Teater Itu Akan Terus Bergerak dan Tak Kenal Lelah
Oleh: Andy Sri Wahyudi
Peristiwa teater
telah menciptakan banyak ruang dan relasi kreatif yang terus tumbuh berkembang
seiring gerak zaman. Para pelaku teater di setiap kota tak henti-hentinya
berproses kreatif, menciptakan karya-karya sekaligus ruang apresiasi baru yang
terus dihidupkan, dari generasi ke generasi. Dalam tiga dekade lalu, seolah
ruang dan peristiwa teater seperti terpusat di pulau Jawa, dan hanya di
kota-kota besar saja: Jakarta, Bandung, Jogja. Dan banyak kelompok-kelompok
teater yang masih mengkultuskan tokoh atau bergantung pada satu pemimpin.
Dari tahun ke
tahun teater tumbuh seperti mahkluk lincah dan cerdas, ia terus bergerak dan
merambat menaburkan peristiwa-peristiwa di setiap kota dan daerah. Teater tak
lagi milik perseorangan atau semacam padepokan silat, akan tetapi sebagai ruang
bersama untuk tumbuh berkembang bagi setiap personil yang bergerak di dalamnya.
Sejak jaman sebelum Orde Baru, teater sejatinya telah menancapkan pilar-pilar
sejarahnya, yang dipelopori: Umar Kayam, Asrul Sani, Kirdjomulyo, WS Rendra,
Jim Lim dan Suyatna Anirun. Bahkan Jauh sebelumnya di jaman Hindia Belanda, Sukarno Presiden RI
pertama, telah menancapkan tonggak sejarah teater dengan Kelompok Monte Carlo
di Banda Neira, tempat pembuanngannya. Kemudian Teater terus hidup di Era Orde
Baru, meski sering terjadi represi terhadap pertumbuhan teater, terutama
kelompok teater yang mengkritisi pemerintahan waktu itu, tetapi teater tetap
saja berdiri sebagai mahluk lincah nan cerdas. Teater seolah bisa berubah warna, menghilang lalu muncul
kembali untuk perubahan. Teater mempunyai banyak basis inspirasi, baik tradisi
maupun kontemporer. Teater telah membangun ideologinya sendiri-sendiri di
setiap daerah atau di manapun ia berada.
Zaman telah
membuktikan secara nyata, setelah tumbangnya Rezim Orde Baru, bermunculan
kelompok-kelompok teater baru dengan bentuk dan gagasan berbeda-beda. Dan Pulau
Jawa tak selamanya menjadi centre atau pusat kebudayaan seni, akan tetapi
sekolah-sekolah seni dan kantong-kantong seni telah bertumbuhan di kota-kota
seluruh Indonesia: Padang Panjang, Lampung, Makasar, NTT, Pekan Baru, Kendari,
Madura, Lombok, dan Bali. Di kota-kota tersebut, teater mulai bertumbuhan dan
membuka ruang apresiasi bagi
masyarakatnya. Tak terelakkan lagi teater telah menggurita di kota-kota, yang
berefek lahirnya kelompok-kelompok teater baik teater kampus maupun teater
sanggar yang notabenenya teater independen. Tempat-tempat pementasan tak lagi
berkiblat pada pemanggungan indoor procenium atau gedung-gedung
pementasan, akan tetapi meluas ke ranah publik. Teater telah menginvasi
ruang-ruang publik menjadi panggung yang akrab, bahkan menawarkan estetika
baru. Sering terjadi pementasan di cafe, jalan raya, halaman rumah, sekolahan,
sawah, kolam renang, dll. Maka persinggungan antara para pelaku teater,
masyarakat dan teater itu sendiri-pun tak terelakkan lagi, dan teater semakin
dikenal sebagai seni modern di Indonesia oleh masyarakat luas. Bahkan telah
menjadi bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia.
Generasi Baru
dari Kota ke Kota
Teater di
Indonesia telah memiliki sejarahnya sendiri sebagaimana cabang kesenian yang
lainnya, dan sejarah perkembangan teater
di setiap kota pun berbeda-beda. Bahkan di kota-kota seperti Jakarta, Bandung
dan Jogja, Teater telah menjadi kebutuhan bagi anak muda, karyawan kantor, dan
keluarga golongan ekonomi menengah atas sebagai hiburan yang mendidik. Maka
dari itu sangat disayangkan jika ruang-ruang apresiasi tidak merambah ke kota-kota
Indonesia secara meluas dan berhenti pada titik-titik atau kantung seni
tertentu. Terutama di wilayah Indonesia tengah dan timur (Kalimantan, Bali,
NTT, NTB, Sulawesi, Maluku, Lombok) Hal tersebut disebabkan banyak kendala yang
menghambat para pelaku untuk terus bergerak mengembangkan ruang apresiasi.
Diantaranya, kurangnya perhatian pemerintah kota menggali potensi generasi muda
bidang teater, infrastruktur yang belum memadai, jaringan sosial pelaku seni,
referensi pemetaan teater dan data-data tempat pementasan. Maka para pelaku
antar kota perlu melakukan persinggungan untuk melangsungkan peritiwa teater
dan melahirkan generasi baru, agar ruang apresiasi tetap terjaga dan
berkembang.
Persinggungan
tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara kolaboratif dan
ekploratif dalam konsep gagasan maupun kerja teknis dalam membuat peristiwa
Teater. Untuk itu diperlukan referensi kerja yang berupa catatan perjalanan,
dokumentasi karya, data tempat pementasan baik out door maupun indoor, infrastruktur
atau fasilitas pementasan yang tersedia, daftar kelompok teater di kota-kota yang
dapat bekerjasama dan data pendukung yang lainnya. Data-data tersebut dapat
dihimpun dalam situs website agar dapat terus di up-date dan diakses banyak kalangan. Pasti akan sangat berguna
untuk kerja kreatif dan apresiasi karya antar kota. Iklim perteateran yang
meliputi penonton, sejarah perkembangan teater dan apresiasi masyarakat
terhadap teater akan terus terbangun. Bagi para pelaku seni akan lebih mudah dalam
mencari data-data berupa tempat pementasan dan memperoleh informasi perihal
infrastruktur, dan kelompok-kelompok teater di kota-kota untuk melangsungkan
peristiwa teater di kota-kota Indonesia, agar teater terus bergerak dan
berkembang sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia.
Jiyyaaa... Ternyata salah Monte Carlo bukan di Banda Neira tapi di Bengkulu..
BalasHapus