Sabtu, 02 Februari 2013

Catatan Festival Teater Jogja



CATATAN FESTIVAL TEATER JOGJA (FTJ) 2009 - 2011
Oleh: Andy Sri Wahyudi

Tema “Berkunjung ke Rumah Sendiri” yang melekat pada FTJ – dapat kita baca sebagai isyarat pentingnya teater memiliki orientasi nilai budaya dan sosial. Atau dengan ungkapan lain: Teater perlu menemukan alamat kebudayaan sekaligus basis sosialnya. Menjadi bagian dari wahana bagi publik untuk menemukan makna kemanusiaan, makna kebersamaan, makna solidaritas dan seterusnya…”
Atas dasar tema di atas Festival Teater Jogja (FTJ) 2009 – 2011 diinisiasi oleh Yayasan Umar Kayam, yang kemudian diselengarakan dan digagas secara bersama-sama, dengan melibatkan instansi pemerintah Taman Budaya Yogyakarta (TBY), para pegiat dan akademisi teater di Yogayakarta.

Pelaksanaan Festival
Festival Teater Jogja (FTJ) telah diselenggarakan dalam dua tahun ini 2009 dan 2010, FTJ diikuti oleh 18 kelompok teater yang berada di wilayah Jogjakarta (Bantul, Sleman, Kodya Jogja, Kulon Progo, Gunung Kidul) dengan melewati tahap-tahap seleksi berupa pengajuan Profil kelompok, konsep pementasan secara tertulis, dan wawancara secara langsung dengan Dewan Juri. Dalam FTJ ini penyelenggara membentuk kepanitiaan sebagai berikut: Penyelenggara sebagai penanggung jawab, dalam hal ini ada dua pihak yakni Yayasan Umar Kayam (YUK) dan Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Kemudian di bentuk Dewan Juri sebagai tim penyeleksi dan kurasi (inculd penilaian) dan Tim Ahli sebagai pendamping proses penciptaan karya, yang bekerja memprovokasi gagasan peserta dan menulis laporan selama proses berlangsung. Dewan Juri dan Tim Ahli terdiri masing-masing tiga orang yang yang berkompeten dibidangnya. Dewan Juri: Indra tranggono (pemerhati Teater dan Penulis Naskah), Hamdi Salad (Pelaku Teater dan Penyair), Nanang Arizona (Dosen dan Akedemisi Teater). Tim Ahli: Joned Suryatmoko (Sutradara Teater Gardanalla), Broto Wijayanto (Aktor Teater Gandrik), Ikun SK (Penulis dan Pengamat Teater).

Proses penyelenggaraan FTJ ditempuh selama 5 bulan, dimulai dari proses menggagas sistem kerja festival dan merancang pelaksanaan FTJ yang dilakukan oleh Penyelenggara, Dewan Juri, dan Tim Ahli. Setelah sistem terbentuk kemudian dilakukan proses seleksi wawancara bagi peserta, untuk dinilai seberapa jauh kesiapannya secara konsep, artistik dan tim kerja pelaksanaan pentas – setiap tahunnnya dipentaskan secara bergilir yang dibagi menjadi 6 kelompok – Kemudian kelompok yang terpilih tidak langsung menempuh proses masing-masing secara terpisah, namun penyelenggara memberi bekal peserta melalui Tim Ahli dengan menyelenggarakan workshop, pemutaran film, diskusi kelompok, dan memberikan referensi berupa artikel dan buku-buku teater pada setiap kelompok. Bekal referensi tersebut diusulkan oleh peserta sesuai dengan yang dibutuhkan peserta untuk memperkuat karya. Peserta menempuh proses penciptaan karya kurang lebih selama tiga bulan, disamping itu peserta wajib mengikuti kegiatan workshop, menonton film dan diskusi bersama.
Pada tahun 2009 peserta membawakan naskah yang ditulis sendiri oleh peserta, sedangkan tahun 2010 peserta memilih naskah yang diajukan oleh tim penyeleksi. Hal ini dilakukan lantaran FTJ 2010 lebih memfokuskan pada peristiwa dan visual pemanggungan bukan pada kepenulisan. Maka peserta dibebaskan menafsir pilihan naskah yang sudah disediakan. Pementasan diselenggarakan tidak dipanggung teater (indoor) pada umumnya, akan tetapi digelar di ruang-ruang komunitas masing-masing sesuai pilihan peserta: di kampung-kampung dan pelosok pedesaan.  

Pementasan FTJ 2009-2010 digelar diruang-ruang alternatif  yakni di Pendapa kampung, halaman rumah, area bekas pasar, taman kampus mahasiswa, di kolam kering, dan di sungai kecil. Pementasan teater di ruang-ruang tersebut telah melahirkan peristiwa sosial yang mencipta ruang apresiasi baru di tengah masyarakat kampung kota dan pedesaan terhadap seni teater. Di beberapa tempat pementasan (area bekas pasar, halaman rumah dan sungai kecil) menjadi ruang yang dimanfaatkan warga untuk berjualan jajanan dan mainan anak-anak. Ruang menjadi dunia-dunia kecil untuk berinteraksi secara bebas dan plural antara akademisi, seniman, mahasiswa, masyarakat penonton dan media massa.

Hambatan yang dijumpai
Peristiwa FTJ yang telah digelar dalam kurun waktu dua tahun tersebut tidak sepenuhnya berjalan mulus, namun banyak menemui masalah secara teknis maupun konseptual. Banyak hal yang perlu dievaluasi bersama agar peristiwa yang dibangun sesuai harapan dan tujuan. Beberapa hal yang menghambat dan perlu dievaluasi yakni:
1.      Sistem kerjasama
Dua pihak penyelenggara antara Yayasan Umar Kayam (YUK) dan Taman Budaya Yogyakarta (TBY) kurang membangun ruang komunikasi secara intensif dan jelas. Kurang jelasnya informasi pengelolaan dana oleh keduabelah pihak. Dalam hal ini kedua belah pihak penyelenggara tidak membuat kesepakatan resmi dalam pembagian dan pengelolaan dana sehingga ada dua wadah dalam mengelola dana. Hal tersebut membingungkan pelaksana lapangan dalam bekerja. Alangkah baiknya jika dana dikelola oleh salah satu pihak agar menejemen keuangan bisa tertata lebih jelas dan lebih bertanggung jawab.

Selain itu tidak ada pembagian jatah penyediaan infrastruktur (ruang dan peralatan teknis) yang jelas antara kedua belah pihak penyelenggara. Sehingga mengakibatkan perubahan jadwal mendadak dan tidak kondusifnya iklim kerja lantaran kendala hal teknis. Hal ini menjadi hambatan dalam mengadakan kegiatan (workshop, pemutaran film, diskusi) yang ditujukan pada peserta.

2.      Kerja Tim
Tim kerja FTJ 2009 dan 2010 terdiri dari Dewan Juri, Tim Ahli, dan Koordinator lapangan. Hal ini sebenarnya Tim Kerja telah melaksanakan sesuai dengan fungsinya. Akan tetapi belum terkoordinir secara kompak sehingga hasil kerja tidak sesuai dengan apa yang telah dirancang. Terlihat dalam mengatur waktu dan Sumberdaya pekerja yang kurang diperhatikan ketika menyusun rencana kerja. Kadang waktu yang direncanakan terlalu sedikit untuk mewujudkan gagasan dalam rapat bersama dan Sumberdaya pelaksana teknis kurang dibahas secara tuntas. Sehingga dalam praktiknya koordinator lapangan sering merangkap sebagai teknisi secara penuh dalam bekerja, membuat hasilnya tidak maksimal. Hal ini terjadi dalam pelaksanaan kegiatan pembukaan Festival, penjadwalan Workshop.

3.      Peraturan Festival
Aturan-aturan dalam  kerja FTJ telah dibuat dalam MOU dan telah disepakati bersama, akan tetapi dalam prakteknya mengalami kendala. Terutama berkaitan dengan para peserta Festival. Salah satu point aturan: Setiap peserta wajib mengikuti kegiatan yang diselenggarakan panitia. Namun hal tersebut sering diabaikan, peserta kadang terlambat lama dan bahkan ada yang tak mengikuti kegiatan dikarenakan kendala teknis, seperti kesibukan anggota kelompok (yang nota benenya dari berbagai macam profesi), alasan transport dan jauhnya jarak yang ditempuh antara tempat kegiatan dan domisili para peserta. Juga terjadi kesalahan mengirimkan wakil dalam mengikuti workshop, dalam hal ini perwakilan kelompok yang hadir tidak lengkap sehingga tidak sesuai tema dan yang diharapkan panitia, contohnya dalam diskusi dan pemutaran film. Bahwa yang diharapkan datang sutradara dan aktor, namun yang datang hanya aktor saja. Hal ini juga terjadi ketika dalam acara pembukaan festival, banyak peserta yang datang terlambat dan beberapa tidak hadir, hanya mengirimkan beberapa wakil saja.


Hasil yang dicapai dalam FTJ
Meskipun banyak hambatan yang dijumpai dalam proses pelaksanaan FTJ, akan tetapi banyak juga hasil yang dicapai dalam ajang Festival tersebut. Hal tersebut ditandai dengan sambutan hangat dari masyarakat pada setiap pementasan. Hampir setiap pementasan dihadiri 300 – 500 penonton dan banyak diliput oleh media massa lokal maupun nasional. Capaian FTJ 2009-2010:
1.      Menghidupkan Teater Pinggiran
FTJ sebagai ajang menumbuhkan dinamika kerja kelompok-kelompok teater yang mulai lesu. Kelompok teater mulai aktif kembali dengan adanya ivent Festival Teater Jogja. Kelompok-kelompok tersebut mulai bangkit dari kelesuan berkreatifitas, para peserta FTJ mulai mengatur dinamika kerja secara kontinyu setelah turut serta dalam ajang FTJ.

2.      Terbentuknya Jaringan antar Kelompok
Dalam kegiatan-kegitan yang diselenggarakan FTJ tak hanya berhenti sebagai aktivitas teater semata. Akan tetapi berkembang menjadi ajang interaksi baik secara induvidu maupun kelompok. Hal tersebut berefek pada kontinyuitas gerak kreatifitas tiap kelompok dalam mengembangkan nilai artistik dan jaringan kerja antar kelompok teater di Jogja. Melalui FTJ setiap kelompok mendapatkan ruang baru untuk tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. Dengan terbentuknya jaringan kerja teater maka setiap kelompok dapat saling membantu dalam mengatasi kekurangan dan berbagi informasi antar kelompok teater.

3.      Apresiasi Publik
FTJ membuka tawaran baru pada masyarakat dalam mengapresiasi seni teater dengan menggelar pementasan yang berbasis komunitas. Pementasan yang bertempat di ruang-ruang publik tersebut banyak mengundang perhatian warga kampong kota, mahasiswa  dan masyarakat desa. Teater menjadi tontonan alternatif di tengah gempuran sinetron dan film di televisi. Selain itu FTJ memancing tanggapan banyak pihak baik secara lisan maupun tertulis dan menjadi ulasan dimedia massa, juga menjadi data sejarah perjalanan teater di Jogjakarta.

4.      Peristiwa  Sosial
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa FTJ dengan mementaskan lima kelompok teater di ruang yang berbasis komunitas kampung, Desa dan kampus, FTJ telah berhasil menciptakan peristiwa sosial di tengah masyarakat. Menumbuhkan semangat plural dan nilai komunikasi yang baru. Teater tidak hanya berhenti pada nilai seni, namun berkembang di ranah sosial dan ekonomi. Teater berubah menjadi renungan akan makna kebersamaan, solidaritas dan rasa kemanusiaan. Hadirnya para pedagang tiban di tengah terlaksananya pementasan menjadi nilai plus tersendiri, warga desa dapat memanfaatkan ruang untuk berjualan hasil bumi sekaligus turut menjadi bagian peristiwa sosial.

5.      Teater yang benar-benar hadir
FTJ menghadirkan teater yang bukan standar pementasan di panggung semata, akan tetapi mencipta teater yang hadir: dapat dilihat, dirasakan, dan diciptakan di tengah masyarakatnya. Menciptakan nilai-nilai baru dalam kehidupan dan khazanah seni teater itu sendiri.   
Program yang terus berkembang
Diawali tahun 2009 FTJ telah ditetapkan menjadi program selama tiga tahun (2009-2011), program ini sebagai upaya mendukung usaha dan jerih-payah pimpinan kelompok-kelompok teater untuk menanamkan dalam diri seluruh anggota kelompoknya, tim produksi maupun awak pentas, agar mementingkan proses kerja-bersama sebagai salah satu nilai terpenting kegiatan berteater. Dalam praktek pelaksanaanya terus berkembang secara konseptual, sistem kerja, dan peristiwa.

FTJ yang semula sebagai gagasan menghidupkan kelompok-kelompok teater, telah tumbuh berkembang dan menciptakan nilai-nilai baru dalam pelaksanaanya. Secara konseptual mulai menuju ke arah terciptanya tradisi berteater di setiap kelompok. Dalam arti FTJ memprovokasi daya cipta kreatifitas, gagasan dan teknis kerja kelompok. Terbentuknya jaringan kerja antar kelompok teater di Jogjakarta.

Sistem kerja yang terus digagas oleh panitia festival dalam dua tahun ini telah menemukan jalur ide/gagasan dalam rapat kerja. Pembagian tugas antara Dewan Juri, Tim Ahli dan koordinator lapangan berusaha menemukan jalur-jalur yang efektif untuk mewujudkan program kegiatan selama proses pelaksanaan FTJ, meskipun ada kendala diluar rencana dalam pelaksanaanya.

Peristiwa yang diciptakan dalam ivent FTJ dari tahun pertama hingga tahun kedua mengalami perkembangan sesuai tujuan. Tahun pertama hanya beberapa pementasan yang sanggup menghadirkan peristiwa sosial di tengah masyarakat. Masih terjebak dalam konsep pemanggungan standar dalam gedung teater. Akan tetapi di tahun kedua, bisa dikatakan semua kelompok berhasil mencipta peristiwa sosial dalam pementasan di komunitasnya.

Program dalam Ranah Seni Teater
Seperti uraian yang tertulis di atas, bahwasannya Program Festival Teater Jogja (FTJ) merupakan ivent yang penting untuk keberlangsungan dinamika kehidupan teater di Jogjakarta. Dinamika yang didalamnya menghadirkan masyarakat, seniman, akademisi, mahasiswa, instansi pemerintah dan media massa, menjadi satu dalam pusaran peristiwa: TEATER!

Penting kiranya ada sebuah praktek untuk, tidak hanya saling mengenal, namun juga memahami “yang lain”. Seni pertunjukan, dalam hal ini teater modern, merupakan media mengenal, memahami, mengapresiasi, mengkomunikasikan, bahkan menafsir ulang keberagaman yang ada di sekitar kita dengan cerdas dan beradab.

Jogjakarta, 25 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar