Topeng Losari Yang Terus Bersinar
Oleh : Andy Sri Wahyudi
Sore itu matahari mulai condong ke
barat, sinarnya masih terasa hangat menyentuh kulit. Sinarnya juga menerangi sebuah pelataran luas yang dikelilingi
pohon-pohon rindang, pelataran yang berhawa sejuk, berdekatan dengan sungai dan
kawasan outbond. Dari pelataran sejuk
itu melantun bunyi gamelan yang dimainkan oleh para pengrawit yang sudah
berumur 40 tahun ke atas, lengkap dengan ikat kepala dan pakaian tradisional
khas Cirebon warna coklat muda. Bunyi gamelan yang menghias suasana membuat orang-orang
berdatangan untuk melihatnya. Warga desa, dari anak-anak hingga kakek – nenek mulai menempatkan diri di tempat yang mereka
anggap nyaman, sebagian melihat dari kejauhan. Beberapa anak bermain kejar-kejaran,
ibu-ibu merumpi, orang-orang tua berdiam menikmati irama gamelan. Tak hanya
warga desa yang berdatangan, wisatawan manca negarapun turut meramaikan suasana
sore di Ledok Sambi, Jl. Kaliurang KM.
19,2 Dusun Sambi, Sleman.
Sebuah pertunjukan Tari Topeng Losari
akan segera digelar, Gamelan mulai melamban lalu berhenti. Pukul 16:05 WIB Master of Ceremony membuka acara,
setelahnya para pengrawit kembali membunyikan gamelan yang tertata disebuah
panggung sederhana beralas karpet permadani tanpa level. Panggung berhias hasil
bumi: sayur mayur, terong, kacang panjang, pare, juga makanan kecil dan minuman
instran (soft drink) yang digantung
mengelilingi gamelan dan pengrawit. Kain merah lebar satu meter di atas
panggung, memanjang ke depan dari belakang
hingga ujung batas ruang penonton. Sebuah kotak dari kayu yang bervernis
halus diletakkan di tengah depan gamelan. Para penonton yang terdiri dari warga
desa Sambi, wisatawan asing, dan seniman diantaranya musisi Jaduk Ferianto,
teaterawan muda Agnes Cristina dan Fery Ludyanto. Semuanya mulai merapat,
mendekat.
Persembahan tari pertama dibuka dengan
Tari pamindo atau Panji Sutrawinangun, dibawakan oleh Nur’Anani M Irman atau
akrab dipanggil mbak Nani. Tari Panji Sutrawinangun yang menceritakan tentang
seorang Ksatria muda dari negeri Urawan, dimainkan dengan greget dan dinamis. Ketika
topeng yang diambil dari kotak kayu mulai dikenakan, tubuh mungil yang semula
tampak lemah gemulai itu perlahan berubah karakter tokoh yang tegap dan gagah.
Gerakkannya mulai menyedot perhatian penonton yang semakin bertambah. Gerak
tangan yang sesekali menghentak seiring bunyi gamelan dan gerak tubuh yang luwes
itu berhasil menghidupkan karakter topeng seorang Ksatria. Terlihat ada sebuah
dunia karakter yang terbangun lewat bunyi gamelan dan gerak tubuh penari. Tubuh
penari menceritakan karakter sosok Panji Sutrawinangun sebagai ksatria yang
gagah, tegas dan pemberani. Sebuah tarian yang berdurasi 30 menit ini terasa
mengesankan. Gerak tubuh dan topeng Ksatria merupakan dua dunia yang menyatu
dalam jiwa: sang Penari.
Pertunjukan kedua adalah Tari Bodoran
yang dibuka oleh seorang penari laki-laki (Warsono). Tari Bodoran di dalam rangkaian pentas Topeng
Losari, biasanya selalu ada di sela-sela pertunjukan yang ada dalam babakan
Topeng Losari. Penari mengenakan kostum hitam dan berkalung selendang, bergerak
seiring irama gamelan. Gerak tubuhnya mengalun lamban dan berada di satu titik,
juga tak membuka lahirnya karakter tokoh. Akan tetapi ketika irama gamelan
mulai mengalun dinamis, gerak penari tak lagi melamban, tubuh Penari seperti
membuat ruang yang melahirkan peristiwa baru. Gerak Penari berubah dinamik dan
menghentak, lalu dikenakannya sebuah topeng warna merah dengan mata melotot. Topeng
yang diambil dari kotak kayu itu, menggambarkan seorang tokoh yang berperangai
buruk dan galak. Ia bergerak seperti layaknya penguasa yang terlihat konyol.
Dalam babakan Tari Bodoran lebih
ditekankan pada adegan yang melahirkan peristiwa yang konyol. Terlihat ketika
muncul tokoh, seorang tua berkostum gombal yang compang-camping layaknya orang
gila. Ia hanya diam, namun gestur tubuhnya tampak lucu. Kemudian di susul oleh
pengrawit yang turut bermain dalam adegan tersebut. Sementara tokoh penguasa duduk
bersila di atas kotak kayu seperti seorang raja yang aneh. Dalam adegan
tersebut membuat para penonton tertawa, lantaran sering terjadi hal konyol
lewat dialog maupun polah tingkah. Dialog yang digunakan adalah dialek jawa
cirebonan, meskipun penonton tak paham artinya tapi tetap tertarik dengan gaya
bicara para tokoh. Selain dialog, adegan itu tampak hidup degan mimik wajah dan
tingkah laku pemain. Seperti tokoh orang tua yang diperankan pak Sujat, meski
diam namun ekspresi wajahnya tampak konyol, dan tingkah laku pemain lain (Amad
dan Mutara) yang menjadikan tokoh orang tua bulan-bulanan bahan olok-olok. Tari
Bodoran ini cukup menyegarkan suasana pertunjukan, namun kecenderungan pemain
yang membelakangi penonton membuat permainan tak terlihat maksimal. Tari
bodoran ini memakan durasi yang lumayan panjang sekitar 40 menit. Tari Bodoran
memang benar-benar bodor!
Tari Klana Bandopati merupakan suguhan
terakhir dari rangkaian tari Topeng Losari, menceritakan tentang tokoh Raja
yang berkarakter congkak, sombong dan menggambarkan angkara murka. Dalam tarian
Klana Bandopati, semua elemen yang melekat ditubuh penari mendukung
terbangunnya karakter tokoh. Kostum yang dikenakan adalah kain bermotif parang
dan bermahkota hitam, dengan bulatan-bulatan merah dironce memanjang disamping
kanan-kiri mahkota hingga sepinggang. Kostum yang dikenakan penari tampak ada
pengaruh dari Jawa Tengah, mengingat Cirebon berada di perbatasan Jawa Tengah
dan Jawa Barat. Kostum kain motif parang atau liris ini yang membedakan Tari
Topeng Losari dengan Tari Topeng di wilayah Jawa Barat, yang mengenakan kain
motif mega mendung.
Gerakan Tari Klana Bandopati sanggup
menyihir penonton, semua elemen yang melekat ditubuh penari difungsikan untuk
menghidupkan karakter dan cerita. Setelah mengenakan Topeng, Penari seperti
memasuki dunia yang lepas dari karakter aslinya. Gerak Penari sangat dinamis,
ia menggerakkan tangan, kaki, kepala dan tubuhnya tak hanya pada satu titik
namun berpindah menguasai panggung pertunjukan. Kali ini gamelan tak hanya
sebagai pengiring tarian, namun bunyi gamelan menjadi irama yang lebur dengan
gerak penari. Crek…! crek…! crek…!!
Crek…!! Hentakkan gerak kaki, tangan dan liukan tubuh beriringan dengan
bunyi alat musik keprak, bunyi alat gamelan yang lain berubah semakin dinamik.
Suasana yang terbangun semakin memuncak dalam ketegangan dan amarah, sebuah
gambaran cerita angkara murka yang tengah melanda diri manusia. Berkai-kali
kaki penari menyibakkan kain selendang yang terjurai di tanah dengan sapuan
tegas. Sering juga penari berbalik ke
belakang dengan gerak cepat lalu berhenti dengan satu kaki diletakkan di atas
kotak kayu. Di dalam Tari Klana Bandopati ini dijumpai gerakkan khas Tari
Topeng Losari yakni Galeyong atau khayang, gerak yang meliukkan badan ke
belakang. Selain itu tari Topeng juga mempunyai gerak gantung sikil sekitar 10
menit. Dua gerakan tersebut menjadi kekhasan sekaligus kekuatan dalam Tari
Topeng Losari.
Pertunjukan Tari ketiga dalam rangkaian
pentas Tari Topeng Losari ini berdurasi cukup lama, sekitar 45-50 menit. Meski
demikian, Penari Klana Bandopati (mbak Nani) masih tampak enerjik. Dalam
ketegangan dan tubuh yang mulai capai itu sang Penari menyikapinya dengan
santai: tiba-tiba ia istirahat dengan menduduki salah seorang pengrawit, kadang
berhenti lalu minum dengan mengambil minuman yang digantung diseputar panggung.
Peristiwa itu menciptakan suasana baru yang segar.
Tak terasa petang mulai datang,
rangkaian pentas Tari Topeng Losari yang berdurasi dua jam itupun selesai
sudah. Jumlah Penonton hingga akhir pertunjukan tak lagi bertambah, berkisar
anatar 90 – 100 penonton. Pementasan ini cukup berhasil dalam membawakan Tari
Topeng Losari, namun dalam hal publikasi kurang tergarap. Sepantasnya
pementasan Tari di pelataran seluas sekitar 600m itu bisa dihadiri lebih dari
200 penonton, apalagi pementasan ini diselenggarakan di Desa Sambi yang
berstatus sebagai desa wisata.
Sanggar
Purwa Kencana Topeng Losari
“Saya
akan terus menari...hingga kaki saya tidak bisa melangkah lagi”
Demikian yang terucap dari hati sang
penerus generasi ke 7 pewaris Tari Topeng Losari, Nur’Anani M Irman. Beliau
ingin melanjutkan cita – cita leluhurnya yang terus memberikan sumbangan wacana
seni tradisi. Beliau telah membuktikannya dengan mendapat penghargaan dari
pemerintah maupun kancah pecinta seni. Bersama Sanggar Purwa Kencana Topeng
Losari pernah menjadi misi kesenian untuk mementaskan tari Topeng Losari di 22
Negara.
Sanggar yang beralamat di Jl. Baru. Desa
Astana Langgar. Gg. Dewi Sartika RT/RW: 01/03 No. 03 Kec. Losari, Kab Cirebon
ini, didirikan oleh Ibu Dewi dan Ibu Sawitri, generasi ke 6 pewaris Topeng
Losari, pada tahun 1984. Sanggar Purwa Kencana memiliki arti yang menarik,
Purwa berarti terdahulu/masalalu sedang Kencana berarti Emas. Sanggar tersebut
bertujuan untuk senantiasa menjaga seni keemasan masalalu sebagai warisan
kekayaan khasanah budaya Nusantara. Pengabdiannya terhadap kesenian tradisional
Topeng Losari, membuat seni Topeng Losari Cirebon dikenal di kancah dunia internasional.
Meskipun arus budaya global tengah
berdatangan melanda negri ini, namun Tari Topeng Losari tetap selalu ada, hidup
dan bersinar!
Jogjakarta, 3 Oktober 201
Tidak ada komentar:
Posting Komentar