Monolog
Demam dalam 50 cm3
Posted by skAnA under Review/Liputan
| Tags: Erythrina Baskoro, Teater Garasi |
Leave a Comment
Leave a Comment
Oleh: Andy Sri Wahyudi
Perempuan itu terlihat lugu dan innocent:
berkuncir dua, berdaster kembang-kembang, telanjang kaki, dan wajahnya, ai..aih…saya
sendiri pasti akan selalu sayang dan cinta jika ia menjadi istriku. Manis dan
polos nada bicaranya. Akan tetapi siapa sangka perempuan itu adalah pelaku
pembunuhan dua anaknya dengan membenamkan mereka dalam bak mandi? Duh…ada
apa di balik itu semua?
![]() | |
adegan Demam dalam 50 cm3. | Foto: Agung Kurniawan |
Erythrina Baskoro memerankan tokoh
perempuan yang namanya disamarkan sebagai Pipit, sekaligus menjadi penulis
naskah monolog yang berjudul Demam dalam 50 cm3 itu.
Monolog itu dipentaskan pada tanggal 21–22 Januari di Studio Teater
Garasi, dua kali dalam semalam. Dalam pementasan dengan kapasitas
penonton 40 orang tersebut, Ery bermain dalam ruang yang simpel dan
bersih yang didesain oleh Andy Seno Aji. Ruangan itu berbentuk kotak tiga
dinding berwarna putih berukuran 3 X 4 meter, dengan properti sebuah kursi. Ada
sebingkai cermin kecil menempel di dinding belakang. Ery tampak seperti boneka
yang berada dalam etalase mainan anak-anak.
Selama 30 menit pertunjukan
berlangsung, Ery mencoba bermain dengan rileks di setiap pergantian perannya
-sebagai Pipit, Psikolog, suami Pipit dan dirinya sendiri sebagai pencerita..
Keluar masuk karakter tokoh dalam dirinya mengalir begitu saja, dalam artian
tidak terjadi perubahan secara drastis namun cukup menggambarkan karakter yang
berbeda. Ery hanya memainkan gestur dan intonasi yang berbeda. Karakter
tokoh-tokoh itu timbul tenggelam dalam diri Ery malam itu, dan menggulirkan
alur cerita yang meminta untuk didengarkan.
Pentas monolog yang disutradarai
Yudi Ahmad Tajudin tersebut tidak banyak mengeksplorasi ruang, namun memberikan
kesan ganjil. Model penyutradaraan itu menurut saya memiliki daya ganggu
terhadap nalar umum permainan panggung yang biasanya seperti mengharuskan aktor
untuk memanfaatkan seluruh ruang untuk bermain. Sementara, Ery hanya bermain di
sisi kiri panggung, bahkan properti kursi hanya sekali mendapat sentuhan dan
hanya melakukan gerakan-kerakan kecil: jari telunjuk yang menyentuh dinding
seperti tengah menggambar sesuatu. Hingga akhir adegan ia menghabiskan
aktingnya di sisi kiri panggung. Meski demikian dinamika permainan tetap
tergarap seirama dengan akting dan karakter setiap tokoh. Bagi saya, tidak
begitu istimewa tapi menggemaskan!
Narasi dari Pencerita
Mulanya Ery membaca naskah klasik Medea
karya Euripedes, pengarang zaman Yunani kuno yang hidup di kisaran abad 5 SM.
Naskah Medea bercerita perihal sosok perempuan yang membunuh
anaknya lantaran disingkirkan oleh suami dan lingkungannya. Ery merasa ada
kesejajaran antara naskah tersebut dengan kasus yang sama (pembunuhan anak oleh
ibunya sendiri) di beberapa kota di Indonesia. Kemudian Ery mulai menelusuri
beritanya di koran-koran dan internet, dan muncul pertanyaan: alasan apa yang
menyebabkan seorang ibu sebagai sosok pelindung, pemelihara, dan penuh kasih,
tega membunuh darah dagingnya?
Berawal dari kegelisahan atas
merebaknya kasus pembunuhan anak oleh ibunya tersebut, Ery kemudian melakukan
observasi menemui psikolog dan pelaku pembunuhan anak secara langsung. Ery
mengkhususkan berangkat dari kasus “Pipit” asal Pekalongan. Dalam
penelusurannya ditemukan sebuah kenyataan bahwa pelaku mengalami gangguan jiwa
akibat mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sebuah tekanan yang tak lagi
dapat ditanggung sebagai seorang istri. Akan tetapi, tak sedikit orang-orang di
sekitar Pipit menuduhnya sebagai pembunuh anak yang layak dihukum. Tak jauh
berbeda dari kisah Medea di jaman Yunani Kuno: disingkirkan oleh suami
dan lingkungannya. Sering Pipit menangis tiba-tba ketika mengingat anaknya yang
mati di tangannya sendiri. Dari peristiwa itu Ery mulai menyusun
peristiwa-peristiwa yang kemudian ia hadirkan dan ceritakan sendiri dalam
sebuah peristiwa pementasan di atas panggung.
Dalam teks itu Ery menemukan semacam
ambiguitas antara seseorang yang disebut sebagai korban atau pelaku.
* Andy Sri Wahyudi, reporter
skAnA, anggota Bengkel Mime Theatre
(terbit di skAnA volume
12, Mei-September 2010)
*****
Kerabat Kerja
Penulis dan Aktor: Erythrina Baskoro
/ Penata Musik: Risky Summerbee / Penata Cahaya: Ign. Sugiarto / Penata Ruang:
Andy Seno Aji dan YAT / Sutradara: Yudi Ahmad Tajudin / Kru Panggung: Adi
Wisanggeni, Ega Kuspriyanto, Samsul Islam / Manajer Produksi: Reni Karnila Sari
dan Theodorus Cristanto
Komentar penonton:
Pentasnya Ery memang keren… (Ikun
SK, Penulis)
Konsep panggung dan pertunjukan
simpel, fresh, kuat. Pementasannya sendiri lumayan intense, cukup
menantang si aktor, karena penonton seperti diajak untuk mencermati setiap
detail dan adegan. Suka beberapa pilihan karakter yang dimainkan, meski ada
satu dua adegan yang terasa agak panjang atau mungkin masih bisa dieksplorasi.
Dari isu dan ceritanya, ibarat keripik, gaungnya cukup crispy ya,
kayaknya banyak yang demen J. Sorry, ini komentar sembarangan dan subjektif,
apalagi yang saya nikmati adalah pentas presentasi awal, bukan pentas
‘finalnya’. Selamat ya, sukses! Kapan lagi? (Anihimawati, aktivis jaringan
perempuan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar