Posted by skAnA under Review/Liputan
| Tags: Joned Suryatmo, Teater Garasi |
Leave a Comment
Leave a Comment
Oleh: Andy Sri Wahyudi *
“Ih, sebel deh,” gerutu
seorang cowok saat berjejal antri masuk ruang pementasan. Pintu masuknya memang
terlalu sempit, jadi harus bergilir satu persatu. Apalagi jumlah penontonnya
sekitar seratusan orang? “Uh, Busyet dah!”
Malam itu adalah hari pertama
pementasan Malam Jahanam karya Motinggo Boesye, yang dimainkan oleh
kelompok Actor Studio dan disutradarai oleh Joned Suryatmoko (Sutradara
Teater Gardanalla). Pementasan diadakan di Lembaga Indonesia Perancis (LIP)
Jalan Sagan no:3 Yogyakarta. Pementasan ini merupakan program Aktor Studio:
Program belajar keaktoran yang ditujukan kepada siapa saja yang ingin
mempelajari keaktoran secara lebih dalam.
Tempat duduk yang berbentuk punden
berundak itu sudah dipenuhi penonton. Panggung hanya disinari lampu warna biru
yang diredupkan. Para penonton masih menunggu sambil asyik ngobrol dengan
berisik. Tata ruang panggung dibagi menjadi dua: level atas adalah sebuah
jalan, sedang level bawah rumah penduduk. Dua rumah berdinding bambu dan
beratapkan rumbai-rumbai mendominasi ruang.
Suara berisik para penonton
berangsur hilang, ketika terdengar suara lirih deburan ombak yang membangun
imajinasi tentang pantai. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari dalam rumah.
Suara wanita yang mengumpat jengkel. Ialah Paijah istri Mat Kontan. Seseorang
keluar dari dalam rumah dengan bentuk tubuh dan gerak aneh (orang kelainan
mental) ia berlari ketakutan sambil mohon ampun saat di kejar Paijah. Ialah
Utay, si Pandir. Rupanya pertunjukan telah dimulai.
Saya masih terpesona dengan setting
panggungnya. Adalah rumah Soleman di sebelah kanan, agak maju menghadap serong
ke kiri dan rumah Mat Kontan berada di kiri panggung lebih ke belakang,
mengarah diagonal. Jemuran pakaian berada di samping kanan rumah. Di samping
kiri rumah Soleman adalah sebuah gang. Properti yang berupa kelapa kering, jala
ikan, dan pasir memeperkuat kesan rumah-rumah itu terletak di daerah pantai.
Sebuah lentera kecil tergantung di atap emper rumah Mat Kontan, tanda hari
sudah petang. Suasana panggung seperti kehidupan nyata. Sebuah nostalgia
kehidupan pantai bagi yang sempat singgah meski sekedar melepas lelah.
![]() |
Dari kiri ke kanan: Soleman, Mat
Kontan, Utay
|
Dari kiri ke kanan: Soleman, Mat
Kontan, Utay
Tiba-tiba tawa penonton riuh memecah
ruangan, saat melihat tingkah Utay yang membawa jemuran hendak masuk rumah
lewat jendela. Sebentar kemudian Soleman keluar rumah, disusul tukang pijit
buta yang melintas dengan suara tongkatnya. Utaypun pergi setelah mengusili
tukang pijit. Tinggal Paijah dan Soleman yang diam saling curi pandang,
lalu suara kereta api melaju memecah sepi. Peristiwa dan percakapan seperti
lewat begitu saja sekedar menghantarkan ke suasana malam.
Cerita mengalir setelah kedatangan
Mat Kontan dari membeli burung. Mat Kontan membuka percakapan dengan
membanggakan burungnya dan dirinya, tapi Soleman memotongnya dengan mengungkit
masalah rumah tangga Mat Kontan. Tentang Kontan Kecil yang terus menangis
karena sakit. Mat Kontan memang terkenal sombong dan hanya menuruti
kegemarannya bermain burung, ia tak peduli dengan anak dan istrinya meski ia
sering membanggakannya, sebab kelahiran Kontan kecil telah menghapus anggapan
tentang dirinya yang mandul.
Percakapan mengaliri adegan hingga
muncul ketegangan; Burung Beo Mat Kontan hilang. Ia marah, ia tanyakan pada
Paijah istrinya, tak peduli bayinya (si Kontan kecil) terus menangis. Ternyata
Utay melihat burung Beonya mati di dekat sumur, mati digorok lehernya. Mat
Kontan semakin marah, Utay menjadi pelampiasan marahnya lalu Mat Kontan
mengajak Utay pergi ke ahli nujum.
Malam itu semakin sunyi,
rahasia-rahasia cerita mulai terungkap. Soleman berselingkuh dengan Paijah.
Mereka berdua hanyut dalam kekhawatiran yang tak terpecahkan. Ketegangan
semakin memuncak setelah Mat Kontan datang dan terbongkarnya rahasia, ternyata
Kontan kecil adalah anak Soleman. Naluri primitif kedua laki-laki itu tergugah.
Mereka hendak berkelahi demi kegagahannya sebagai laki-laki. Awalnya Mat Kontan
mengalah, tapi Utay memanas-manasi. Mat Kontan terbakar amarah, ia akan
membunuh Soleman tapi Soleman berhasil lolos. Nasib naas menimpa Utay, ia mati.
Kepalanya disepak Soleman. Paijah menjerit histeris, ia tak dapat menerima
kenyataan. Bayinya telah mati. Ia berlari, berteriak seakan menyesali
segalanya. Hanya si Tukang pijat buta terdiam di tengah malam. Malam yang
membutakan segalanya. Malam Jahanam. Suara kereta melaju kencang melindas
peristiwa dan perasaan-perasaan lalu.
Naskah Malam Jahanam yang
ditulis pada tahun 1958 dan mendapat juara pertama sayembara penulisan drama
Departemen P & K 1958 memang sudah tak asing lagi, berpuluh kali telah
dipentaskan di atas panggung seiring jaman yang terus bergerak, ilmu
pengetahuan yang semakin berkembang, dan teknologi modern yang terus melaju
(meski sering muncul pertanyaan dalam benak saya, apakah karena kurangnya
naskah drama realis di Indonesia?). Kisah klasik dan permasalahan lama
manusia masih juga hangat. Tentang relasi berpasangan, perselingkuhan, dan
perasaan purba manusia yang dikemas dalam sebuah drama panggung yang memikat
dan eksotis. Rupanya tragedi “Malam Jahanam” pun perlu kita kaji ulang, bukan
sekedar menilai baik-buruk atau benar-salah, tapi dari banyak sudut
pandang yang memungkinkan melahirkan nilai-nilai baru? Cerita Malam Jahanam
seperti tak habis-habisnya dibicarakan orang dari jaman ke jaman, tak kan lapuk
termakan waktu. Ah, siapa yang sanggup menjelaskan cinta dan air mata?
Soleman, Paijah, dan Mat Kontan
Pementasan yang digarap dalam bentuk
drama realis ini, adalah presentasi para aktor studio dari hasil belajar mereka
selama kurang lebih enam bulan. Aktor benar-benar teruji dalam mendalami
karakter setiap tokoh dan terlatih kecakapannya dalam berdialog dengan cepat,
tangkas dan sesuai dengan karakter tokoh.
Pentas telah usai. Ternyata
pementasan ini berhasil menarik penonton yang tidak hanya dari kalangan seniman
teater saja tetapi dari banyak kalangan. Ada ibu rumah tangga, pelajar, aktivis
LSM, guru, mahasiswi dan remaja gaul yang cakep-cakep.
* Andy Sri Wahyudi, reporter skAnA, aktor dan sutradara Bengkel Mime Theatre
(terbit di skAnA volume
03, Maret-Juni 2007)
Tim Kerja ‘Malam Jahanam’:
Sutradara Joned Suryatmoko Pemain Mat Kontan (Darmanto
Setiawan), Soleman (Guntur Yudho Saputro), Paidjah (Dien Rukudzi), Utay (Alex
Suhendra), Tukang Pijit (Siswadi)
Komentar Penonton:
“Paling kusuka tokoh Utay-nya,
karakternya bagus banget. Selalu kutunggu kemunculannya.” (Nonik 26 tahun, Guru Wisma Bahasa)
“Kalau bagus sudah biasa, siapa dulu
yang menggarapnya? Saya suka bentuk realis apalagi sutradaranya muda meski
sudah tujuh kali saya melihat partunjukan teater yang menggarap Malam Jahanam.” (Hasta Indriyana, 30 tahun. Komunitas Tanda Baca)
“Keseluruhan pertunjukan lancar dan
terselamatkan, tapi beberapa actor masih terbata-bata saat memasuki
perannya.harus lebih digali pencarian karakternya. Selamat buat Alex untuk
peran Utai-nya.” (Catur Stanis, 30 Tahun lebih)
“Apik. Utai-nya sueger banget dan
membuatku cukup betah, asyik. Cuma kalau dengan gaya realis model Joned gak pas
dengan kurun waktunya.” (Ria,
25 Tahun, kerja di Papermoon)
“Lumayan dan menarik.” (Orangnya cantik tapi malu-malu nyebutin
namanya-Mahasisiwi Fak
Fisipol Atmajaya, 22 Tahun)
“Kurang renyah masih seperti hari
kemarin, tapi aku suka tokoh Utai-nya Cuma artikulasinya kurang ok. Kalau yang
cewek mainnya tanggung banget, seharusnya di tangan Joned (sang Sutradara) bisa
lebih menarik.” (Teguh, 28 Tahun, Mahasiswa
Sastra Indonesia Sanata Darma)
“Secara realis sangat terpahami dan
menghibur.” (Ajis, 24 Tahun, Komunitas Film
03)
“Apik dan sangat realis.” (Adin, 21 Tahun dari Teater EmKa UNDIP Semarang)
“Cukup menghibur, penyutradaraannya
bagus. Ehm, ceweknya lemah dalam akting.” (Soni
Wibisono, 26 Tahun, pengkelana dari Semarang)
“Duh, komentar apa ya? Eh, Aku suka
Utay-nya titik!” (Ari “Inyong” Dwianto, 25 Tahun,
Sutradara Bengkel Pantomim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar