Posted by skAnA under Pengalaman
| Tags: Festival Teater Kampung, Garputala, Minggiran |
Oleh: Andy SW *
Surat tersesat
Semula berawal dari sebuah surat
yang berminggu-minggu tersesat salah alamat. Pertama saya akan bercerita
tentang perjalanan surat tersesat:
Sepucuk surat itu saya terima di
ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia) pada minggu pertama bulan
Agustus 2005 dari Dosen Seni Rupa Institut Seni Indonesia; Bapak Andang. Surat
itu tersesat di rumahnya. Entah siapa pengirimnya? Saya sendiri baru tahu kalau
seharusnya menerima surat tersebut setelah mendapat kabar dari seorang teman.
Saya dibawanya menemui pegawai Taman Budaya Yogyakarta, dan diberitahu kalau
surat itu tersesat di rumah Pak Andang. Malam harinya saya diajak janjian di
ASDRAFI untuk mengambil surat itu. Maka sampailah surat itu ke tangan saya.
Ternyata surat tersebut dari Camat Mantrijeron Yogyakarta. Isinya: sebuah undangan
untuk mengikuti Festival Teater Kampung se-kotamadya Yogyakarta. Lalu kenapa
surat tersebut sampai tersesat? Kenapa surat yang dialamatkan ke sanggar itu
bisa sampai di tangan Pak Dosen? Begini ceritanya: Pada bulan april 2005
sanggar saya, Garputala, pernah mengadakan acara pentas drama, peluncuran
bulletin, pameran seni rupa anak-anak kampung dan keroncong di kecamatan selama
tiga hari. Pak Camat mendengar nama sanggar saya tapi tak tahu alamat
persisnya. Maka begitu ada undangan untuk mengikuti festival tersebut, di
amplop ia hanya menulis nama Sanggar Garputala saja. Lalu beliau menyuruh
bawahannya untuk mencari alamat sanggar. Rupanya sang Bawahan sama tak tahunya.
Mungkin karena frustasi lalu ia asal menyampaikan surat tersebut ke tangan seseorang
yang menurutnya berkaitan dengan kesenian, ya Pak Dosen tadi tentu saja. Ya…
Begitulah ceritanya. Sungguh ribet dan ya ampun!
Tapi biar bagaimanapun surat itu
telah saya terima, maka saya berhak membaca dan mempelajari seluruh isinya.
Surat saya baca sambil tiduran. Setelah membaca persyaratan peserta di sana,
jelas-jelas sanggarku tak memenuhi syarat, sebab salah satu syaratnya adalah
festival harus diikuti oleh warga kecamatan setempat sedang anggota sanggar
semuanya dari luar kecamatan, kecuali aku.
Surat itu memang menggelisahkanku.
Aku percaya ini akan menjadi sesuatu yang seru, keren, membingungkan sekaligus
menjadi kenangan seumur hidup. Kulipat surat menjadi pesawat, kuterbangkan dan
kutinggal tidur.
Dari pintu ke pintu
Petang hari 11 Agustus 2005, kuketuk
pintu Pak Camat. Ia terlihat kikuk sedangkan aku malah bingung sendiri. Segera
kujelaskan tentang maksud dan tujuan surat itu. Kuterangkan bahwa Sanggarku tak
memenuhi syarat. Bahwa Festival teater itu harus diikuti warga asli kecamatan. Ia
hanya diam manggut-manggut seolah menyerahkan semuanya kepadaku. Lalu kukatakan
kepadanya, bagaimana kalau bapak dan warga ikut membentuk sebuah kelompok
teater untuk mewakili kecamatan? Pak Camat agak bingung menangkap usulku.
Ya, aku tahu dia malu menanyakan bagaimana cara membentuknya?
Ok. Aku menjelaskannya: Bapak
tinggal membuat undangan kosong dibubuhi tanda tangan dan cap kecamatan, nanti
biar saya yang mengisi nama dan menyebarkannya.
Pak Camat sepakat dengan usulku.
Pagi harinya kuambil lima belas
undangan kosong. Aku jadi bingung sendiri mengisi siapa yang musti kuundang?
Aku baru sadar kalau orang-orang itu baru ada dalam imajinasiku saja bahkan
beberapa ada yang sama sekali belum kukenali namanya. Membingungkan, kan? Baik.
Aku menentukan waktu dan tempatnya, kutulis tanggal 15 Agustus 2005. Waktuku
hanya dua hari membagikan undangan. Lalu kudatangi rumah Bapak Widodo
untuk minta ijin menggunakan tempat untuk pertemuan. Pak Wid,
begitu aku memanggilnya, adalah bekas pengurus kampung yang legendaris. Saat
Pak Wid menanyakan alasannya jawabanku singkat, hanya ingin saja dan dia agak
tidak percaya kalau Pak Camat akan datang. (Alasanku yang sebenarnya Bpk dan Bu
Wid tipe orang yang dapat menerima bermacam orang dan masalah konsumsi pasti
beres) Setelah Pak Wid mengijinkannya, baru kutulis nama orang-orang yang akan
diundang. Semula aku berpikir, bahwa kegiatan ini membutuhkan orang yang
tertarik dengan seni, tapi pikiran itu segera hilang karena aku tidak tahu
orang-orang dalam imajinasiku itu suka seni atau tidak.
Aku memilih orang-orang yang
kuanggap asyik dan cuek. Sebagian aku mengenalinya, sebagian lain hanya sekadar
tahu dan beberapa—bahkan—sama sekali belum kutahu namanya—aku hanya sering
melihatnya lewat di depan rumahku. Satu persatu kudatangi rumahnya dan
kujelaskan maksud undangan tersebut. Aku merasa seperti salesmen kosmetik, tapi
aku senang karena para undangan menyambutnya dengan baik dan mau hadir dalam
pembentukan teater.
Setelah selesai, kuhibur diriku
dengan membantah atau mengatakan bahwa diriku bukan salesmen kosmetik tapi
kubayangkan diriku seperti Pangeran Kecil dalam novel Antoine de Saint –
exupery yang bertemu bermacam orang dari planet ke planet. Tidak
keterlaluan, kan?
Pertemuan demi pertemuan
Pertemuan pertama terjadi pada
tanggal 15 Agustus 2005 di rumah Bapak Widodo. Hampir semuanya hadir
termasuk Pak Camat dan Pak RW. Tidak semua yang hadir berasal dari satu
kampung tapi ada empat kampung (Mijen, Kradenan, Dukuh dan Suryowijayan) yang
berada di wilayah Kecamatan Mantrijeron. Acara dibuka oleh Pak Camat dengan
memberi ulasan maksud dan tujuan dibentuknya Teater. Ada yang membuatku agak
kaget saat Pak Camat bilang: dari kecamatan hanya bisa membantu dana
pendaftaran sebesar seratus ribu rupiah. Kukira kecamatan akan membiayai
sepenuhnya. Setelah semuanya paham Pak Camat pamitan untuk menghadiri acara
yang lain, disusul Pak RW. Kemudian kami saling mengenalkan diri satu persatu
agar lebih akrab. Ternyata ada yang mahasiswa, pedagang, tukang, penganggur,
pengrajin, pelajar, guru, preman, seniman dan yang paling keren mantan pejuang
45 (sayang tak diakui negara).
Hal pertama yang dibahas soal nama
teater. Semuanya bingung. Lalu aku bertanya kepada Mbah Temu (mantan pejuang
45), dia langsung menjawab “Kalau saya ya, Temu!” Serempak semua tertawa karena
mengira Mbah Temu salah tangkap dengan pertanyaanku—aku tak sedang menanyakan
namanya—dan ternyata perkiraan itu salah. Ia menjelaskan tentang falsafah nama
Temu, bahwa teater ini ada karena pertemuan. Maka ia mengambil kata dasarnya:
Temu.
Oke. Nama sudah ketemu. Selanjutnya
kami membentuk Tim Produksi dan Tim Artistik lengkap dengan cara kerjanya
masing-masing. Pertemuan pertama selesai pada tahap pembentukan Tim. Pipit
Ambar Mirah (Mahasiswa Pertanian) terpilih jadi Pimpro. Aku terpilih menjadi
Sutradara. Sudah kuduga pasti semua mengira aku berpengalaman dalam teater,
padahal seumur hidup baru kali ini aku akan menjadi Sutradara. Pimpinan
Produksi kebingungan mencari modal awal, karena setelah mendaftar dan mengambil
naskah ternyata dana sebesar Rp 250.000,00 dari panitia belum turun. Kami
menemui Pak Camat untuk mengusulkan mencari dana tambahan lewat proposal resmi
bercap kecamatan dan meminjam uang dari kecamatan untuk modal awal sebesar Rp
250.000,00. Semalaman kami membuat proposal dan pagi harinya langsung
diperbanyak menjadi 25 proposal resmi cap kecamatan. Malam harinya kami rapat
mencatati calon donatur dan membagi tugas penyebaran proposal di bawah
koordinasi seksi usaha dana, Bapak Jarot, yang kebetulan sudah berpengalaman
kerja mencari dana lewat proposal. Sementara tim produksi bekerja, Tim Artistik
menentukan jadwal latihan dan merancang gambaran setting dalam naskah.
Kami mengambil naskah “Megatruh” Karya Noor WA.
![]() | |
Doc. Teater Temmu. Foto by Ponijo |
Pada tahap awal latihan membaca
naskah aku sangat terkejut. Jumlah tokoh tak sebanyak orang yang ingin jadi
aktor dan dialog-dialognya panjang hingga sulit dihafal. Semuanya mengeluh.
Jadi saya harus mengadaptasi naskahnya dengan menyingkat dialog, menambahkan
figuran dan menyesuaikan kalimat sesuai kemampuan pemain tanpa mengubah isi
naskahnya. Lembar demi lembar naskah dibagikan sampai semua selesai. Oya, saya
menambahkan kalimat dibawah judul “Kisah Orang-Orang Tangguh” sebagai
pertegasan karakter pemain. Proses penggarapan selama sebulan lima hari. Dua
puluh delapan kali latihan. Sebagai Sutradara saya membiarkan mereka berakting
sebebas-bebasnya dan memberikan gambaran karakter juga keadaannya. Semuanya
saya kembalikan pada keadaan hidup yang membentuk setiap pemain karena itulah
bekal kekayaan yang dapat disumbangkan dalam bermain drama. Kadang saya menjadi
galak kalau ada yang sulit diterangkan dan memberi contoh aktingnya. Kadang
juga pemain menyutradarai diri sendiri. Seru, kan? Pada minggu ketiga pemain
sudah dapat menyesuaikan panggung tinggal arahan teknis dan penyelarasan dengan
musik. Para pemusiknya dari grup musik mushola.
Sementara itu kerja. Tim Produksi
tak ada masalah, hampir semua donatur yang sebagian besar para pengusaha di
wilayah Mantrijeron memberikan sumbangan berupa uang dan barang dagangan, yang
agak aneh ada yang menyumbang payung, Jam dinding dan jajanan anak-anak.
Alhamdullillah kerja produksi dan
artistik berjalan seiring. Poster, booklet, konsumsi, dokumentasi dan kebutuhan
artistik dapat terpenuhi. Pertemuan demi pertemuan kami lewati, banyak suasana
dan peristiwa baru kami alami bersama dan semakin saling kenal.
Panggung menjadi ajang Tamasya
Tanggal 20 Oktober 2005 di Kecamatan
Mantrijeron, pementasan dilaksanakan. Penontonya lumayan banyak, dari balita
sampai orang tua. Yang paling menarik ada beberapa pedagang rela menutup
warungnya demi melihat pertunjukan. Kami semua gembira saat pentas di panggung,
meski ada beberapa kesalahan. Ternyata yang paling ribet adalah tukang fotonya
karena ada beberapa pemain minta dipotret saat adegan tertentu. Panggung
menjadi ajang tamasya saat pementasan usai, banyak pemain yang berfoto dengan
istri, saudara, dan tetangga dengan background setting panggung. Keren kan?
Sebenarnya terjadi banyak pementasan, antara penonton yang asyik berpolah
tingkah dan entah bicara apa dengan tetangga sebelahnya dan pemain di
panggung. Sungguh tak kan mungkin terlupa seumur hidup. Aku jadi merasa
aneh jika harus perpijak pada penilaian juri dan memaksa target kwalitas
pementasan, karena ada banyak sudut pandang yang harus dimengerti saat teater
berada dalam masyarakat kampung. Begitulah cerita kelahiran teater kampung.
Setahun Lika-Liku Perjalanan.
Tak perlu saya sampaikan bahwa kami
mendapat berapa tropy karena yang ikut hanya empat kecamatan se-kota madya
Yogyakarta. Yang jelas juara umumnya bukan kelompok kami tapi kami tetap
mengadakan syukuran bersama dengan mengadakan tumpengan dan bancakan
yang diikuti warga sekitar termasuk Pak Camat.
![]() |
Doc Teater Temmu |
Pertama saya mengira setelah
pementasan usai kelompok ini akan menyudahinya keberadaannya. Semangat festival
biasanya seperti itu, kan? Ternyata teman-teman masih punya semangat untuk
meneruskan perjalanan dan mengadakan pementasan lagi. Wah, saya jadi pusing
sendiri dan gelisah lagi. Saya sendiri tidak tahu apa yang menyemangati?
Pada bulan Oktober dan November kami
mengisinya dengan sekadar berkumpul, latihan drama-dramanan, dan ada
teman, mahasiswa jurusan bahasa Inggris yang iseng mengadakan kelas bahasa
Inggris. Oya, dana kami tinggal 100.000,00 dan belum mengembalikan hutang. Saya
katakan pada Pak Camat apa adanya, kami akan mengembalikan kalau produksi sudah
jalan kembali. Pak Camat setuju. Tapi anehnya hampir selama dua bulan setelah
kesepakatan itu, bawahannya sering datang ke sanggar menagih hutang, sampai
pacar saya marah-marah terus tak habis piker, saya bisa punya hutang dengan
kecamatan. Saya merasa lega setelah Pak camat sendiri mengabari kalau kami akan
dapat sumbangan dari walikota untuk kesenian sebesar 1 juta rupiah. Langsung
saya ambil untuk melunasi dan sisanya untuk modal produksi.
Bulan Desember 2005 saya membuat
naskah drama bahasa jawa berjudul Lelakon (urip dilakoni kanthi waras lan
trengginas). Tokoh-tokoh dalam naskah disesuaikan dengan minat anggota
yang masih berkeinginan main di panggung. Proses kali ini memang dirancang agak
panjang, selama enam bulan, biar lebih santai mencari dana dan mantap dalam
penggarapannya. Tim kerja tidak berubah. Rencananya akan pentas keliling.
Seminggu sekali kami latihan.
Bulan Januari 2006 porsi latihan
dinaikkan menjadi dua kali lipat tapi tidak penuh karena banyak yang punya
acara. Sementara tim produksi mulai bekerja dengan sistem kerja masih sama.
Saya merasa kali ini akan banyak menemui kesulitan. Pada minggu ketiga proposal
sudah mulai disebar. Kami masih bersemangat dalam menjalani proses. Bulan
Februari kami merasa semangat mulai mengendur karena beberapa tokoh berguguran
di tengah jalan, meski mereka masih mau membantu di belakang layar. Alasan
kemunduran mereka kebanyakan karena masalah sekolah dan jam kerja. Otomatis
naskah juga berubah. Jadwal latihan masih dua kali seminggu dan tetap saja
jarang bisa lengkap. Produksi juga mengalami hambatan karena hanya beberapa
pengusaha yang mau memberikan sumbangan. Bulan Maret mulai muncul semangat baru
setelah berembug bersama untuk menyikapi jadwal latihan dan penggunaan dana.
Latihan ditambah menjadi tiga kali seminggu dengan penggarapan peradegan. Kami
saling membuat kesepakatan dengan lawan main.
Rupanya semangat itu tidak tahan
lama. Karena kalau pemain tidak datang semua suasana jadi sepi. Pada bulan ini
kami mendapat kabar dari Taman Budaya bahwa ada program pentas seni drama
tradisi dengan dana 3 juta untuk setiap grup. Kami mendaftar karena kebetulan
mengangkat naskah berbahasa Jawa. Angin segar mulai bertiup.
Bulan April (ada yang
menyebalkan! Proposal berhenti) kami kembali bersemangat latihan dengan
meneruskan garapan yang sudah mulai tertata dengan musik Tapi sayang ketika
pihak dari Taman Budaya meninjau latihan, kami tak diperbolehkan menggunakan peralatan
modern (gitar listrik) padahal pemusik sudah menemukan irama yang pas. Yah,
terpaksa kami menurut. Sedang Tim produksi mulai tak terkoordinasi kerjanya dan
alokasi dana menjadi boros untuk konsumsi dan biaya operasional. Bulan Mei kami
mulai merapatkan barisan bekerja secara kompak, karena jatah main tanggal 24
Juni 2006. Kami juga sudah menyampaikan surat izin di dua tempat untuk pentas.
Opps! baru semangat-semangatnya latihan. Separoh adegan sudah jadi. Eh, ada
gempa 27 Mei. Otomatis kegiatan dihentikan kebetulan Sanggar juga retak parah
sekali.
Total tak ada kegiatan.
Masing-masing orang sibuk dengan kata trauma. Kami segera mengadakan rapat
darurat, dan memutuskan menunggu keadaan menjadi normal. Dua setengah bulan
sudah kami dibelenggu perasaan was-was dan mencemaskan. Rasanya sangat berat
sekali untuk mengembalikan semangat, sudah terlalu lama kegiatan dihentikan.
Pelan-pelan kami mulai membangun komunikasi lewat sms dan pertemuan
sehari-hari. Pada minggu ketiga bulan Agustus kami bertemu kembali untuk
merancang pentas dan mengobarkan semangat. Rupanya dana kami semakin menipis
untuk berbagai keperluan operasional, konsumsi dan kebutuhan artistik.
Beruntung proposal yang diajukan ke gubernur tembus. Kami menerima bersih Rp
450.000,00 lalu untuk membuat panggung. Total dana tinggal 400.000,00. Selama
dua minggu kami benar-benar latihan intensif dan pentas di kecamatan lagi. Kami
merasa lega meskipun hanya mengulang kejadian seperti satu tahun yang lalu.
Perasaan lega. Lebih bebas berekspresi. Penonton lebih banyak. Ada semangat
yang lebih hebat setelah pentas.
Keringat itu menjadi kesadaran.
Yogyakarta, September 2006
* Andy Sri Wahyudi, reporter skAnA, aktor dan sutradara Bengkel Mime Theatre
(terbit di skAnA volume
02, November 2006 – Maret 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar