Pekan Apresiasi
Teater (PAT) 5 di Padang Panjang
Cita-Cita dan Teater Indonesia yang
Dinamis
Oleh: Andy Sri Wahyudi
“Ruang
Keberpihakan Pada Penonton” menjadi tema dalam PAT 5 sebagai wujud kepedulian
teater terhadap penontonnya, sebab penonton teater yang kerap hanya
terbatas segelintir induvidu dan
kelompok masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian. Makna Teater cenderung
berhenti pada peristiwa budaya yang di-jauh-kan dari logika pasar (Industri),
sehingga melupakan esensi peristiwa budaya tersebut yang bertujuan memberi
pencerahan kepada masyarakat luas, tak terbatas pada masyarakat seni. Tema itu
juga menggugah kesadaran para pelaku teater terhadap jangkauan karya yang
mementingkan idealisme kreatif yang seringkali kurang berpihak pada penonton.
PAT
5 di ISI Padang Panjang yang berlangsung
dari 15 – 20 Oktober 2012 telah berlalu, namun peristiwa PAT 5 telah membentuk
ruang dialog dan peristiwa seni yang layak mendapat apresiasi bersama. PAT 5
merupakan acara tingkat nasional yang diadakan oleh Fakultas Seni Teater ISI
Padang Panjang tiap dua tahun sekali yang diikuti oleh kelompok dan tokoh-tokoh
teater dari pelbagai daerah di Indonesia.
Peristiwa
Teater
SAHITA dari Solo membuka PAT 5 dengan karya Serimpi
Ketawang Lima Ganep. SAHITA mengkisahkan ironi kehidupan empat perempuan
tua yang menari dan menyanyi sepanjang hari untuk sama-sama menanti mati. Meski
demikian ironi itu dibawakan dengan kesegaran disetiap adegan, dialog dan gerak
tari dari tubuh uzur para perempuan tua telah menciptakan dunia keterasingan
yang ramai oleh gelak tawa pelakunya. Tak jauh beda dengan dunia yang
diciptakan oleh Bengkel Mime Theatre dalam Rudy
Goes To School, Aku Malas Pulang ke
Rumah. Kehidupan ironis dunia pendidikan dan rumah tangga. Seorang tukang
sapu remaja yang berimajinasi menjadi juara kelas di sekolah dan kehancuran rumah
tangga akibat virus konsumerisme menjangkiti semua anggota keluarga.
Kedua
pementasan tersebut mendapat sambutan hangat dari ratusan penonton yang
antusias menyimak dengan gelak tawa. Meski
pementasan SAHITA masih didominasi bahasa jawa tak menjadi hambatan penonton
untuk mengapresiasi. Demikian Bengkel Mime Theatre (BMT) meski tanpa dialog
namun cerita yang dibawakan menghadirkan lalu lintas impresi sedih bahagia. SAHITA
menyuguhkan eksplorasi dialog dan tubuh dalam tari tradisi, sedang BMT lebih
mengeksplorasi gerak dan gestur tubuh dalam pentas Pantomim.
Suara
seorang gadis menggeletar bagai bagai guntur, menyuarakan ketidak adilan di
Negrinya yang kaya akan minyak, emas dan kekayaan alam. Namun hanya melahirkan
para babu seperti dirinya yang akhirnya mati dipenggal kepalanya di Negri Arab
tempatnya bekerja. Monolog Balada Sumarah,
karya Tentrem Lestari, dibawakan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Seni
Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung dengan permainan bernada tinggi membawakan
Drama Tanda Tanya karya Irwan Jamal. Empat
pemain teater menunggu seorang pemain yang tak kunjung datang hingga pementasan
tiba. Mereka tersesat dalam hiruk pikuk teori dan filsafat teater di atas
panggung. Kedua pementasan menyuguhkan
absurditas dalam kenyataan, Semua sudah direncanakan degan matang dan hati-hati
tapi ketika kenyataan berkata lain maka semua harus diterjang meski nyawa
taruhannya. Show must go on!
Tema
Korupsi dan keadilan disuguhkan oleh Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dalam Wek-Wek karya D. Djaya Kusumah. Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) mengangkat
tentang kesetiaan, keberanian dan pengkhianatan dalam Hikayat Hang Tuah. Sementara Teater Hampa Malang membawakan Mitos, larangan perkawinan antara pemuda
Sunda dan dan Gadis Jawa. Ketiganya digarap dengan ala Brechtian dengan
memberontak terhadap pakem-pakem realisme. IKJ menginterpretasi tokoh-tokoh Punakawan
dengan sudut pandang pluralitas, Bagong adalah Pedagang Cina, Gareng seorang
Pengacara Batak, Petruk Pemuda Sunda. Setting digarap dengan kreatifitas
sederhana, dari kertas-kertas koran yang disulap menjadi meja kursi. STSR
memplesetkan cerita legenda menjadi seperti barang mainan, aktor bebas keluar
masuk peran, namun esensi cerita tetap terjaga dengan baik hingga terjadi
kejutan ketika seorang nenek datang membubarkan para pemain yang tak lain
adalah para cucunya yang nakal-nakal. Sementara Teater Hampa Malang lebih pada
penggarapan ruang dengan simbol-simbol berupa kerangka pintu dan level-level. Aktor
bermain dalam ruang-ruang imajiner itu dengan bebas tanpa batasan dinding.
Studi
Klub Teater Bandung (STB) dan ISI Padang
Panjang setia pada penggarapan bergaya realisme. STB membawakan Pagi Bening karya Serafin Alfares Quintero dan Joaquin Alfares
Quintero. Tokoh Gonzalo dan Laura yang diperankan oleh Mohamad Sunjaya dan
Sugiati SA (Istri Mendiang Suyatna Anirun) berhasil menghipnotis penonton.
Kematangan kedua karakter tokoh tersebut sanggup membangun dialog dan imajinasi
dalam pertemuan kedua orang tua di sebuah taman hingga menciptakan impresi yang
menggetarkan. Sementara RT Nol RW Nol
karya Iwan Simatupang yang dibawakan ISI Padang Panjang mencoba memasukan musik
dan nyanyian dangdut menjadi sisipan adegan untuk memecah suasana yang
didominasi konflik antar tokoh.
Setiap
pementasan telah membuka ruang apresiasi baru sekaligus mencipta peristiwa
budaya di tengah masyarakat. Peristiwa yang tak sekadar berhenti pada titik
pementasan tapi terus berjalan dalam pelbagai ranah: pemikiran, mental,
keberanian, perjuangan dan hidup.
Geliat Muda
“Pertama kali memerankan tokoh
Laura saya masih berusia 40 tahun. Dulu saya perankan tokoh berusia 70 tahun
itu dengan tubuh bongkok. Eh, ternyata salah, buktinya sekarang usia saya
nyaris 70 tahun tapi tidak bongkok,
masih tegap dan segar.”
Demikian
kata Ibu Yati dalam obrolan seusai pementasan. Tak hanya STB yang mengadakan
dialog dengan penonton seusai pentas, tapi juga dilakukan kelompok-kelompok
lainnya. STSI Bandung, STSR dan Teater Hampa juga membuka ruang dioalog dengan
penonton. Dialog menjadi ruang – ruang
kecil yang melahirkan nilai baru berupa arah kreatifitas dalam penciptaan
karya. Tanggapan dari penonton dalam mengapresiasi pementasan merupakan
kontribusi dalam melakoni proses kreatif. Para pelaku teater yang di dominasi
anak muda itu memiliki konsep-konsep baru yang potensial untuk terus
dikembangkan. Terbangunnya ruang dialog yang diikuti para pelaku seni dan masyarakat
awam menjadi simbiosis mutualisma antara penonton dan penyaji.
Peristiwa
teater yang dimotori anak-anak muda ini menjadi wacana baru dalam kehidupan
teater di Indonesia. Sajian berbagai genre teater telah membuktikan kesungguhan
anak-anak muda dalam berkreatifitas. Karya yang tercipta tak ubahnya sebentuk
geliat anak-anak muda yang berupaya membuat peristiwa teater yang terbuat dari
adonan semangat, pikiran dan perasaan. Semangat muda tak hanya dimiliki oleh
kaum muda, dalam ivent ini usia tak menjadi patokan senioritas dalam berkreasi,
disini usia hanyalah berupa angka-angka. Muhamad Sunjaya aktor STB menyatakan,
bahwa kreatifitas tak mengenal usia. Dirinya yang telah 75 tahun masih terus
melakoni proses berteater bersama anak muda yang jauh lebih muda, yakni Arya
Sanjaya sebagai sutradara sekaligus partnernya dalam meramaikan peristiwa
teater di tanah Minang.
Tentu
saja peristiwa ini tak dapat dipandang sebelah mata, sebab sebagai ajang
kreatif dan apresiasi, Pekan Apresiasi Teater telah menawarkan kebebasan
mencipta tanpa batas ruang dan waktu. Maka event
dua tahunan ini akan lebih bagus jika mendapatkan provokasi media yang layak di
tingkat nasional dan dukungan kerja profesional para pekerja seni baik secara
konsep maupun teknis. Pekan Apresiasi Teater yang telah berusia 10 tahun ini bukan
lagi milik satu daerah tapi akan menjadi inspirasi di berbagai daerah di
Indonesia.
Melihat
Pekan Apresiasi Teater di Padang Panjang seperti melihat anak-anak muda yang sedang
menggambar arah kerja teater Indonesia ke depan.
Menuju Masyarakat Teater
“Teater
adalah kehidupan yang hidup”, sekelumit kalimat yang ditulis oleh Nano
Riantiarno bukan hanya menjadi pemanis dalam seminar PAT 5. Sebab atas dasar
itulah beliau masih berada di dalamnya dan bekerja. Terbukti hingga diusianya
yang ke 63 masih juga bekerja sebagai penulis dan sutradara di dunia teater.
Apa yang ditulis Nano sebagai sutradara
teater koma yang telah berpentas sebanyak 1228 hari dalam 35 tahun menjadi catatan tersendiri.
Kerja
teater bukanlah kerja soliter dan serba instan, jika telah berada didalamnya maka
bersiaplah untuk membuat sejarah. Bersiap menghidupkan kehidupan dengan
cita-cita bersama. Menciptakan dinamika dalam sebuah komunitas bukanlah hal
mudah, namun dalam kehidupan berteater tak cukup menjaga dinamika kretifitas
semata. Kerja produksi untuk membangun
masyarakat penonton sangat dibutuhkan. Sebab tak akan terjadi peristiwa seni
buadaya tanpa adanya penonton. Maka kelompok teater perlu keluar dari
komunitasnya dan membangun sebuah ekosistem yang bersinggungan komunitas di
luar teater, menembus dan membongkar sekat komunitas seni dan non seni.
Disinggung
pula oleh Yuzrizal KW, Budayawan Sumatra Barat ini mengatakan, masih sedikitnya
kelompok teater yang memanfaatkan jaringan sosial media. Banyak kelompok yang
belum menggunakan twitter, facebook, blog, website dalam mempublikasikan diri.
Kecanggihan teknologi tak dapat terelakan dalam logika teater untuk efektifitas
dan efisiensi kerja produksi. Lewat teknologi, teater dapat menyebar ke
berbagai lini dan dapat menjadi peristiwa miliki bersama. Lahirnya ruang
apresiasi secara kontinyu tak dapat diciptakan oleh segelintir induvidu atau
satu kelompok, namun adanya relasi timbal balik antar kelompok, karya dan
komunitas penonton.
Untuk
mewujudkan ruang apresiasi teater, semua elemen harus dimanfaatkan secara
inovatif dan membebaskan ruang dan waktu. Panggung teater tak lagi berada dalam
kantung-kantung seni atau Taman Budaya di setiap kota. Para pekerja teater akan
lebih aktif dan kreatif dalam membuka ruang apresiasi di tengah masyarakat
dengan caranya sendiri. Pementasan tak lagi dikemas secara kaku di atas
panggung, namun dikemas dengan lebih menyenangkan, menarik dan luwes. Sehingga masyarakat akan mengenal
teater dengan lebih bershabat. Menciptakan ruang-ruang apresiasi, akan
menumbuhkan industri teater baik dalam skala kecil maupun besar. Teater bukan lagi
milik kelas atau kelompok tertentu, semua warga berhak mengapresiasi hingga tak
ada istilah “kaum awam” dalam dunia teater.
Kehidupan
teater yang harmonis, dinamis, inovatif dan memasyarakat semoga akan menjadi
kenyataan indah dalam dunia teater di Indonesia.
Dengan Cinta, Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar