Minggu, 01 Mei 2011

tiga pucuk puisi


Aku ingin membantu ibu jualan kue
Buat: Gus Dur
hhmm...sekarang pukul berapa sih? Eh, aku berada di mana ya? Di sini aku hanya mendengar denyut nadi dan mencium keringat. Sepertinya ada yang tak pernah mati, ada yang terus bergerak? sepertinya masih ada perasaan? Tapi aku tidak tahu apakah pagi telah tiba? Duh...bagaimana ini? Aku harus membantu ibu jualan kue keliling kampung...
ah, tapi aku malas pulang kampung, karena tak ada yang berubah. jalan-jalan masih dikerubungi lalat, rumah – rumah dikerikiti rayap, pohon – pohon terserang cacingan dan diare, tetanggaku hobinya gantung diri, dan di rumahku itu bau udaranya seperti kekuasaan. Tapi aku kasihan dengan ibu, nanti ia jualan kue sendirian...
tapi di rumah sudah tak ada lagi rindu, sudah tak ada bunyi ilalang dan musim kelereng. anak-anak sekolah tak pernah lewat, ayam-ayam tak lagi bertelur. kue ibu ga pernah laku lantaran kuenya tidak tega membunuh.
haduh...gimana ini? Aku bingung sekarang pukul berapa? aku ada dimana? Di sini ada karnaval juga pasar malam hantu dan manusia, hewan-hewan juga menulis karya sastra, bayi-bayi menangis minta dimanja setiap ibu, dan aku meraba teknologi berdatangan. Di sini teman-teman sebayaku fuul colour. rasanya aku ingin mengajak ibu ke sini deh, jualan kue dan sejuta jajanan pasar.
 Di sini bu...di sebuah tempat yang bertetangga dengan keberanian, berpagar keadilan, berpohon keberagaman, dan berbau kemerdekaan. Di sini aku mendengar gemuruh sorak sorai kehidupan...

                                                           Jogjakarta, 6 Februari 2010





aku ingin kau tersenyum
        
sang, bukalah daun jendela itu
kau kan melihat dirimu sedang duduk di kursi taman
sambil mencicip ice cream dan membaca novel
tapi sebentar saja, lalu tutup kembali dengan pelan
aku takut ada yang meloncat trus menculikmu
sebab aku sudah merasa bahagia kau berada di sana
                     

sang...jendela itu ada di tengah dadaku.

10 Maret 2010



Terimakasih  29 tahun 9  bulan
buat: bapakku

Pagi itu kau tersenyum padaku dan
aku membelai rambutmu, lalu memandikanmu,
membersihkan kotoran kuku kakimu.
dan mendandanimu rapi. rapi sekali.
serapi kau meluangkan waktumu tamasya setiap hari minggu
sekadar membahagiakanku dan sejenak melupakan ibu.
Aku selalu mengingat saat telapak kaki kananku masuk jeruji motor
aku masih ingat ketika telapak tanganmu menghentikan darah lukaku
ah, itu dulu puluhan tahun lalu yang mencair disetiap langkah.
.
Kini kau terlihat tampan dan bijak. kucium keningmu.
dingin, seperti lamunan. kuantarkan kau berangkat ke sana.
Ke sebuah tempat di dekat tuhan.
pagi itu…

terimakasih ayah.


bandung, 4 oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar