CATATAN
FESTIVAL TEATER JOGJA (FTJ) 2009 - 2011
Oleh:
Andy Sri Wahyudi
Tema
“Berkunjung ke Rumah Sendiri” yang melekat pada FTJ – dapat kita baca sebagai
isyarat pentingnya teater memiliki orientasi nilai budaya dan sosial. Atau
dengan ungkapan lain: Teater perlu menemukan alamat kebudayaan sekaligus basis
sosialnya. Menjadi bagian dari wahana bagi publik untuk menemukan makna
kemanusiaan, makna kebersamaan, makna solidaritas dan seterusnya…”
Atas dasar tema di atas Festival Teater Jogja (FTJ)
2009 – 2011 diinisiasi oleh Yayasan Umar Kayam, yang kemudian diselengarakan
dan digagas secara bersama-sama, dengan melibatkan instansi pemerintah Taman
Budaya Yogyakarta (TBY), para pegiat dan akademisi teater di Yogayakarta.
Pelaksanaan
Festival
Festival Teater Jogja (FTJ) telah diselenggarakan
dalam dua tahun ini 2009 dan 2010, FTJ diikuti oleh 18 kelompok teater yang
berada di wilayah Jogjakarta (Bantul, Sleman, Kodya Jogja, Kulon Progo, Gunung
Kidul) dengan melewati tahap-tahap seleksi berupa pengajuan Profil kelompok,
konsep pementasan secara tertulis, dan wawancara secara langsung dengan Dewan Juri.
Dalam FTJ ini penyelenggara membentuk kepanitiaan sebagai berikut:
Penyelenggara sebagai penanggung jawab, dalam hal ini ada dua pihak yakni
Yayasan Umar Kayam (YUK) dan Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Kemudian di bentuk
Dewan Juri sebagai tim penyeleksi dan kurasi (inculd penilaian) dan Tim Ahli
sebagai pendamping proses penciptaan karya, yang bekerja memprovokasi gagasan
peserta dan menulis laporan selama proses berlangsung. Dewan Juri dan Tim Ahli
terdiri masing-masing tiga orang yang yang berkompeten dibidangnya. Dewan Juri:
Indra tranggono (pemerhati Teater dan Penulis Naskah), Hamdi Salad (Pelaku
Teater dan Penyair), Nanang Arizona (Dosen dan Akedemisi Teater). Tim Ahli:
Joned Suryatmoko (Sutradara Teater Gardanalla), Broto Wijayanto (Aktor Teater
Gandrik), Ikun SK (Penulis dan Pengamat Teater).
Proses penyelenggaraan FTJ ditempuh selama 5 bulan,
dimulai dari proses menggagas sistem kerja festival dan merancang pelaksanaan
FTJ yang dilakukan oleh Penyelenggara, Dewan Juri, dan Tim Ahli. Setelah sistem
terbentuk kemudian dilakukan proses seleksi wawancara bagi peserta, untuk
dinilai seberapa jauh kesiapannya secara konsep, artistik dan tim kerja
pelaksanaan pentas – setiap tahunnnya dipentaskan secara bergilir yang dibagi
menjadi 6 kelompok – Kemudian kelompok yang terpilih tidak langsung menempuh
proses masing-masing secara terpisah, namun penyelenggara memberi bekal peserta
melalui Tim Ahli dengan menyelenggarakan workshop, pemutaran film, diskusi
kelompok, dan memberikan referensi berupa artikel dan buku-buku teater pada
setiap kelompok. Bekal referensi tersebut diusulkan oleh peserta sesuai dengan
yang dibutuhkan peserta untuk memperkuat karya. Peserta menempuh proses
penciptaan karya kurang lebih selama tiga bulan, disamping itu peserta wajib
mengikuti kegiatan workshop, menonton film dan diskusi bersama.
Pada tahun 2009 peserta membawakan naskah yang
ditulis sendiri oleh peserta, sedangkan tahun 2010 peserta memilih naskah yang
diajukan oleh tim penyeleksi. Hal ini dilakukan lantaran FTJ 2010 lebih
memfokuskan pada peristiwa dan visual pemanggungan bukan pada kepenulisan. Maka
peserta dibebaskan menafsir pilihan naskah yang sudah disediakan. Pementasan diselenggarakan
tidak dipanggung teater (indoor) pada umumnya, akan tetapi digelar di
ruang-ruang komunitas masing-masing sesuai pilihan peserta: di kampung-kampung
dan pelosok pedesaan.
Pementasan FTJ 2009-2010 digelar diruang-ruang
alternatif yakni di Pendapa kampung,
halaman rumah, area bekas pasar, taman kampus mahasiswa, di kolam kering, dan
di sungai kecil. Pementasan teater di ruang-ruang tersebut telah melahirkan
peristiwa sosial yang mencipta ruang apresiasi baru di tengah masyarakat
kampung kota dan pedesaan terhadap seni teater. Di beberapa tempat pementasan
(area bekas pasar, halaman rumah dan sungai kecil) menjadi ruang yang
dimanfaatkan warga untuk berjualan jajanan dan mainan anak-anak. Ruang menjadi
dunia-dunia kecil untuk berinteraksi secara bebas dan plural antara akademisi,
seniman, mahasiswa, masyarakat penonton dan media massa.
Hambatan
yang dijumpai
Peristiwa FTJ yang telah digelar dalam kurun waktu
dua tahun tersebut tidak sepenuhnya berjalan mulus, namun banyak menemui
masalah secara teknis maupun konseptual. Banyak hal yang perlu dievaluasi
bersama agar peristiwa yang dibangun sesuai harapan dan tujuan. Beberapa hal
yang menghambat dan perlu dievaluasi yakni:
1. Sistem
kerjasama
Dua pihak penyelenggara antara
Yayasan Umar Kayam (YUK) dan Taman Budaya Yogyakarta (TBY) kurang membangun
ruang komunikasi secara intensif dan jelas. Kurang jelasnya informasi
pengelolaan dana oleh keduabelah pihak. Dalam hal ini kedua belah pihak
penyelenggara tidak membuat kesepakatan resmi dalam pembagian dan pengelolaan
dana sehingga ada dua wadah dalam mengelola dana. Hal tersebut membingungkan
pelaksana lapangan dalam bekerja. Alangkah baiknya jika dana dikelola oleh
salah satu pihak agar menejemen keuangan bisa tertata lebih jelas dan lebih
bertanggung jawab.
Selain itu tidak ada pembagian
jatah penyediaan infrastruktur (ruang dan peralatan teknis) yang jelas antara
kedua belah pihak penyelenggara. Sehingga mengakibatkan perubahan jadwal
mendadak dan tidak kondusifnya iklim kerja lantaran kendala hal teknis. Hal ini
menjadi hambatan dalam mengadakan kegiatan (workshop, pemutaran film, diskusi)
yang ditujukan pada peserta.
2. Kerja
Tim
Tim kerja FTJ 2009 dan 2010 terdiri
dari Dewan Juri, Tim Ahli, dan Koordinator lapangan. Hal ini sebenarnya Tim
Kerja telah melaksanakan sesuai dengan fungsinya. Akan tetapi belum
terkoordinir secara kompak sehingga hasil kerja tidak sesuai dengan apa yang
telah dirancang. Terlihat dalam mengatur waktu dan Sumberdaya pekerja yang
kurang diperhatikan ketika menyusun rencana kerja. Kadang waktu yang
direncanakan terlalu sedikit untuk mewujudkan gagasan dalam rapat bersama dan
Sumberdaya pelaksana teknis kurang dibahas secara tuntas. Sehingga dalam
praktiknya koordinator lapangan sering merangkap sebagai teknisi secara penuh
dalam bekerja, membuat hasilnya tidak maksimal. Hal ini terjadi dalam
pelaksanaan kegiatan pembukaan Festival, penjadwalan Workshop.
3. Peraturan
Festival
Aturan-aturan dalam kerja FTJ telah dibuat dalam MOU dan telah
disepakati bersama, akan tetapi dalam prakteknya mengalami kendala. Terutama
berkaitan dengan para peserta Festival. Salah satu point aturan: Setiap peserta wajib mengikuti kegiatan yang
diselenggarakan panitia. Namun hal tersebut sering diabaikan, peserta
kadang terlambat lama dan bahkan ada yang tak mengikuti kegiatan dikarenakan
kendala teknis, seperti kesibukan anggota kelompok (yang nota benenya dari
berbagai macam profesi), alasan transport dan jauhnya jarak yang ditempuh
antara tempat kegiatan dan domisili para peserta. Juga terjadi kesalahan
mengirimkan wakil dalam mengikuti workshop, dalam hal ini perwakilan kelompok
yang hadir tidak lengkap sehingga tidak sesuai tema dan yang diharapkan
panitia, contohnya dalam diskusi dan pemutaran film. Bahwa yang diharapkan
datang sutradara dan aktor, namun yang datang hanya aktor saja. Hal ini juga
terjadi ketika dalam acara pembukaan festival, banyak peserta yang datang
terlambat dan beberapa tidak hadir, hanya mengirimkan beberapa wakil saja.
Hasil
yang dicapai dalam FTJ
Meskipun banyak hambatan yang dijumpai dalam proses
pelaksanaan FTJ, akan tetapi banyak juga hasil yang dicapai dalam ajang
Festival tersebut. Hal tersebut ditandai dengan sambutan hangat dari masyarakat
pada setiap pementasan. Hampir setiap pementasan dihadiri 300 – 500 penonton
dan banyak diliput oleh media massa lokal maupun nasional. Capaian FTJ
2009-2010:
1. Menghidupkan
Teater Pinggiran
FTJ sebagai ajang menumbuhkan
dinamika kerja kelompok-kelompok teater yang mulai lesu. Kelompok teater mulai aktif
kembali dengan adanya ivent Festival Teater Jogja. Kelompok-kelompok tersebut
mulai bangkit dari kelesuan berkreatifitas, para peserta FTJ mulai mengatur
dinamika kerja secara kontinyu setelah turut serta dalam ajang FTJ.
2. Terbentuknya
Jaringan antar Kelompok
Dalam kegiatan-kegitan yang
diselenggarakan FTJ tak hanya berhenti sebagai aktivitas teater semata. Akan
tetapi berkembang menjadi ajang interaksi baik secara induvidu maupun kelompok.
Hal tersebut berefek pada kontinyuitas gerak kreatifitas tiap kelompok dalam
mengembangkan nilai artistik dan jaringan kerja antar kelompok teater di Jogja.
Melalui FTJ setiap kelompok mendapatkan ruang baru untuk tumbuh dan berkembang
secara berkelanjutan. Dengan terbentuknya jaringan kerja teater maka setiap
kelompok dapat saling membantu dalam mengatasi kekurangan dan berbagi informasi
antar kelompok teater.
3. Apresiasi
Publik
FTJ membuka tawaran baru pada
masyarakat dalam mengapresiasi seni teater dengan menggelar pementasan yang
berbasis komunitas. Pementasan yang bertempat di ruang-ruang publik tersebut
banyak mengundang perhatian warga kampong kota, mahasiswa dan masyarakat desa. Teater menjadi tontonan
alternatif di tengah gempuran sinetron dan film di televisi. Selain itu FTJ
memancing tanggapan banyak pihak baik secara lisan maupun tertulis dan menjadi ulasan
dimedia massa, juga menjadi data sejarah perjalanan teater di Jogjakarta.
4. Peristiwa Sosial
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa FTJ
dengan mementaskan lima kelompok teater di ruang yang berbasis komunitas
kampung, Desa dan kampus, FTJ telah berhasil menciptakan peristiwa sosial di
tengah masyarakat. Menumbuhkan semangat plural dan nilai komunikasi yang baru.
Teater tidak hanya berhenti pada nilai seni, namun berkembang di ranah sosial
dan ekonomi. Teater berubah menjadi renungan akan makna kebersamaan, solidaritas
dan rasa kemanusiaan. Hadirnya para pedagang tiban di tengah terlaksananya pementasan menjadi nilai plus tersendiri, warga desa dapat
memanfaatkan ruang untuk berjualan hasil bumi sekaligus turut menjadi bagian
peristiwa sosial.
5. Teater
yang benar-benar hadir
FTJ menghadirkan teater yang bukan
standar pementasan di panggung semata, akan tetapi mencipta teater yang hadir:
dapat dilihat, dirasakan, dan diciptakan di tengah masyarakatnya. Menciptakan
nilai-nilai baru dalam kehidupan dan khazanah seni teater itu sendiri.
Program
yang terus berkembang
Diawali
tahun 2009 FTJ telah ditetapkan menjadi program selama tiga tahun (2009-2011),
program ini sebagai upaya mendukung usaha dan jerih-payah pimpinan
kelompok-kelompok teater untuk menanamkan dalam diri seluruh anggota
kelompoknya, tim produksi maupun awak pentas, agar mementingkan proses
kerja-bersama sebagai salah satu nilai terpenting kegiatan berteater. Dalam
praktek pelaksanaanya terus berkembang secara konseptual, sistem kerja, dan
peristiwa.
FTJ
yang semula sebagai gagasan menghidupkan kelompok-kelompok teater, telah tumbuh
berkembang dan menciptakan nilai-nilai baru dalam pelaksanaanya. Secara
konseptual mulai menuju ke arah terciptanya tradisi berteater di setiap
kelompok. Dalam arti FTJ memprovokasi daya cipta kreatifitas, gagasan dan
teknis kerja kelompok. Terbentuknya jaringan kerja antar kelompok teater di
Jogjakarta.
Sistem
kerja yang terus digagas oleh panitia festival dalam dua tahun ini telah
menemukan jalur ide/gagasan dalam rapat kerja. Pembagian tugas antara Dewan
Juri, Tim Ahli dan koordinator lapangan berusaha menemukan jalur-jalur yang
efektif untuk mewujudkan program kegiatan selama proses pelaksanaan FTJ,
meskipun ada kendala diluar rencana dalam pelaksanaanya.
Peristiwa
yang diciptakan dalam ivent FTJ dari tahun pertama hingga tahun kedua mengalami
perkembangan sesuai tujuan. Tahun pertama hanya beberapa pementasan yang
sanggup menghadirkan peristiwa sosial di tengah masyarakat. Masih terjebak
dalam konsep pemanggungan standar dalam gedung teater. Akan tetapi di tahun
kedua, bisa dikatakan semua kelompok berhasil mencipta peristiwa sosial dalam
pementasan di komunitasnya.
Program
dalam Ranah Seni Teater
Seperti uraian yang
tertulis di atas, bahwasannya Program Festival Teater Jogja (FTJ) merupakan
ivent yang penting untuk keberlangsungan dinamika kehidupan teater di
Jogjakarta. Dinamika yang didalamnya menghadirkan masyarakat, seniman,
akademisi, mahasiswa, instansi pemerintah dan media massa, menjadi satu dalam
pusaran peristiwa: TEATER!
Penting
kiranya ada sebuah praktek untuk, tidak hanya saling mengenal, namun juga
memahami “yang lain”. Seni pertunjukan, dalam hal ini teater modern, merupakan
media mengenal, memahami, mengapresiasi, mengkomunikasikan, bahkan menafsir ulang
keberagaman yang ada di sekitar kita dengan cerdas dan beradab.
Jogjakarta,
25 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar