusi yang bebas. Tentu saja, dengan adanya distribusi bebas ini membutuhkan sebuah komunikasi dalam sebuah konstruksi kata-kata yang pada akhirnya dimungkinkan adanya sebuah pengertian, baik dari sebuah kata-kata yang tersurat ataupun tersirat.

Sebagai penyalur gagasan, kata ibarat “pakaian” yang dipakai oleh pikiran penulis untuk mengkomunikasikan “jiwa” yang terdapat dalam kata yang disusunnya. Maka perlu disadari bahwa semakin banyak kata yang dikuasai semakin memungkinkan menyalurkan gagasan atau ide yang dikuasainya dan yang sanggup diungkapnya.  Mereka yang menguasai gagasannya atau luas kosa katanya akan dengan mudah mengadakan komunikasi dengan orang-orang lain.

Dalam hal ini ketika II&UKN dan IAMDM terlahir ia tidak lepas dari upaya komunikasi penulis kepada pembacanya (bahkan mungkin termasuk pilihan kover dan orang-orang yang memberi endorsement). Hingga pada akhirnya persoalan pemilihan kata menjadi sangat penting dalam penjalinan komunikasi ini. Sungguh sangat gegabah ketika menyederhanakan persoalan pilihan kata yang tidak perlu dipelajari atau dibicarakan karena menganggap bahwa proses itu terjadi secara wajar pada setiap manusia. Di dalam banyak puisi yang berceceran di setiap jaman, sering dijumpai puisi yang sulit mengungkapkan gagasan dan miskin variasi bahasanya tapi juga tidak sedikit menemu puisi yang berlimpah kata namun sama sekali tidak ada isinya.

Membaca puisi Andy dalam 2 antologi ini saya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh nama-nama yang ada dalam kata pengantar dan endorsment dalam buku ini. Sebab setiap pembaca berhak menafsirkan apapun atas apa yang ditulisnya. Saya juga menemukan begitu banyak persoalan ketika membaca puisi-puisi Andy. Saya begitu lelah ketika membaca puisi-puisi panjang yang mungkin sarat makna tapi kadang juga sumringah ketika bertemu dengan kalimat-kalimat yang lucu. Puisi-puisi Andy memang benar mengaduk-aduk begitu banyak persoalan meski saya juga mendapat bahwa kadang ia gagap untuk menghentikan apa yang ditulisnya.

Ibarat saya butuh pecel, tapi Andy menuliskan banyak hal dan memberikan spaghetti, nasi liwet dan beraneka makanan untuk disantap, hingga pada akhirnya saya harus berhenti untuk menyantapnya. Secara ngawur dalam benak saya timbul bahwa kadang Andy tidak menyadari puisi yang ditulis sebanarnya harus berhenti pada titik yang seharusnya berhenti, tapi ia malah melanjutkan dengan banyak hal sehingga justru ketika ia menulis banyak maka ia bercerita sangat sedikit. Tapi justru ketika ia menuliskan puisi dengan beberapa kalimat, justru puisi itu bercerita sangat banyak.

USAI PESTA LUPA
:whani D

ada yang indah di dada kita
keberanian dan nafas panjang

HARI IBU
Ibu, aku tak cukup lelaki menjadi ibu

Puisi-puisi inilah yang justru secara pribadi membuat saya terperangah. Andy seperti bicara banyak hal tentang bagaimana sebuah proses bertahan hidup, menjalani kehidupan yang semakin hari semakin tidak mudah. Persis dengan apa yang pernah diusungnya dalam reportoar pantomim-nya beberapa tahun yang lalu (saya lupa judulnya).  Maka ketika saya membaca puisi-puisi dengan baris panjang, saya malah menemukan banyak kecerewetan yang meskipun mempunyai daya tonjok tapi malah membikin saya untuk tidak mengamininya. Persis ketika istri saya menasehati anak saya yang tetep mantuk-mantuk mendengar nasehat, tapi tetep juga tanganya lihai mengubah chanel televisi. Nah lo!

[3]

Saya meyakini bahwa apa yang ditulis Andy merupakan donne apenser atau suatu bahasa yang kepenuhan kekayaannya tidak pernah selesai diungkap. Maka puisi-puisi Andy memungkinkan untuk dibedah lewat cara apapun, dengan varisasi kajian akan dengan mudah mengungkap “something” yang ditulis Andy baik secara jelas atau disembunyikan.

Namun secara pribadi saya juga bercuriga bahwa puisi-puisi yang ditulis Andy mungkin merupakan embrio dari naskah-naskah reportoar pantomim yang belum selesai untuk dipentaskan. Sebagai seorang aktor mime dan sutradara tentu saya paham bahwa apa yang ditulisnya telah sampai pada proses “mengalami”.  Sehingga saya banyak melihat bahwa puisi-puisi Andy sungguh bercerita.  Disanalah saya menukan kemarahan, kelesuan bahkan sampai sebuah kesakitan yang menjadi energi hidup seorang Andy.

Maka sekali lagi saya sepakat dengan apa yang dituliskan dalam kata pengantar ataupun endorsement dalam buku puisi Andy.

Ditulis untuk Andy Sri wahyudi.


 
Teks-teks yang Sedih namun tetap Optimis

Oleh: Adin (Direktur, Hysteria Sastra)


Akan halnya Ikun SK, teks-teks Andy datang pada saya sudah sejak lama. Seperti ingatan yang cerewet ingin dihidup-hidupkan kembali, demikianlah Andy mengabsen saya tiap hari. “Adin yang baik apakah sudah selesai teks yang kamu tulis untukku,” katanya. Demikianlah ‘teror’ ini menghampiri saya tiap saat. Bahkan dalam beberapa kesempatan saya matikan handphone saya untuk menghindari diabsen dia. Hahahhaha. Tapi begitulah, kawan yang baik tidak akan pernah berhenti untuk terus menyapa dan meneror meski kita acuhkan berkali-kali bukan?

Heran juga, saya yang belakangan ini mulai tidak bergairah lagi dengan kata-kata, seolah diseret oleh panggilan yang tidak masuk akal untuk bersuntuk-suntuk dengan teks lagi. Setidaknya jika tidak bersuntuk-suntuk, dipaksa untuk bersemangat oleh ajakan teman-teman yang sedang bersemangat. Tidak hanya para mahasiswa baru, tetapi juga kakak kelas saya yang mau tidak mau saya tidak bisa berkelit. Maka, saya kembali pada jalan ini untuk saat ini.

Ada dua buah antologi puisi yang disodorkan pada saya, yakni Ibu, Aku Minta Dibelikan Mushola, dan Iblis Imut sengaja saya pilih satu judul saja untuk saya tekuni. Antologi pertama memuat sajak-sajak Andy pada kurun waktu 2001-2008 sedangkan antologi kedua memuat sajak dalam kurun waktu 2007-2011. Pilihan saya untuk mengapresiasi antologi yang kedua, Ibliz Imut, didasari pada bacaan sepintas lalu yang secara tekstual lebih menarik daripada antologi pertama. Pertimbangan ini tidak berdasar kajian teks secara mendalam, tetapi pada kesan sepintas lalu saja.

Beberapa waktu yang lalu saya dihadapkan pada teks-teks rekan saya Galih Pandu Adi dan Timur Budi Raja, keduanya juga memaksa saya untuk menengok mereka melalui teks yang dianggitnya. Teks keduanya meski mengelaborasi kesunyian dan kadang kesedihan, tetap saja mempunyai perbedaan dalam bahasa ungkap. Pada keduanya, masih banyak saya temukan kesunyian dan kesedihan yang dikatakan dengan cara seperti kebanyakan penyair menulis tentang kedua tema tersebut. Berbeda dengan teks-teks Andy, penyair yang juga pegiat mime ini menulis kesunyian, lebih khusus lagi kesedihan dan memperlakukan kenangan dengan cara berbeda.
Kata Andy:

Ada sedih yang warnanya ungu, merah, jingga, nila. Ada sedih yang remaja dan dewasa, ada sedih ang cantik, sedih yang ganteng, sedih yang fotogenik dan ada sedih yang genitnya minta ampun. Ada juga sedih yang masih kanak-kanak, ingusnya meler-meler. Ia berlari telanjang bulat sambil menangis, ia dikejar ibunya disuruh mandi. Wah..pasti kamu senang melihatnya. Melihat kesedihan berlarian lincah kesana-kemari.

(dalam ‘Adhik jangan menangis lagi ya..’)

Kesedihan hadir dalam puisi-puisi lelaki yang bernama lengkap Andy Sri Wahyudi ini dengan ringan, enteng, tidak berlarat-larat, kadang lucu, namun tetap sedih dan optimis

Tapi orang-orang sedih karena punya perasaan, tapi kamu tetap cantik seperti pantai

(dalam ‘Ibliz Imut)

Begitulah, karena punya perasaan orang-orang punya alasan untuk sedih, tidak lantas berlarat-larat dalam perasaan sedih, aku lirik tetap memandang optimis karena dia punya orang yang dicintai sebagai objek keindahan.
Dalam sajak ‘Ibliz Imut’ Andy menggambarkan leukemia dengan cara yang menarik. Penyakit yang menakutkan dan sering merenggut nyawa orang, ditangannya disulap menjadi penyakit yang lucu dan bersahabat. Bukan dalam artian leukemia bernada positif, namun mengajak penderita untuk menerima nasibnya dan berdamai dengan hal ini. Ada dua cara untuk memperlakukan nasib, pertama menolaknya, yang kedua menerimanya. Sajak ‘Ibliz Imut’ adalah ajakan Andy untuk tidak sekedar menerimanya dan pasrah, tetapi lebih dari itu mengajak untuk memberi pemaknaan ulang pada penyakit mematikan ini.
Masih ada kesempatan untuk memilih bahagia! Dalam keadaan sesedih apapun, termasuk dirundung leukemia. Inilah keistimewaan Andy dalam memperlakukan kesedihan.

Saya cenderung sepakat dengan Satmoko Budi Santoso dalam endorsement nya yang mengatakan puisi-puisi Andy ditulis secara spontan. Dasar pengeditan tekspun bukan berdasar pada renungan mendalam untuk mencapai daya ungkap yang orisinal, namun salah jika kemudian menyederhanakan Andy sangat menganggap remeh bahasa. Dalam sajak ‘Sore Itu Aku Tak Menemukanmu’ misalnya Andy sama sekali tidak main-main. Tidak kita temui kat-kata semacam ngrumi, soklat, buatjingan, ampyun dan beberapa kata lagi yang membuat sajak-sajak Andy terkesan main-main.

Kesan lain yang saya tangkap, Andy hendak membuat bahasa menjadi miliknya sendiri meskipun jelas itu tidak mungkin karena sajak-sajaknya masih mengandaikan untuk dibaca orang, artinya ia tetap pada konvensi bahasa baik sintaksis maupun semantiknya. Namun usaha untuk membuat itu jadi khas Andy memang terasa, misalnya dalam penggantian kata coklat menjadi ‘soklat’, bersentuhan dengan ‘bersintuhan’ merupakan salah satu bukti usahanya.

Tidak seperti Roland Barthes yang menganjurkan matinya pengarang ketika teks lahir, saya justru sangat kesulitan membunuh Andy dalam tiap pembacaan sajak-sajaknya. Wajah Andy, perilaku yang menyebalkan, humornya yang aneh, dan tawaran persahabatannya yang lucu melulu hadir dan memaksa saya membaca teks-teks ini dengan menghadirkannya dalam imajinasi saya.
2007 lalu saya pertama kali berjumpa dengan penyair kelahiran Yogyakarta, 13 Desember 1980 saat mendapat kesempatan lokakarya penulisan buku program di Jakarta yang diselenggarakan oleh Yayasan Kelola. Sejak saat itu kami intens menjalin kontak.

Beberapa puisinya juga secara sengaja ditujukan untuk nama-nama tertentu. Ini juga menjadi penyebab sulitnya saya menceraikan Andy dalam pembacaan saya. Saya sedang membayangkan Andy bertutur pada saya, Dab Joko Bibit, Gus Dur, Dwi Cipta, Indrian Kota, Joned, Whani Darmawan, Danarto dan banyak lagi sahabat-sahabatnya yang disebut satu persatu.

Pada Dab Joko Bibit misalnya aku lirik mengajak person yang disapanya sejenak bedamai dengan kebencian yang mengalir sederas arus mimpi, pada Gus Dur ia mengenangnya dengan jalan memutar. Tidak langsung spesifik menyapa Gus Dur, Andy lebih senang menceritakan Gus Dur melalui kisah yang dibangun bersama ibunya. Semua ini membuat saya mengimajinasikan Andy sebagai kawan yang ramah menyapa dan semakin saya bayangkan semakin basah pembacaan ini atas kehadirannya.
Namun demikian entah kenapa kejenakaan itu pelan-pelan lenyap pada sajak-sajak yang ditulis pada tahun 2011 an. Kalau diperhatikan sajak-sajak Andy berubah menjadi sajak ‘serius’ lagi. Mendadak saya kehilangan Andy yang lucu dan menyebalkan. Kenapa? (m8)


Puisi Klembak Mentol
Ratjikan Aseli Pemuda Andy
(catatan untuk dua buku puisi Andy Sri Wahyudi : Iblis Imut, dan Ibu Aku Minta Dibelikan Mushola) 
Jika Anda adalah seorang penulis syair atau prosa fiksi, maka kemungkinan besar Anda perokok, tak urusan saya jenis kelamin Anda. Nah, Anda pasti juga sadar, betapa rokok adalah sebuah realita kegigihan umat manusia Indonesia. Lihat saja, betapa gencar kampanye penindasan dan upaya-upaya terang-terangan untuk membunuh rokok. Tidak saja berasal dari gerakan pura-pura intelektuil, tetapi juga dari tangan kanan Negara melalui Kementrian Kesehatan, bahkan melalui sayap agama dan organisasi agama yang dengan sukarela, menjanjikan neraka untuk Anda (perokok).
Namun demikian, bagaimana nasib konsumsi rokok? Surutkah? TIDAK! Paberik-paberik, dengan semangat mengejar uangnya terus berupaya melawan tanpa harus menyerang kembali musuh besarnya… dan kita (perokok)? Juga dengan penuh kegigihan yang agung (tanpa makian dan kebencian) terus tersenyum menggali sumber-sumber uang sehingga tetap bisa merokok dan berkarya. Kita, kaum2 yang tegar, dan pantas dijuluki generasi penerus orang-orang luhur …
Nah, demikianlah fenomena puisi… sampai hari ini, kita terus mengenal dengan baik karya-karya puisi besar dari generasi lama, dan kita saksikan bersama kelahiran yang terus menerus memunculkan penyair baru. Tetapi, berapa jumlah kumpulan puisi di toko buku? Rupanya, puisi bukanlah konsumsi yang menyehatkan sehingga pabrik2 buku tidak serta-merta menganggapnya sebagai komoditi yang menguntungkan. Lagipula, menulis puisi, umumnya sudah dikenal oleh hampir semua orang sejak masa awal remaja ketika cinta monyet menghampirinya. Ya, hampir semua orang pernah membuat puisi. Mungkin begitu sebabnya, sehingga menerbitkan puisi bukanlah hal yang modis bagi penerbitan buku.
Tetapi sebagaimana pabrik rokok dan perokok, penyair-penyair semacam Andy, yang keturunan orang-orang luhur ini, tidak menemukan satu alasanpun untuk dendam dan mengumpat. Ia justru melenggang dengan karya-karya sederhana dan gokil. Lalu keceriaannya membuat malaikat bersedia menuntunnya, mempertemukannya dengan orang-orang serupa, yang tetap tulus mencintai puisi. Penerbit mayor label enggan menimang puisi, maka alam menggeliat mereka-reka lahirnya penerbitan Indi, dan orang-orang semacam Andy, menemukan jalan untuk berpuisi.
Puisi-puisi Andy ini bergaya aneh dan lucu. Saya tidak yakin ia bisa lolos masuk ke Koran. Tetapi, nyatanya, kita tidak bisa menolak bilang bahwa puisi nya ini memang unik. Gayanya yang kekanakan, imaji nya yang “kartun” dan isi nya yang tidak sulit untuk disimpulkan bahwa ia mempuisikan hal-hal sederhana kesehariannya. Ia menulis puisi sebagaimana remaja 90-an menulis Diary. Andy, membelokkan kecewa atas hal-hal yang lewat begitu saja dalam hidupnya di masa kecil, menjadi semangat untuk menjaga apa yang sedang melintas dalam hidupnya kini ke dalam puisi. Mungkin biar abadi. Ini berarti, Puisi bagi Andy adalah semacam sebuah jalan keluar, sebuah langkah hidup. Ini mengingatkan saya pada Haji Djamhari yang mencari cara agar tetap merokok tetapi batuknya juga bisa sembuh, dan terciptalah rokok kretek yang mengandung cengkeh itu.
Pada puisi Andy, terasa adanya sesuatu yang lugu dan beraroma “ndesa” sekaligus lawas, seperti aroma rokok klembak menyan. Meski seringkali kita temukan gaya-gaya kalimat “muda” yang hanya muncul dalam pergaulan kota masa kini, seperti rokok Mentol… Ya Puisi Andy seperti rokok jenis baru, Klembak Mentol, apek tapi seger semriwing, udik sekaligus gaul… Dan sekali lagi, seperti kegigihan rokok, penerbitan puisi Andy ini adalah juga bentuk kegigihannya, untuk tetap bisa merokok… J  
M. Ahmad Jalidu, chief editor Garudhawaca Digital Book.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar