Rabu, 24 Oktober 2012

Artikel Yogyasastra

Sastra di Yogya: Asyik-asyik Saja
Cerita buat dik Anes Prabu dan Saiful Anwar

Oleh: Andy Sri Wahyudi


Tulisan ini fragment. Bukan tanggapan atau memberikan pandangan baru tentang sastra. Cerita dari renungan kecil dalam dunia keseharianku sebagai anak kampung yang lahir dan tinggal di Yogya. Cerita yang kupersembahkan untuk Dik Anes Prabu dan Saiful Anwar sebagai respon atas tulisan perihal sastra di Yogya.

Suatu hari Ayahku pernah menegurku saat dahan dan daun pohon nangka kupotongi dengan pisau secara serampangan. Ayahku bilang, “Jangan kau sakiti pohon nangka itu, nanti kuwalat. Pohon Nangka itu adalah kakekmu!” Ayah bercerita, kakekku mati dibayonet tentara Belanda saat Agresi Militer II, lalu dikubur di bawah pohon nangka halaman rumah. Aku yang masih kecil hanya terdiam, lalu berlari ke dapur mengembalikan pisau sambil menyesali perbuatan. Sejak saat itu aku tak pernah menyakiti pohon nangka, juga semua pohon di halaman rumah. Sebab aku merasa semua pohon adalah teman kakekku.

Aku punya kenalan tetangga kampung namanya Mbah Temu, mantan pejuang 45 yang sekarang bekerja sebagai tukang parkir di sebuah Puskesmas. Aku mengenalnya ketika ia sedang ura-ura (bersenandung tembang jawa) di bawah pohon mlinjo. Istrinya lumpuh tak kunjung sembuh. Ia bercerita, hanya dengan ura-ura itulah ia bisa merasakan kenyataan. Istrinya akhirnya meninggal dunia.

Simbok dan Eva. Dua perempuan ini usianya jauh beda. Simbok berumur 70 tahun, ia tetangga dekat yang turut merawatku sewaktu kecil. Ada yang selalu kuingat setiap ia hendak menidurkanku. Ia membuat drama fabel di tembok dengan bayangan tangan. Tangan dan jari-jarinya bisa membentuk ular, itik, menjangan dan srigala, lantas ia bercerita hingga aku tertidur setelah tertawa cekikikan. Ceritanya selalu berbeda dan setiap hewan pernah menjadi tokoh utama. Entah dari mana ia belajar menulis naskahnya, padahal simbok tidak sekolah, tentu tak bisa membaca dan menulis. Akan tetapi aku merasakan cerita itu hidup karena ketulusan dan rasa sayangnya padaku.

Tidak jauh beda dengan Eva (30 tahun), seorang guru SMA dan pendamping PAUD di kampung-kampung. Terus terang aku pernah mendekati, karena wajahnya manis. Pernah kubuatkan cerita pendek yang romantis dan kukirimi SMS puisi-puisi. Tak kusangka ia membalasnya dengan mengirimiku cerpen, puisi dan resensi sebuah novel sejarah.  Aku bingung diajaknya diskusi sastra. Lantas kubilang padanya, mengapa karya tulismu tidak dipublikasikan? Ternyata aku salah. Katanya, setiap hari ia mempublikasikan karyanya dengan mengajari anak-anak kecil menanam sayuran dan menyayangi binatang. Juga dengan ngobrol bersama murid-muridnya tentang kehidupan dunia remaja yang kadang mengkhawatirkan. Ada kata-katanya yang masih kuingat saat kutanya mengapa ia belajar sastra. Sastra mengajariku bahagia tanpa tanda tanya!, jawabnya.
Simbok membuat karya sastra lisan sedang Eva membuat karya sastra tertulis dengan dasar yang sama, karena rasa sayang dan kepeduliannya kepada yang dicintai.

Dari fragment di atas, aku merasa kehidupan Sastra di Yogya asyik-asyik saja. Sastra selalu ramai di seputarku. Ia hadir dalam hidup sehari-hari. Sastra tidak berhenti pada sebuah karya yang sekadar dibacakan, dipublikasikan lewat media massa, menjadi buku himpunan karya bersama untuk dibanggakan, atau menjadi kegiatan komunitas untuk memupuk rasa percaya diri bersastra. Aku merasa dalam kehidupan diseputarku, sastra menjadi spirit hidup dan berdaya guna. Sastra tidak hilang dalam gegap gempita tepuk tangan di atas panggung atau meringkuk dalam tumpukan dokumentasi berdebu. Tetapi ia melebur dalam hidup, ia bisa berubah menjadi berbagai wajah: semangat, cinta, sejarah, daya kerja, doa, obat, teknologi dan ilmu pengetahuan.
Aku kira tokoh-tokoh dalam fragment cerita di atas hanya setetes kisah yang kurang mewakili, sebab masih banyak tokoh-tokoh lain di Yogya, yang belum kita kenali tapi mempunyai sikap dan makna dalam menerapkan sastra di kehidupannya untuk sekadar membangun komunikasi dan pergaulan yang bermutu. Sebuah kehidupan yang luwes, berakar, berjuang, bertujuan, dan mengasyikkan.

Selain menawarkan sastra dalam intensitas hidup keseharian,  Jogja memberikan hal yang mungkin tak dimiliki kota lain. Yogya memberikan banyak tempat ‘pertapaan’ yang berupa trotoar, kafĂ©, kos, jalan raya, pasar, sawah, sungai, mall, angkringan, alun-alun, studio musik, sanggar, kampus, halaman rumah dan lain-lain. Tempat-tempat itu yang mengajak kita sejenak berhenti untuk berkelakar, berbagi cerita, dan tak terasa melihat sekaligus merasakan banyak tema berkeliaran  di seputar kita. Tema yang meminta untuk kita renungkan, untuk kita ikuti dengan kerelaan berpikir dan berimajinasi hingga melahirkan sesuatu yang disebut karya. Maka banyak orang dari berbagai daerah datang untuk berhenti (sejenak) di kota Jogja. Tidak sekadar menikmati tapi melakoni sungguh-sungguh. Demikianlah cerita ini kusampaikan, cerita dari anak kampung pinggiran kota Yogya yang belajar sastra dari seorang tukang tambal ban (Ayahku).

Sungguh tidak adil dan terlalu arogan jika dunia sastra hanya mengenal Kirjomulyo, Nasyah Jamin, Umar Kayam, Rendra, Kunto Wijoyo, Linus Suryadi, Arifin C. Noer, Emha Ainun Najib, Imam Budi Santosa, Landung Simatupang, dan orang-orang yang kau namai sastrawan itu. Tanyakan pada Rendra, dari mana Kasidah Barzanji itu lahir. Tanyakan pada Kirjomulyo dari mana Romansa Perjalanan itu mengalir. Tanyakan pada Indrian Koto, darimana ia dapatkan planet-planet di dalam kopinya, Tanyakan pada Arifin C. Noer, darimana Mega Mega itu bisa hadir. Aku yakin mereka akan menjawab sama: dari orang-orang dan suasana yang ia jumpai di kota Jogja!

Dik Anes dan Saiful Anwar yang baik, tidakkah kau sadari sejak pertama kakimu menginjak tanah Ngayogyakarta Hadiningrat ini, sesungguhnya kau telah berada dalam pusaran sastra yang hidup sepanjang waktu. Hidup di sulur-sulur darah setiap manusianya. Itulah salah satunya mengapa Yogya menjadi daerah istimewa.


Pantomimer dan Penyair, Putra Jogja.

Tulisan ini dimuat di Koran Mingguan MINGGU PAGI yang terbit hari Jum'at, tanggal 19 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar