Minggu, 23 Oktober 2011

Lounching Purwokerto


Metafora Mawar & Beberapa Referensi Poetis[1]

Oleh Abdul Aziz Rasjid[2]

I
Seorang anak Sekolah Dasar (SD) yang dikenal berperangai baik di lingkungan ia tinggal, tiap pulang dari sekolah acapkali menyempatkan diri mencuri bunga mawar yang berjajar rapi di halaman rumah salah satu tetangganya. Nama anak itu, Galuh. Dia dikenal pemberani, rajin, dan pendiam oleh pencerita akuan (first person narrator) dalam cerpen “Galuh Suka Mencuri Bunga Mawar” (selanjutnya akan disingkat GSMBM) yang ditulis oleh Andy Sri Wahyudi (ASW)[3].
Pencerita akuan, yang disampaikan oleh ASW sebagai “Aku” dalam cerpen GSMBM terlibat langsung sebagai first person participant narrator dalam peristiwa tercurinya bunga-bunga mawar milik ibunya. Keterlibatan ini ditandakan oleh dua hal: 1). Aku melihat dengan matanya sendiri saat Galuh setiap pulang sekolah mencuri bunga mawar milik ibunya, 2). Aku melihat reaksi ibunya yang marah, jengkel, penasaran bahkan sampai bolos kerja untuk seharian mengintip dari jendela ruang tamu demi mengetahui identitas pencuri bunga mawarnya.
Tapi, sebagai satu-satunya saksi, aku memilih geming, ia tak pernah bercerita bahwa Galuhlah yang mencuri bunga mawar milik ibunya. Hanya pada satu kesempatan, aku pernah berniat mengejar Galuh saat ia terlihat sedang memetik dua mawar di halaman rumahnya. Sayangnya, niat itu tak menjadi kenyataan, sebabnya: Galuh telah berlari memasuki rumahnya. Akhirnya, aku berdiam dalam rumah, menilik suara batinnya yang diliputi pertentangan deskriptif antara sikap positif yang diperlihatkan Galuh pada publik dan perilaku negatif Galuh yang aku ketahui secara pribadi. Dan aku pun menguraikan pertanyaan dalam hati: …bukan hanya aku, semua tetangga juga tahu kalau Galuh anak yang baik. Aku tidak tahu, mengapa Galuh mencuri mawar-mawar ibu?” (h. 61).
Singkat cerita, penyelesaian lalu dikisahkan oleh ASW dengan cara Galuh mengakui serta meminta maaf bahwa dialah yang mencuri bunga-bunga mawar. Secara keseluruhan, ending yang dipilih ASW ini menyelesaikan konflik batin para tokoh sebab di satu sisi mengakhiri reaksi jengkel, marah, dan penasaran yang meliputi tokoh ibu. Sedang di sisi lain, juga menjawab pertanyaan aku: Galuh mencuri bunga mawar ibu untuk diletakkannya di atas televisi sebab setiap hari ia melihat orang mati di televisi.
Dalam cerpen GSMB itu, secara pribadi saya mendapati tiga hal yang saya kira penting: 1). Peristiwa tercurinya bunga-bunga mawar jelas dibangun sebagai pusat peristiwa atau dengan kata lain menjadi inti dunia teks yang dibangun oleh imaji pengarang, 2) Orang mati di televisi adalah dunia di luar teks sebab kebenaran faktualnya dapat dicek secara empiris (referensi ostensif), 3). Kebiasaan Galuh mencuri bunga mawar untuk diletakkannya di atas televisi karena setiap hari ia melihat orang mati di televisi adalah referensi poetis, sebab secara tekstual reaksi galuh adalah dunia tersendiri, dunia potensial sebuah teks, yang dibangun dengan cara memuat suatu keunikan pribadi seorang tokoh dalam deskripsi sikap dan ekspresi tertentu yang berbeda dengan reaksi umum kebanyakan orang ketika setiap hari melihat orang mati di televisi. 
Maka, akhir peristiwa yang menyibak motif Galuh mencuri bunga mawar untuk diletakkannya di atas televisi karena setiap hari ia melihat orang mati di televisi dapat dipahami pula sebagai metafora, karena secara tekstual memuat karakter ganda sebagai peristiwa dan makna. Makna ini berpusat pada latar material cerpen berupa bunga mawar yang memiliki rujukan pada realitas berupa orang-orang mati di televisi. Secara lebih mudah, saya ingin mengatakan bahwa bunga mawar hendak menyatakan sesuatu (tindakan lokusioner) yang telah diekspresikan tokoh Galuh lewat sebuah aksi berupa peletakan mawar di atas televisi (tindakan ilukosioner) sebagai reaksi tersendiri Galuh melihat bahwa setiap hari ada orang mati di televisi.
Pertanyaannya kemudian, apakah identifikasi makna yang dimuat oleh bunga mawar dalam cerpen GSMBM? Secara definitif mawar adalah tanaman perdu suku Rosaceae, yang meliputi ratusan jenis, tumbuh tegak atau memanjat, batangnya berduri, bunganya beraneka warna, seperti merah,putih, merah jambu, merah tua dan utamanya tersohor berbau harum. Secara jangkauan potensi konotasi (makna tertentu yang oleh seseorang atau suatu kelompok diberikan pada suatu kata) secara umum karakter mawar yang berwarna-warni, harum, merekah, seringkali dikaitkan atau lazim diterima sebagai ekspresi luapan kebahagian. Sekadar sebagai contoh, kelaziman ini terungkap dalam potongan sajak “Kuungkapkan Lewat Bunga”[4], yang ditulis oleh Sitok Srengenge di Candikuning pada tahun 1989:

Mawar dua warna
Kembang sepatu Cuma Satu
kupetik untukmu

Merah kembang sepatu menjadi semangat
Harum mawar menjadi kemesraan
Engkau menciumnya mesra
“cinta kita lebih wangi…”

Tapi, makna mawar dalam cerpen GSMBM memiliki jangkauan konotasi yang berbeda dengan potensi konotasi mawar secara lazim, sebab secara tekstual mawar hadir sebagai interaksi terhadap orang-orang mati yang Galuh lihat setiap hari di televisi sehingga dimungkinkan mawar memuat ekspresi yang lebih berkaitan dengan kepedihan.
Dari tawaran pembacaan sederhana atas cerpen GSMBM pada bagian I esai ini[5], dengan perulangan yang akut saya ingin menyatakan bahwa laku Galuh mencuri bunga mawar untuk diletakkannya di atas televisi karena setiap hari ia melihat orang mati di televisi memenuhi contoh kategori sastra yang dikonsepsikan oleh Dilthey (dalam Kleden, 2004) bahwa sastra menerapkan pendekatan ideografis secara par excellentiam, yaitu mengolah hal-hal yang spesifik dan unik dan menghindari pendekatan nomologis yang cenderung jatuh pada generalisasi.
Rasa kepedihan melihat orang-orang mati di televisi, mungkin berdampak pada banyak orang yang lantas menangis, marah, memilih mematikan televisi atau asyik membicarakannya di warung-warung kopi. Tapi dunia tekstual yang diciptakan ASW berbicara lain pada kita, peletakan mawar di atas televisi sebagai referensi poetis ini, menghadapkan pembaca pada situasi baru, makna baru yang menguak kepedihan massal kuantitas hilangnya (kematian) manusia di wilayah publik (terwakilkan lewat tayangan televisi ―entah lewat kekejaman perang, kelaparan&kemiskinan, bencana alam, dan sebagainya) yang cenderung diabaikan banyak orang dengan pembandingan kepedihan personal kuantitas hilangnya (tercurinya) bunga-bunga mawar sebagai kepemilikan domestik (benda-benda yang disayangi, dirawat, dikoleksi) yang bagi tak jarang orang ternyata lebih menimbulkan kesedihan berlarut-larut..

II
Cerpen GSMBM termuat sebagai salah satu cerpen sekaligus menjadi judul buku yang memuat 14 cerpen ASW yang lain. Cerpen-cerpen lain dalam kumpulan ini, pada hemat saya, beberapa di antaranya memiliki keunggulan dalam pemilihan referensi poetis yang membuka kemungkinan identifikasi makna baru pada suatu latar material yang berinteraksi dengan referensi ostensif  yang memiliki kebenaran secara faktual.
Tapi, ada perbedaan tipikal literer yang dilakukan oleh ASW. Bila pada Cerpen GSMBM interaksi referensi poetis dengan referensi ostensif dibangun dalam dunia tekstual dengan intensitas konflik batin para tokoh dalam satu peristiwa yang dilontarkan pencerita akuan tanpa menjelaskan biografi tokoh utama dengan detail; pada cerpen bertajuk “Sri”, “Seribu Patungku dan Sumpah Serapahku Kepadamu”, “Mencari Galuh” dan “Lorong Gelap” interaksi referensi poetis dengan referensi ostensif dibangun lewat deskripsi biografi yang membentang dari masa kanak hingga dewasa lewat sudut pandang pencerita diaan semestaan (third person narrator), sehingga secara tekstual intensitas konflik batin para tokoh berjalan tahap demi tahap.
Empat judul cerpen yang telah saya sebut di atas, tidak semuanya akan saya bicarakan secara menyeluruh, alasan saya: keempatnya diolah dengan tipikal literer yang sama dan hanya memiliki perbedaan dalam ranah referensi poetis. Dalam cerpen “Seribu Patungku dan Sumpah Serapahku Kepadamu” dunia potensial sebuah teks dibangun lewat biografi Setyawati dimana alur sorot balik (flashback) mengkisahkan pembangunan monumen-monumen yang disatu sisi menjadi simbolisme penaklukan namun lantas didekontruksi menjadi simbolisme perlawanan.
Dalam cerpen “Mencari Galuh” dunia potensial sebuah teks dibangun lewat interaksi antara biografi burung elang yang mengamati lalu menceritakan biografi manusia, keduanya diliputi dengan akutnya kerinduan yang lantas dicairkan dengan terbang menuju tempat-tempat yang belum terjamah manusia, secara pribadi saya kira cerpen ini lebih didominasi referensi poetis dan tidak begitu terbebani oleh referensi ostensif.
Dalam cerpen “Lorong Gelap” dunia potensial sebuah teks dibangun lewat biografi Mahli dalam mencari jasad ayahnya yang mati ditembak serdadu pasukan perak. Pencarian ini saya kira berpotensi untuk membuat pembaca mengindentifikasikan peristiwa diculiknya ayah dan tetangga Mahli dengan kejadian pembantaian orang-orang yang dianggap terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di akhir tahun 60-an. Tapi, apapun itu ada satu message yang nampak jelas dalam dunia tekstual cerpen “Lorong Gelap” ini, ketika Mahli mengurungkan niatnya untuk menguburkan jasad ayahnya secara manusiawi, Mahli menyatakan bahwa tak kan pernah ada kata “secara Manusiawi” bagi ayahnya juga tetangga sekampungnya.  
Sedang dalam cerpen bertajuk “Sri”, tiba-tiba saja saya ingin membicarakannya dengan sedikit cerewet. Sampai saya menulis pada pertengahan bagian II esai ini, saya hanya mempunyai alasan ini: Lebih karena selera pribadi yang tertarik pada referensi poetis sosok Sri yang bersikap tak akan pernah lagi memakai kutang yang secara tekstual mengingatkan saya pada dunia imajinasi Rendra, dalam “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta”[6], sebuah sajak dari tahun 1967:

Ambillah galah.
Kibarkan kutang-kutangmu di ujungnya.
Araklah keliling kota
sebagai panji-panji yang telah mereka nodai.
Kini giliranmu menuntut.

Secara tekstual, sikap Sri yang menanggalkan latar material kutang dan anjuran Rendra agar pelacur-pelacur kota Jakarta mengibarkan kutang-kutang di ujung galah memuat karakter ganda sebagai peristiwa dan makna yang memiliki keserupaan, bahwa tubuh perempuan telah terhina oleh zaman yang selalu dimenangkan para penguasa dan dunia potensial teks ingin memberi alternatif bahwa tubuh perempuan sepenuhnya dapat menjadi sikap perlawanan. Meski metafora menanggalkan kutang, kini telah dibicarakan oleh ASW dan Rendra lewat kesamaan teknik penyimpangan makna kutang yang sudah dibakukan untuk dialihkan sebagai pesan perlawanan, tapi saya kira metafora keduanya tak jatuh sebagai dead metaphor.
Oleh karena itu, cerpen “Sri” tetap berdiri utuh untuk menceritakan biografi diri seorang perempuan yang sedari awal kelahirannya dipenuhi kisah-kisah pedih: seorang anak yang ditinggal mati bapak dan ditinggal minggat ibu, selain itu Sri mewarisi dosa politik sebab kakeknya dianggap terlibat organisasi terlarang. Cerpen “Sri”, lalu berkembang lewat deskripsi bagaimana ia tumbuh sebagai gadis yang berparas molek, hidup berdua bersama neneknya dengan berjualan jamu, dimana riwayat politik sang kakek menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang menyempurnakan nasib malang dalam perjalanan hidup ―tak ada pemuda yang mendekati Sri, masyarakat menjaga jarak dengan nenek Sri bahkan jamu nenek Sri dituduh berefek samping buruk, tidak memiliki izin departemen kesehatan sehingga Pak Lurah hanya memberikan izin berjualan di malam hari, dan itupun disertai tenggat waktu.
Sebagai latar tempat, area nenek Sri berjualan jamu menjadi panggung utama terbentuknya alur cerita., Area nenek Sri berjualan nantinya berkembang sebagai pasar tiban dimana Sri melanjutkan berjualan jamu selepas neneknya meninggal. Area ini, sekaligus menjadi area berinteraksinya rasa afeksi juga hasrat pak lurah (wakil penguasa berhidung belang) yang jatuh hati pada kemolekan tubuh Sri.
Sedang pada pucuk konflik, yang sekaligus merupakan segi referensi ostensif  juga sindiran pengarang menguak strategi penguasa yang secara licik berusaha menggusur pasar tiban dengan membentuk issue bahwa area pasar telah menjadi tempat perjudian, Sri sebagai wakil masyarakat yang termaginalkan dan pak Lurah sebagai wakil penguasa yang bervisi bahwa pembangunan berpangkal pada penaklukan sebagai syarat utama untuk terkumpulnya modal komunal.saling bersitegang dan saling berhadapan. Dalam situasi saling bersitegang inilah, Sri bertindak nekat melepas pakaian dan mencopot kutangnya lalu dilemparkan ke muka Pak Lurah sambil berteriak, “Pengecut! Picik! Licik! Tak pantas Hidup!!! Dan sejak peristiwa itulah Sri tak pernah memakai kutang lagi.

III
Pada bagian I dan II esai saya di atas, berdasarkan lima cerpen ASW yang termuat dalam kumpulan Galuh Suka Mencuri Bunga Mawar, saya telah mencoba-coba membuat semacam kategori atas cerpen-cerpen ASW dengan pertimbangan kekhasan stretegi tekstual berupa pengolahan referensi poetis dan jangkauan konotasi yang tak lazim pada latar material cerpen. Pada bagian III ini, saya akan beralih membicarakan hal-hal lain yang berkaitan dengan beberapa cerpen ASW yang belum sempat saya bicarakan.
Dalam cerpen “Arjuna di Bawah Hujan”, cerita bermula lewat sudut pandang pencerita diaan semestaan yang mengikuti perjalanan Arjuna dengan bertindak maha tahu akan perasaan-perasaan yang meliputi sang tokoh semacam kerinduan pada Rara Ireng, atau keresahan akan kekuasaan, bahkan kemahatahuan ini dilengkapi awalan penggambaran kuantitafif semacam ini: siang ke seratus telah ia lewati dengan keresahan yang tak kunjung padam (hlm. 96). Tetapi pada ending cerita, kemahatahuan pencerita luluh sebagai teks yang self-conscious (sadar diri), dimana sang pencerita mengakui telah malas mengikuti perjalanan Arjuna sebagai tokoh dalam cerpennya. Sehingga yang tinggal adalah cerita perjalanan Arjuna sendiri, dan berpotensi tanpa akhir, sebab status fiksional teks telah dibebaskan untuk membangun alurnya sendiri, namun potensi ending tetap ada asal terdapat keterlibatan prediksi-prediksi pembaca yang lantas menkontruksikan ending tertentu lewat pikirannya.
Sedang dalam cerpen “Andaikan Aku Adalah Salju”, bentuk surat yang disisipkan dalam cerpen menduduki posisi penting. Surat membangun pokok cerita tentang ironi sepasang suami istri yang terbelit masalah keunagan, terbelit masalah perselingkuhan sehingga memutuskan untuk membuang anaknya yang bernama Salju di depan pintu sebuah rumah. Surat ini sebagai strategi literer, terjalin sebagai cerita berbingkai tentang riwayat Salju yang telah tumbuh dewasa dengan identitas nama lain diantara nama Pingki, Ficky, Agam dan Sita.  
Akhirnya, pada cerpen-cerpen semacam “ROSE”, “Menunggu Laela”, “Lar dan Sum”, “Romantika Ayu dan Kabul”, “Bahrul Si Anak Desa”, ASW mencoba menguak pelik-pelik dunia keseharian orang-orang biasa, yang memiliki riwayat tak biasa. Ada seorang lelaki berusia 80 tahun yang lebih memilih menulis puisi, menyiram tanaman dan memilih hidup lajang; ada seorang remaja yang setia menunggu pelacur di sebuah halte; ada seorang pelacur dan tukang becak yang bernasib beruntung menjadi kaya; dan ada seorang anak yang lahir di luar nikah yang mendapatkan kesempatan belajar di luar negeri. Orang-orang biasa, yang memiliki riwayat tak biasa itu lalu berhadapan dengan kompleksitas kenyataan dalam situasi yang berbeda-beda, ada yang menggenaskan, ada yang menggelikan, dan ada yang membahagiakan. Kesemua ringkasan itu, saya kira menjadi penutup manis untuk menyatakan bahwa kumpulan cerpen Galuh Suka Mencuri Bunga Mawar dikemas serupa buket yang dirangkai dari mawar berbagai warna. (aar)



[1] Esai ini pertama kali disampaikan dalam diskusi “Launching Buku Galuh Suka Mencuri Bunga Mawar” di Auditorium Lama STAIN Purwokerto, Minggu 2 Oktober 2011 yang diadakan oleh Saga Khatulistiwa.
[2] Abdul Aziz Rasjid, Pemenang III Sayembara Esai Sastra Bulan Bahasa 2010, Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional. Aktif menulis esai dan kritik sastra. Beberapa tulisannya dimuat di: Kompas, Jawa Pos, Suara Karya, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Lampung Post, Radar Tasikmalaya, Radar Banyumas, Jurnal Yin-Yang, Majalah Sastra Littera (Taman Budaya Jawa Tengah), Buletin Sastra Pawon, dan lain-lain. Di samping itu, esai dan kritiknya juga terhimpun dalam antologi bersama semisal kumpulan esai Kahlil Gibran di Indonesia (editor: Eka Budianta, Ruas, 2010) juga menulis kata penutup buku sastra semisal buku sajak Yang, Kumpulan Sajak 2003-2010 (Abdul Wachid B.S., Cinta Buku, 2011). Ia menjadi pengajar di Sekolah Kepenulisan STAIN Purwokerto (2010-sekarang), sembari bergiat di Komunitas Sastra Beranda Budaya.
[3] Cerpen “Galuh Suka Mencuri Bunga Mawar” ini terhimpun dalam buku kumpulan cerpen Galuh Suka Mencuri Bunga Mawar  (garudhawaca:2011) yang merupakan buku perdana Ady Sri Wahyudi. Buku ini diberi kata pengantar oleh Afrizal Malna dan bernomor ISBN: 978-979-18632-6-1.  Versi digital cerpen ini dapat dibaca di blog Andy yang beralamat berikut: http://andyswahyudi.blogspot.com/2011/04/galuh-suka-mencuri-bunga-mawar.html
[4] Sitok Srengenge, Persetubuhan Liar (Jakarta: Condet, 1992, hlm. 35)
[5] Tawaran pembacaan dalam esai ini banyak merujuk pada penerapan gagasan teoritis yang berkaitan dengan  cara kerja metafora, penulis memanfaatkan bab khusus “Metafora dan Persoalan Utama Hermeneutika” yang ditulis Paul Ricoeur dalam buku Hermeneutika Sosial (Kreasi Wacana. 2008). Di sana-sini penulis juga memanfaatkan penerapan hermeutika dalam membaca teks saatra yang banyak ditulis di esai-esai Ignas Kleden yang terkumpul dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (Grafiti. 2004). Tapi penulis belum bisa mengatakan bahwa esai ini merupakan tawaran pembacaan hermeneutika, karena sebab beberapa keterbatasan pembacaan ini belum menerapkan disiplin ilmu hermeneutika dengan sangat ketat.
[6]  Rendra, sajak “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta”, dalam Hary Aveling, Rahasia Membutuhkan:Kata Puisi Indonesia 1966-1998 (Magelang: IndonesiaTera, 2003. Hlm. 26)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar