Selasa, 30 Oktober 2012

Artikel Teater



Teater Itu Akan Terus Bergerak dan Tak Kenal Lelah
Oleh: Andy Sri Wahyudi

Peristiwa teater telah menciptakan banyak ruang dan relasi kreatif yang terus tumbuh berkembang seiring gerak zaman. Para pelaku teater di setiap kota tak henti-hentinya berproses kreatif, menciptakan karya-karya sekaligus ruang apresiasi baru yang terus dihidupkan, dari generasi ke generasi. Dalam tiga dekade lalu, seolah ruang dan peristiwa teater seperti terpusat di pulau Jawa, dan hanya di kota-kota besar saja: Jakarta, Bandung, Jogja. Dan banyak kelompok-kelompok teater yang masih mengkultuskan tokoh atau bergantung pada satu pemimpin.

Dari tahun ke tahun teater tumbuh seperti mahkluk lincah dan cerdas, ia terus bergerak dan merambat menaburkan peristiwa-peristiwa di setiap kota dan daerah. Teater tak lagi milik perseorangan atau semacam padepokan silat, akan tetapi sebagai ruang bersama untuk tumbuh berkembang bagi setiap personil yang bergerak di dalamnya. Sejak jaman sebelum Orde Baru, teater sejatinya telah menancapkan pilar-pilar sejarahnya, yang dipelopori: Umar Kayam, Asrul Sani, Kirdjomulyo, WS Rendra, Jim Lim dan Suyatna Anirun. Bahkan Jauh sebelumnya  di jaman Hindia Belanda, Sukarno Presiden RI pertama, telah menancapkan tonggak sejarah teater dengan Kelompok Monte Carlo di Banda Neira, tempat pembuanngannya. Kemudian Teater terus hidup di Era Orde Baru, meski sering terjadi represi terhadap pertumbuhan teater, terutama kelompok teater yang mengkritisi pemerintahan waktu itu, tetapi teater tetap saja berdiri sebagai mahluk lincah nan cerdas. Teater seolah  bisa berubah warna, menghilang lalu muncul kembali untuk perubahan. Teater mempunyai banyak basis inspirasi, baik tradisi maupun kontemporer. Teater telah membangun ideologinya sendiri-sendiri di setiap daerah atau di manapun ia berada.

Zaman telah membuktikan secara nyata, setelah tumbangnya Rezim Orde Baru, bermunculan kelompok-kelompok teater baru dengan bentuk dan gagasan berbeda-beda. Dan Pulau Jawa tak selamanya menjadi centre atau pusat kebudayaan seni, akan tetapi sekolah-sekolah seni dan kantong-kantong seni telah bertumbuhan di kota-kota seluruh Indonesia: Padang Panjang, Lampung, Makasar, NTT, Pekan Baru, Kendari, Madura, Lombok, dan Bali. Di kota-kota tersebut, teater mulai bertumbuhan dan membuka ruang apresiasi  bagi masyarakatnya. Tak terelakkan lagi teater telah menggurita di kota-kota, yang berefek lahirnya kelompok-kelompok teater baik teater kampus maupun teater sanggar yang notabenenya teater independen. Tempat-tempat pementasan tak lagi berkiblat pada pemanggungan indoor procenium atau gedung-gedung pementasan, akan tetapi meluas ke ranah publik. Teater telah menginvasi ruang-ruang publik menjadi panggung yang akrab, bahkan menawarkan estetika baru. Sering terjadi pementasan di cafe, jalan raya, halaman rumah, sekolahan, sawah, kolam renang, dll. Maka persinggungan antara para pelaku teater, masyarakat dan teater itu sendiri-pun tak terelakkan lagi, dan teater semakin dikenal sebagai seni modern di Indonesia oleh masyarakat luas. Bahkan telah menjadi bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia.

Generasi Baru dari Kota ke Kota
Teater di Indonesia telah memiliki sejarahnya sendiri sebagaimana cabang kesenian yang lainnya, dan  sejarah perkembangan teater di setiap kota pun berbeda-beda. Bahkan di kota-kota seperti Jakarta, Bandung dan Jogja, Teater telah menjadi kebutuhan bagi anak muda, karyawan kantor, dan keluarga golongan ekonomi menengah atas sebagai hiburan yang mendidik. Maka dari itu sangat disayangkan jika ruang-ruang apresiasi tidak merambah ke kota-kota Indonesia secara meluas dan berhenti pada titik-titik atau kantung seni tertentu. Terutama di wilayah Indonesia tengah dan timur (Kalimantan, Bali, NTT, NTB, Sulawesi, Maluku, Lombok) Hal tersebut disebabkan banyak kendala yang menghambat para pelaku untuk terus bergerak mengembangkan ruang apresiasi. Diantaranya, kurangnya perhatian pemerintah kota menggali potensi generasi muda bidang teater, infrastruktur yang belum memadai, jaringan sosial pelaku seni, referensi pemetaan teater dan data-data tempat pementasan. Maka para pelaku antar kota perlu melakukan persinggungan untuk melangsungkan peritiwa teater dan melahirkan generasi baru, agar ruang apresiasi tetap terjaga dan berkembang.

Persinggungan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara kolaboratif dan ekploratif dalam konsep gagasan maupun kerja teknis dalam membuat peristiwa Teater. Untuk itu diperlukan referensi kerja yang berupa catatan perjalanan, dokumentasi karya, data tempat pementasan baik out door maupun indoor, infrastruktur atau fasilitas pementasan yang tersedia, daftar kelompok teater di kota-kota yang dapat bekerjasama dan data pendukung yang lainnya. Data-data tersebut dapat dihimpun dalam situs website agar dapat terus di up-date dan diakses banyak kalangan. Pasti akan sangat berguna untuk kerja kreatif dan apresiasi karya antar kota. Iklim perteateran yang meliputi penonton, sejarah perkembangan teater dan apresiasi masyarakat terhadap teater akan terus terbangun. Bagi para pelaku seni akan lebih mudah dalam mencari data-data berupa tempat pementasan dan memperoleh informasi perihal infrastruktur, dan kelompok-kelompok teater di kota-kota untuk melangsungkan peristiwa teater di kota-kota Indonesia, agar teater terus bergerak dan berkembang sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia.












1 komentar:

  1. Jiyyaaa... Ternyata salah Monte Carlo bukan di Banda Neira tapi di Bengkulu..

    BalasHapus