Butiran Gagasan yang Terus
Menetas
Oleh: Andy Sri Wahyudi
Teater lahir dari relasi kreatif antara
manusia dan lingkungannya, yang terus berkembang bersama gerak zaman. Pelaku
teater disetiap daerah di Indonesia tak henti-hentinya berproses kreatif,
menciptakan karya dan menghidupkan ruang apresiasi baru di tengah masyarakatnya.
Ruang seni teater yang terpusat di pulau Jawa, dan hanya di kota-kota seperti
Yogya, Jakarta, Bandung, Surabaya kini mulai menyebar. Teater telah menjadi mahkluk
yang lincah dan cerdas, ia terus bergerak dan meloncat-loncat sambil menaburkan
peristiwa dari daerah ke daerah di Indonesia.
Setelah tumbangnya Rezim Orde
Baru, bermunculan kelompok-kelompok teater baru dengan bentuk dan gagasan
berbeda-beda. Pulau Jawa tak selamanya menjadi pusat seni teater, sebab institusi
dan komunitas seni telah bermunculan di beberapa daerah seperti Makasar, Mataram,
Palu, Padang, Medan, Bali dll. Seni teater telah menggurita di daerah-daerah
yang berefek lahirnya kelompok-kelompok teater, baik teater kampus, teater
sekolah, maupun teater sanggar yang notabenenya teater independen.
Invitasi Teater Indonesia
Teater di Indonesia telah
memiliki sejarahnya sendiri, dan sejarah
perkembangan teater di setiap daerahpun berbeda-beda. Sebagaimana dalam perhelatan
Invitasi Teater Indonesia yang digagas oleh Federasi Teater Indonesia (FTI) di
Gedung Pertunjukan Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan. Acara yang berlangsung tanggal 25-30 November
itu diikuti oleh sebelas kelompok teater dari berbagai daerah: Teater Tera dari
Surakarta, Teater Awal dari Garut, Teater Smagajo dari Jombang, Bengkel Seni
Embun dari Ambon, Teater El-Nama dari Jakarta, La Teater dari Balikpapan, Teater
LHO dari Mataram, Teater Rumah Sunting dari Riau, Sanggar Seni Lentera dari Palu,
Teater Flamboyan dari Makasar, Teater Nan Tumpah dari Padang. Masing-masing
kelompok menampilkan karyanya dengan
bermacam bentuk dan tema.
Teater
EL-NAMA dengan naskah Hang Juro karya
Echo Chotib mengangkat tema kekuasaan yang berhubungan erat dengan
lingkungannya, yakni Jakarta. Panggung bersetting kapal itu mengisahkan para
Perompak berebut manisnya madu kekuasaan yang berhias pengkhianatan dan
pembunuhan untuk sekadar mendapat gelar Sang Kapten. Teater LHO yang membawakan
naskah Arsitektur Kata dengan
sutradara R. Eko Wahono, mengusung cerita masyarakat agraris disuatu negeri
yang hendak ditenggelamkan arus budaya industri. Dua budaya tersebut
disimbolkan oleh tokoh Abu yang mewakilli kaum agraris dan Pico seorang pemilik
perusahaan. Keduanya hanyut dalam permainan yang dinamai Arsitektur Kata, namun
selalu dimenangkan oleh Pico lantaran semua aturan telah ditentukan sang
pemilik modal.
Teater
Smagajo dengan aktor para pelajar Sekolah Menengah Atas menggambarkan semangat
nasionalisme. Bercerita tentang seorang mantan pejuang bernama Besut yang
dianggap tak mentaati aturan desa karena tak mampu membeli bendera merah putih
baru untuk dikibarkan ketika hari kemerdekaan. Sebab hanya sebuah bendera sobek
dan kumal yang dimilikinya sejak jaman perjuangan. Akan tetapi saat upacara
digelar, pak Lurah menganjurkan bendera pak Besut-lah yang layak dikibarkan
lantaran sebagai simbol sejarah perjuangan panjang sebuah bangsa. Sementara LA
Teater dalam judulnya TUHA mengisahkan
pertentangan kepemimpinan kaum tua dan muda dalam mempertahankan kredo kesenian
tradisional Mamanda. Sebuah konflik antar generasi yang berakhir dengan
kehancuran sekaligus permenungan panjang.
Dari
segi penggarapan artistik, Teater Tera dalam Don’t Cry Kumbakarna yang disutradarai Gigok Anuraga, mendeskontruksi
tokoh-tokoh kisah Ramayana dengan mengenakan kostum Samurai dan Yakuza yang
bertato diseparuh tubuhnya. Bahwa tak selamanya karakter hanya digambarkan
dengan kostum, meliankan kedalaman akting sang aktor. Setting panggung berlatar
sarang laba-laba besar melambangkan jalinan konspirasi para elit untuk menjala
musuh dalam merebut kemenangan. Sementara itu kreatifitas penggrapan koreografi
gerak dilakukan oleh Teater Nan Tumpah. Sutradara muda Mahatma Muhamad dalam Orkes Madun karya Arifin C. Noer,
menyajikan dunia kaum proletar yang chaos
dengan bentuk gesture tubuh para aktor yang mematung dengan
ekspresi karakter berbeda-beda. Aktor tak lagi menjadi ujung tombak kata-kata
verbal tetapi mampu menciptakan setting sebuah kekacauan dan kesimpangsiuran
relasi antar manusia.
Perhelatan
Invitasi Teater Indonesia merupakan
kerja teater yang mendorong para peserta untuk terus mengasah daya kreatifitasnya. Sebab teater merupakan kerja kolektif yang
dilakukan secara kontinyu. Para pekerja teater tak pernah berhenti dalam
mencari tema dan bentuk artistik untuk disajikan di tengah masyarakat. Bentuk
dan tema dalam lakon teater adalah renungan atas kondisi psikologis, sosial,
politik, budaya dalam kehidupan manusia dan lingkungannya.
Kembali
ke Publik
Invitasi Teater Indonesia telah
menciptakan peristiwa seni-budaya di tengah masyarakat Jakarta yang plural.
Dalam peristiwa itu juga terjadi persinggungan antara para pelaku teater antar
daerah, masyarakat penonton dan teater itu sendiri. Persinggungan itu akan melahirkan
apresiasi dari banyak sudut pandang untuk perkembangan teater di Indonesia.
Dalam perhelatan teater ini melibatkan
100 juri dari berbagai disiplin ilmu dan status sosial, mulai dari pengusaha,
dosen, wartawan, pedagang, teaterawan, musisi, hingga Ibu rumah tangga.
Keterlibatan para juri lintas disiplin sebagai wujud pelaksanaan untuk
mengembalikan teater pada publiknya, agar masyarakat dapat menciptakan ruang
apresiasi secara mandiri.
Gagasan teater untuk kembali ke
publik merupakan gagasan yang harus ditetaskan menjadi peristiwa bersama untuk
melahirkan tema-tema baru dalam kebudayaan. Teater diciptakan untuk menjadi
bahasa yang didalamnya memuat butiran-butiran gagasan yang terus menetas
menjadi peristiwa budaya untuk membangun mental dan spiritual masyarakat. Di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar