Minggu, 17 April 2011

tiga pucuk puisi


Tidak Sengaja  di Negeri Cinta
Buat Sang yang sedang masuk angin

Perasaan itu begitu nakal, ia tak dapat kompromi dengan pikiran dan lingkungan, Bandelnya minta ampyun. Aku kwalahan, juga kamu, juga leluhur kita. Ia berjalan seperti Arloji tanpa angka-angka hingga kita sama-sama tua.
Waktu itu kita berlari  lincah di sepanjang pematang yang ditumbuhi awan dan pohon-pohon bintang. Seluruh tubuhmu berwarna merah marun dan tubuhku biru telur asin, tak ada masyarakat dan agama yang mencintai kita, kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
Pegang tanganku dan bawalah aku kepada harapan untuk menggambar relief dan membangun Candi-candi. Aku kan membuat menu masakan dari drama dan pantomim, dari daya hidup dan biografi langkah kaki. Ikutilah desah angin yang membawa seribu lonceng sebesar telinga dan gemrincing gerimis. Dengarlah….sejarah luka menyerah tanpa sarat di dada kita.
Mari berdua duduk di beranda membuat undang-undang dan pasal-pasal dari biji-biji pertemuan. Melangkahlah demi mimpi anak – anak dan pagi yang bergegas mencari berita untuk hari ini.
 Inilah sebuah Negeri yang mengajari kita bahagia tanpa tanda tanya.

Yogyakarta 25 Desember 2010




Selamat pagi Oktober
Buat gadis pemalu

Apakah kamu masih suka jajan pasar dan ngemil di depan pintu rumah? Apakah kamu setia dengan kuncir dua ekor kuda di rambutmu? Aku datang padamu untuk bertanya: apakah kamu masih  salah tingkah denganku?
Selamat pagi Oktober, baumu masih seperti hujan kemarau, lucu dan rindu. Eh, dimana letak kuburan cinta? Kamu bisa mengantarku ziarah ke sana (aku tahu kuburan itu ada di matamu). Aku takk kan menaburinya bunga atau membakar dupa, tapi ingin ku menaburi benih padi juga ramainya prasangka.
Ada sejarah yang berjalan diseputar kita. Ia berupa gelembung udara dari cita-cita. Mari pergi ke warung sate denganku, nanti kita kan menemui kekasih oktober yang sembunyi di stiap potongan daging. Ssstt…aku nggak jadi cinta padamu, lantaran seluruh pasar membenciku. Aku takut tak bisa memberimu makan. Selamat siang, kotamu panas. Sepanas hujan yang bertengkar.
Aduh…kaus kakiku, jangan bersedih...

Bandung, 9 Oktober 2010




KITA ADALAH GERAK
Buat Mak Epiest, Wanggi dan Mumu

Sore itu tubuhku berlari memutari kota dan alun-alun
Merasakan panas dan hujan dengan kepalan tangan
Dulu ia sempat membenturkan diri ke tembok kamar mandi
Ketika patah hati ke seratus kali. Tapi, tidakkah kau lihat?
Ia masih gagah dan cantik, seperti matahari dan mimpi.

Lalu pertemuan.

Kita adalah gerak yang melingkari musim dan sumpah serapah
Diam dalam bara di sesela tragedi dan komedi
Untuk apa kita bicara kalau kata sudah diracuni puisi?
Membunuh takut itu menyenangkan, seperti makan kue donat
lengkap dengan kopi dan pagi hari.

Lantas dimana kita menaruh gagasan dan ingatan?
Aku lupa. Tapi ibu pernah menunjuk arah
Di sana, tempat kelak kau kan lihat langit seperti mawar
Lalu  kita berputar merentangkan tangan
Tertawa merasakan pusaran dan perubahan
yang datang menghujani tubuh dan gerak kita.
abadi. 

Bandung, 8 Oktober 2010

3 komentar:

  1. andiewwww epiest kaliiii bukan episet :((

    BalasHapus
  2. tapiiii tengkiuwwwww buat puisinya.

    ada baiknya kita simpan ingatan di udara saja..

    BalasHapus
  3. hahahahaa...

    baik..baik ku ganti...aku kurang teliti mak...tapi udara kita ditaruh dimana ya agar tetap segar dan abadi?

    BalasHapus