Sabtu, 02 Februari 2013

PAT 5 Padang Panjang



Pekan Apresiasi Teater (PAT) 5 di Padang Panjang
Cita-Cita dan Teater Indonesia yang Dinamis
Oleh: Andy Sri Wahyudi

“Ruang Keberpihakan Pada Penonton” menjadi tema dalam PAT 5 sebagai wujud kepedulian teater terhadap penontonnya, sebab penonton teater yang kerap hanya terbatas  segelintir induvidu dan kelompok masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian. Makna Teater cenderung berhenti pada peristiwa budaya yang di-jauh-kan dari logika pasar (Industri), sehingga melupakan esensi peristiwa budaya tersebut yang bertujuan memberi pencerahan kepada masyarakat luas, tak terbatas pada masyarakat seni. Tema itu juga menggugah kesadaran para pelaku teater terhadap jangkauan karya yang mementingkan idealisme kreatif yang seringkali kurang berpihak pada penonton.

PAT 5  di ISI Padang Panjang yang berlangsung dari 15 – 20 Oktober 2012 telah berlalu, namun peristiwa PAT 5 telah membentuk ruang dialog dan peristiwa seni yang layak mendapat apresiasi bersama. PAT 5 merupakan acara tingkat nasional yang diadakan oleh Fakultas Seni Teater ISI Padang Panjang tiap dua tahun sekali yang diikuti oleh kelompok dan tokoh-tokoh teater dari pelbagai daerah di Indonesia. 

Peristiwa
Teater SAHITA dari Solo membuka PAT 5 dengan karya Serimpi Ketawang Lima Ganep. SAHITA mengkisahkan ironi kehidupan empat perempuan tua yang menari dan menyanyi sepanjang hari untuk sama-sama menanti mati. Meski demikian ironi itu dibawakan dengan kesegaran disetiap adegan, dialog dan gerak tari dari tubuh uzur para perempuan tua telah menciptakan dunia keterasingan yang ramai oleh gelak tawa pelakunya. Tak jauh beda dengan dunia yang diciptakan oleh Bengkel Mime Theatre dalam Rudy Goes To School, Aku Malas Pulang ke Rumah. Kehidupan ironis dunia pendidikan dan rumah tangga. Seorang tukang sapu remaja yang berimajinasi menjadi juara kelas di sekolah dan kehancuran rumah tangga akibat virus konsumerisme menjangkiti semua anggota keluarga. 

Kedua pementasan tersebut mendapat sambutan hangat dari ratusan penonton yang antusias menyimak dengan gelak tawa.  Meski pementasan SAHITA masih didominasi bahasa jawa tak menjadi hambatan penonton untuk mengapresiasi. Demikian Bengkel Mime Theatre (BMT) meski tanpa dialog namun cerita yang dibawakan menghadirkan lalu lintas impresi sedih bahagia. SAHITA menyuguhkan eksplorasi dialog dan tubuh dalam tari tradisi, sedang BMT lebih mengeksplorasi gerak dan gestur tubuh dalam pentas Pantomim.

Suara seorang gadis menggeletar bagai bagai guntur, menyuarakan ketidak adilan di Negrinya yang kaya akan minyak, emas dan kekayaan alam. Namun hanya melahirkan para babu seperti dirinya yang akhirnya mati dipenggal kepalanya di Negri Arab tempatnya bekerja. Monolog Balada Sumarah, karya Tentrem Lestari, dibawakan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Seni Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung dengan permainan bernada tinggi membawakan Drama Tanda Tanya karya Irwan Jamal. Empat pemain teater menunggu seorang pemain yang tak kunjung datang hingga pementasan tiba. Mereka tersesat dalam hiruk pikuk teori dan filsafat teater di atas panggung.  Kedua pementasan menyuguhkan absurditas dalam kenyataan, Semua sudah direncanakan degan matang dan hati-hati tapi ketika kenyataan berkata lain maka semua harus diterjang meski nyawa taruhannya. Show must go on! 

Tema Korupsi dan keadilan disuguhkan oleh Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dalam Wek-Wek karya D. Djaya Kusumah.  Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) mengangkat tentang kesetiaan, keberanian dan pengkhianatan dalam Hikayat Hang Tuah. Sementara Teater Hampa Malang membawakan Mitos, larangan perkawinan antara pemuda Sunda dan dan Gadis Jawa. Ketiganya digarap dengan ala Brechtian dengan memberontak terhadap pakem-pakem realisme. IKJ menginterpretasi tokoh-tokoh Punakawan dengan sudut pandang pluralitas, Bagong adalah Pedagang Cina, Gareng seorang Pengacara Batak, Petruk Pemuda Sunda. Setting digarap dengan kreatifitas sederhana, dari kertas-kertas koran yang disulap menjadi meja kursi. STSR memplesetkan cerita legenda menjadi seperti barang mainan, aktor bebas keluar masuk peran, namun esensi cerita tetap terjaga dengan baik hingga terjadi kejutan ketika seorang nenek datang membubarkan para pemain yang tak lain adalah para cucunya yang nakal-nakal. Sementara Teater Hampa Malang lebih pada penggarapan ruang dengan simbol-simbol berupa kerangka pintu dan level-level. Aktor bermain dalam ruang-ruang imajiner itu dengan  bebas tanpa batasan dinding. 

Studi Klub Teater Bandung  (STB) dan ISI Padang Panjang setia pada penggarapan bergaya realisme.  STB membawakan Pagi Bening karya Serafin Alfares Quintero dan Joaquin Alfares Quintero. Tokoh Gonzalo dan Laura yang diperankan oleh Mohamad Sunjaya dan Sugiati SA (Istri Mendiang Suyatna Anirun) berhasil menghipnotis penonton. Kematangan kedua karakter tokoh tersebut sanggup membangun dialog dan imajinasi dalam pertemuan kedua orang tua di sebuah taman hingga menciptakan impresi yang menggetarkan. Sementara RT Nol RW Nol karya Iwan Simatupang yang dibawakan ISI Padang Panjang mencoba memasukan musik dan nyanyian dangdut menjadi sisipan adegan untuk memecah suasana yang didominasi konflik antar tokoh.
Setiap pementasan telah membuka ruang apresiasi baru sekaligus mencipta peristiwa budaya di tengah masyarakat. Peristiwa yang tak sekadar berhenti pada titik pementasan tapi terus berjalan dalam pelbagai ranah: pemikiran, mental, keberanian, perjuangan dan hidup.

Geliat Muda
“Pertama kali memerankan tokoh Laura saya masih berusia 40 tahun. Dulu saya perankan tokoh berusia 70 tahun itu dengan tubuh bongkok. Eh, ternyata salah, buktinya sekarang usia saya nyaris 70  tahun tapi tidak bongkok, masih tegap dan segar.”
 
Demikian kata Ibu Yati dalam obrolan seusai pementasan. Tak hanya STB yang mengadakan dialog dengan penonton seusai pentas, tapi juga dilakukan kelompok-kelompok lainnya. STSI Bandung, STSR dan Teater Hampa juga membuka ruang dioalog dengan penonton.  Dialog menjadi ruang – ruang kecil yang melahirkan nilai baru berupa arah kreatifitas dalam penciptaan karya. Tanggapan dari penonton dalam mengapresiasi pementasan merupakan kontribusi dalam melakoni proses kreatif. Para pelaku teater yang di dominasi anak muda itu memiliki konsep-konsep baru yang potensial untuk terus dikembangkan. Terbangunnya ruang dialog yang diikuti para pelaku seni dan masyarakat awam menjadi simbiosis mutualisma antara penonton dan penyaji.

Peristiwa teater yang dimotori anak-anak muda ini menjadi wacana baru dalam kehidupan teater di Indonesia. Sajian berbagai genre teater telah membuktikan kesungguhan anak-anak muda dalam berkreatifitas. Karya yang tercipta tak ubahnya sebentuk geliat anak-anak muda yang berupaya membuat peristiwa teater yang terbuat dari adonan semangat, pikiran dan perasaan. Semangat muda tak hanya dimiliki oleh kaum muda, dalam ivent ini usia tak menjadi patokan senioritas dalam berkreasi, disini usia hanyalah berupa angka-angka. Muhamad Sunjaya aktor STB menyatakan, bahwa kreatifitas tak mengenal usia. Dirinya yang telah 75 tahun masih terus melakoni proses berteater bersama anak muda yang jauh lebih muda, yakni Arya Sanjaya sebagai sutradara sekaligus partnernya dalam meramaikan peristiwa teater di tanah Minang. 

Tentu saja peristiwa ini tak dapat dipandang sebelah mata, sebab sebagai ajang kreatif dan apresiasi, Pekan Apresiasi Teater telah menawarkan kebebasan mencipta tanpa batas ruang dan waktu. Maka event dua tahunan ini akan lebih bagus jika mendapatkan provokasi media yang layak di tingkat nasional dan dukungan kerja profesional para pekerja seni baik secara konsep maupun teknis. Pekan Apresiasi Teater yang telah berusia 10 tahun ini bukan lagi milik satu daerah tapi akan menjadi inspirasi di berbagai daerah di Indonesia. 

Melihat Pekan Apresiasi Teater di Padang Panjang seperti melihat anak-anak muda yang sedang menggambar arah kerja teater Indonesia ke depan.

Menuju Masyarakat Teater
“Teater adalah kehidupan yang hidup”, sekelumit kalimat yang ditulis oleh Nano Riantiarno bukan hanya menjadi pemanis dalam seminar PAT 5. Sebab atas dasar itulah beliau masih berada di dalamnya dan bekerja. Terbukti hingga diusianya yang ke 63 masih juga bekerja sebagai penulis dan sutradara di dunia teater. Apa yang ditulis  Nano sebagai sutradara teater koma yang telah berpentas sebanyak 1228 hari dalam  35 tahun menjadi catatan tersendiri.  

Kerja teater bukanlah kerja soliter dan serba instan, jika telah berada didalamnya maka bersiaplah untuk membuat sejarah. Bersiap menghidupkan kehidupan dengan cita-cita bersama. Menciptakan dinamika dalam sebuah komunitas bukanlah hal mudah, namun dalam kehidupan berteater tak cukup menjaga dinamika kretifitas semata. Kerja produksi untuk membangun  masyarakat penonton sangat dibutuhkan. Sebab tak akan terjadi peristiwa seni buadaya tanpa adanya penonton. Maka kelompok teater perlu keluar dari komunitasnya dan membangun sebuah ekosistem yang bersinggungan komunitas di luar teater, menembus dan membongkar sekat komunitas seni dan non seni. 

Disinggung pula oleh Yuzrizal KW, Budayawan Sumatra Barat ini mengatakan, masih sedikitnya kelompok teater yang memanfaatkan jaringan sosial media. Banyak kelompok yang belum menggunakan twitter, facebook, blog, website dalam mempublikasikan diri. Kecanggihan teknologi tak dapat terelakan dalam logika teater untuk efektifitas dan efisiensi kerja produksi. Lewat teknologi, teater dapat menyebar ke berbagai lini dan dapat menjadi peristiwa miliki bersama. Lahirnya ruang apresiasi secara kontinyu tak dapat diciptakan oleh segelintir induvidu atau satu kelompok, namun adanya relasi timbal balik antar kelompok, karya dan komunitas penonton. 

Untuk mewujudkan ruang apresiasi teater, semua elemen harus dimanfaatkan secara inovatif dan membebaskan ruang dan waktu. Panggung teater tak lagi berada dalam kantung-kantung seni atau Taman Budaya di setiap kota. Para pekerja teater akan lebih aktif dan kreatif dalam membuka ruang apresiasi di tengah masyarakat dengan caranya sendiri. Pementasan tak lagi dikemas secara kaku di atas panggung, namun dikemas dengan lebih menyenangkan, menarik dan luwes. Sehingga masyarakat akan mengenal teater dengan lebih bershabat. Menciptakan ruang-ruang apresiasi, akan menumbuhkan industri teater baik dalam skala kecil maupun besar. Teater bukan lagi milik kelas atau kelompok tertentu, semua warga berhak mengapresiasi hingga tak ada istilah “kaum awam” dalam dunia teater.

Kehidupan teater yang harmonis, dinamis, inovatif dan memasyarakat semoga akan menjadi kenyataan indah dalam dunia teater di Indonesia. 

  Dengan Cinta, Oktober 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar