Sabtu, 02 Februari 2013

Invitasi Teater FTI



Butiran Gagasan yang Terus Menetas
Oleh: Andy Sri Wahyudi

Teater lahir dari relasi kreatif antara manusia dan lingkungannya, yang terus berkembang bersama gerak zaman. Pelaku teater disetiap daerah di Indonesia tak henti-hentinya berproses kreatif, menciptakan karya dan menghidupkan ruang apresiasi baru di tengah masyarakatnya. Ruang seni teater yang terpusat di pulau Jawa, dan hanya di kota-kota seperti Yogya, Jakarta, Bandung, Surabaya kini mulai menyebar. Teater telah menjadi mahkluk yang lincah dan cerdas, ia terus bergerak dan meloncat-loncat sambil menaburkan peristiwa dari daerah ke daerah di Indonesia.

Setelah tumbangnya Rezim Orde Baru, bermunculan kelompok-kelompok teater baru dengan bentuk dan gagasan berbeda-beda. Pulau Jawa tak selamanya menjadi pusat seni teater, sebab institusi dan komunitas seni telah bermunculan di beberapa daerah seperti Makasar, Mataram, Palu, Padang, Medan, Bali dll. Seni teater telah menggurita di daerah-daerah yang berefek lahirnya kelompok-kelompok teater, baik teater kampus, teater sekolah, maupun teater sanggar yang notabenenya teater independen.

Invitasi Teater Indonesia
Teater di Indonesia telah memiliki sejarahnya sendiri, dan  sejarah perkembangan teater di setiap daerahpun berbeda-beda. Sebagaimana dalam perhelatan Invitasi Teater Indonesia yang digagas oleh Federasi Teater Indonesia (FTI) di Gedung Pertunjukan Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan.  Acara yang berlangsung tanggal 25-30 November itu diikuti oleh sebelas kelompok teater dari berbagai daerah: Teater Tera dari Surakarta, Teater Awal dari Garut, Teater Smagajo dari Jombang, Bengkel Seni Embun dari Ambon, Teater El-Nama dari Jakarta, La Teater dari Balikpapan, Teater LHO dari Mataram, Teater Rumah Sunting dari Riau, Sanggar Seni Lentera dari Palu, Teater Flamboyan dari Makasar, Teater Nan Tumpah dari Padang. Masing-masing kelompok menampilkan karyanya dengan bermacam bentuk dan tema.

Teater EL-NAMA dengan naskah Hang Juro karya Echo Chotib mengangkat tema kekuasaan yang berhubungan erat dengan lingkungannya, yakni Jakarta. Panggung bersetting kapal itu mengisahkan para Perompak berebut manisnya madu kekuasaan yang berhias pengkhianatan dan pembunuhan untuk sekadar mendapat gelar Sang Kapten. Teater LHO yang membawakan naskah Arsitektur Kata dengan sutradara R. Eko Wahono, mengusung cerita masyarakat agraris disuatu negeri yang hendak ditenggelamkan arus budaya industri. Dua budaya tersebut disimbolkan oleh tokoh Abu yang mewakilli kaum agraris dan Pico seorang pemilik perusahaan. Keduanya hanyut dalam permainan yang dinamai Arsitektur Kata, namun selalu dimenangkan oleh Pico lantaran semua aturan telah ditentukan sang pemilik modal.

Teater Smagajo dengan aktor para pelajar Sekolah Menengah Atas menggambarkan semangat nasionalisme. Bercerita tentang seorang mantan pejuang bernama Besut yang dianggap tak mentaati aturan desa karena tak mampu membeli bendera merah putih baru untuk dikibarkan ketika hari kemerdekaan. Sebab hanya sebuah bendera sobek dan kumal yang dimilikinya sejak jaman perjuangan. Akan tetapi saat upacara digelar, pak Lurah menganjurkan bendera pak Besut-lah yang layak dikibarkan lantaran sebagai simbol sejarah perjuangan panjang sebuah bangsa. Sementara LA Teater dalam judulnya TUHA mengisahkan pertentangan kepemimpinan kaum tua dan muda dalam mempertahankan kredo kesenian tradisional Mamanda. Sebuah konflik antar generasi yang berakhir dengan kehancuran sekaligus permenungan panjang.

Dari segi penggarapan artistik, Teater Tera dalam Don’t Cry Kumbakarna yang disutradarai Gigok Anuraga, mendeskontruksi tokoh-tokoh kisah Ramayana dengan mengenakan kostum Samurai dan Yakuza yang bertato diseparuh tubuhnya. Bahwa tak selamanya karakter hanya digambarkan dengan kostum, meliankan kedalaman akting sang aktor. Setting panggung berlatar sarang laba-laba besar melambangkan jalinan konspirasi para elit untuk menjala musuh dalam merebut kemenangan. Sementara itu kreatifitas penggrapan koreografi gerak dilakukan oleh Teater Nan Tumpah. Sutradara muda Mahatma Muhamad dalam Orkes Madun karya Arifin C. Noer, menyajikan dunia kaum proletar yang chaos  dengan bentuk  gesture tubuh para aktor yang mematung dengan ekspresi karakter berbeda-beda. Aktor tak lagi menjadi ujung tombak kata-kata verbal tetapi mampu menciptakan setting sebuah kekacauan dan kesimpangsiuran relasi antar manusia.

Perhelatan Invitasi Teater Indonesia  merupakan kerja teater yang mendorong para peserta untuk terus mengasah daya kreatifitasnya.  Sebab teater merupakan kerja kolektif yang dilakukan secara kontinyu. Para pekerja teater tak pernah berhenti dalam mencari tema dan bentuk artistik untuk disajikan di tengah masyarakat. Bentuk dan tema dalam lakon teater adalah renungan atas kondisi psikologis, sosial, politik, budaya dalam kehidupan manusia dan lingkungannya.

Kembali ke Publik
Invitasi Teater Indonesia telah menciptakan peristiwa seni-budaya di tengah masyarakat Jakarta yang plural. Dalam peristiwa itu juga terjadi persinggungan antara para pelaku teater antar daerah, masyarakat penonton dan teater itu sendiri. Persinggungan itu akan melahirkan apresiasi dari banyak sudut pandang untuk perkembangan teater di Indonesia. 

Dalam perhelatan teater ini melibatkan 100 juri dari berbagai disiplin ilmu dan status sosial, mulai dari pengusaha, dosen, wartawan, pedagang, teaterawan, musisi, hingga Ibu rumah tangga. Keterlibatan para juri lintas disiplin sebagai wujud pelaksanaan untuk mengembalikan teater pada publiknya, agar masyarakat dapat menciptakan ruang apresiasi secara mandiri.

Gagasan teater untuk kembali ke publik merupakan gagasan yang harus ditetaskan menjadi peristiwa bersama untuk melahirkan tema-tema baru dalam kebudayaan. Teater diciptakan untuk menjadi bahasa yang didalamnya memuat butiran-butiran gagasan yang terus menetas menjadi peristiwa budaya untuk membangun mental dan spiritual masyarakat. Di Indonesia.

Senyum Manis, November 2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar