Jumat, 15 April 2011

Wayang Bocah, Padepokan Seni Sarotama, Solo

Gathutkaca Jedhi: Sebuah Kolaborasi Wayang
Oleh: Andy Sri Wahyudi, Pegiat seni Pertunjukan, tinggal di Jogja

Sabtu, 18 September 2010.
Irama klenengan gamelan mengalun lembut nan syahdu, suaranya mengundang para warga untuk menghadiri pertunjukan Wayang Bocah dari Padepokan Seni Sarotama Solo, Jawa Tengah. Warga berbondong menuju tempat pertunjukan di Sekolah Perguruan Taman Siswa, Nanggulan, Kulon Progo,Yogyakarta. Panggung pementasan terletak di halaman tengah sekolah. Panggung  berukuran 12 X 10 meter itu berisi perangkat gamelan yang ditata rapi di sebelah kiri panggung, lengkap dengan para penabuh gamelan (Wiyaga). Dua kelir dari kain putih  bertelisir hitam ditata berdampingan, menjorok ke belakang, sehingga menyisakan ruang kosong di bagian depan area panggung. Kiri kanan kelir tertata tokoh-tokoh wayang kulit. Sementara, di depan panggung setinggi satu meter itu berjajar 300 kursi penonton yang berjarak lima meter dari panggung.

Pentas Pembuka Acara
Acara dimulai tepat pukul 20:00 WIB, dibuka dengan tari Jaranan oleh anak-anak dari Padepokan Seni Sarotama, disusul Panembrama (paduan suara berbahasa Jawa) dan Tari Gambyong oleh Ibu-ibu warga Nanggulan. Tiga acara pembuka yang memakan waktu 30 menit tersebut memancing penonton yang masih berada di luar area untuk masuk ke dalam lokasi pementasan. Tiga ratusan penonton memadati area pementasan, ada yang duduk di kursi dan berdiri di samping depan panggung. Acara pementasan Wayang Bocah diawali oleh dua dalang cilik  (Naufal Fayyadh Fahrezy, usia 5 tahun dari Wonogiri dan Vicky Wahyu Hermawan Ramadhan usia 7 tahun dari Surakarta). Naufal menempati kelir sebalah kiri, sedang Vicky di kelir sebelah kanan, keduanya saling begantian membuka dengan tembang. Suara tembang kedua dalang cilik itu mengundang gelak tawa penonton lantaran pengucapannya yang masih cedal. 

Kedua dalang membawakan cerita Cupu Manik Astagina. Mengisahkan Raden Guwarsa dan Guwarsi putra Gotama, seorang pertapa dari Grastino. Dua bersaudara tersebut berebut Cupu Manik milik kakaknya, Dewi Anjani. Atas saran ki Semar, Cupu dibuang jauh ke hutan dan berubah menjadi sendang “Sendang Sumala” (air yang berbisa). Akan tetapi Raden Guwarsa dan Guwarsi tak menghiraukan, keduanya memburu Cupu masuk ke dalam sendang. Keduanya berubah menjadi kera dan saling berkelahi. Dalam pementasan wayang dua kelir, lampu menyala secara bergantian menerangi kelir sesuai Dalang yang sedang memainkan wayang.
Permainan kedua dalang cilik tersebut sangat menarik, tampak ketika adegan pertarungan dua ekor kera jelmaan Guwarsa dan Guwarsi. Seolah dua ekor kera itu berloncatan dari kelir satu ke kelir dua. Wayang dimainkan oleh dua dalang secara berkesinambungan sesuai alur cerita masih. Pentas berdurasi satu jam itu sangat menghibur penonton. Meski dalam memainkan karakter gerak dan suara setiap tokoh wayang kadang masih terlihat sama, tetapi sangat terasa upaya semangat belajar dan potensi Naufal dan Vicky dalam mendalang.

Pentas Kolaborasi yang Dinanti
Waktu menunjukan pukul 21:30 WIB, udara malam terasa dingin namun penonton makin bertambah. Anak-anak belum juga mengantuk, masih ada yang berlarian di depan panggung dan bermanjaan dipelukan ayah-ibunya. Para muda remaja berdua-duan dengan pasangannya, duduk lesehan di lantai emper sekolah seputaran panggung. Orang-orang tua menghangatkan tubuhnya dengan jaket sambil sandaran di kursi. Semua menantikan acara inti: Pementasan Wayang Bocah Gathutkaca Jedhi .
***
Suara tembang pembuka sudah dilantunkan oleh para sinden yang masih remaja dan berkostum hitam. Kedua dalang cilik telah beraksi di depan kelir memainkan gunungan untuk mengawali cerita. Canggih Tri Atmojo Krisno (10 tahun) dari Karanganyar bersila di depan kelir sebelah kiri. Anggit Laras Prabowo (10 tahun) dari Karanganyar mendalang di kelir sebelah kanan. Anggit dengan kreatifnya memainkan gunungan dengan efek cahaya lampu depan kelir, sehingga dapat mencipta kesan silhuet bayangan gunungan yang berukuran besar.

Awalnya adalah peristiwa lahirnya jabang bayi, putra Werkudara dan Arimbi. Bayi itu sangatlah ampuh, tak ada senjata yang dapat memotong tali pusarnya. Maka Arjuna selaku pamannya bertapa memohon pada Dewa untuk diberi senjata yang dapat memotong tali pusar. Dewapun memberikan senjata Kunta, namun disaat bersamaan Karna yang berwajah mirip Arjuna juga tengah bertapa. Dewa keliru memberikan senjata itu pada Karna, maka terjadilah rebutan senjata. Akhirnya Arjuna mendapatkan rangka sedang Karna mendapatkan isinya. Rangka itulah yang dapat memotong tali pusar sang Jabang Bayi. Dalam adegan ini wayang Karna dan Arjuna dimainkan oleh kedua dalang secara berkesinambungan di kelir masing-masing. Karakter suara kedua dalang sesuai dengan karakter tokoh yang dimainkan, begitu juga dengan karakter gerak wayang, sangat sesuai. Sabetan Canggih dan Anggit terlihat terampil dan mulai menarik perhatian penonton yang makin bertambah banyak, ada sekitar 500 penonton.

Sementara di sebuah kerajaan para  Raksasa, Gilingwesi, dibawah kekuasaan Prabu Kala Pracona tengah merencanakan menyerang kahyangan, kerajaan para dewa. Adegan ini sangat memukau para penonton yang langsung merapat melihat lebih dekat. Anggit memainkan tarian para Raksasa dengan teknik memutar-mutar dan melempar wayang lalu ditangkap lagi dengan ke terampil. Sementara Canggih lebih kalem namun luwes dalam memainkan wayangnya. Tepuk tangan dari penonton untuk kedua dalang cilik itu sangat riuh meramaikan suasana pementasan.  

Penonton juga dikejutkan ketika muncul adegan wayang orang: dua Buta Cakil menari-nari di atas panggung kemudian disusul para raksasa berambut gimbal panjang, Patih Sekipu (Rafif Pujasmara) dan Prabu Kala Pracana (Gagad Ridwan Wicaksono). Tarian Cakil dan Raksasa Gimbal sangat lincah dan menarik penonton. Adegan wayang orang tersebut merupakan sambungan penggambaran pasukan raksasa dalam wayang kulit.
Di tengah tarian para Raksasa, datang Batara Narada menggendong bayi mungil. Bayi itu direbut para Raksasa untuk di bunuh, namun pasukan pimpinan Patih Sekipu itu tak mampu membunuhnya. Tiba-tiba Bayi berotot kawat bertulang besi itu tumbuh menjadi anak-anak bernama Tetuka (Vicky), dengan suara cedalnya ia bercakap dengan para Raksasa tanpa rasa takut. Akhirnya Tetuka mampu mengusir para Raksasa dengan kesaktiannya. Akting tokoh Tetuka tampak alami, suaranya yang cedal membuat gemas penonton. Berbeda dengan akting para Raksasa yang vokalnya kurang jelas di dengar dari penonton.

Bagong dan Kisah yang Lain
Pentas semakin meriah ketika muncul Bagong (Adam) dalam adegan Goro-Goro. Bagong sebagai abdi dalem menyeleksi satria untuk melawan Prabu Kala Pracana. Anehnya adegan seleksi divisualkan dengan wayang golek. Bagong memainkan wayang golek di sudut panggung dengan piranti gawang bambu sebagai panggungnya. Bagong mendalang sangat interaktif dengan penonton, banyak celetukan dan sorak dari penonton ketika melihat salah satu tokoh satria merokok dan asap rokok mengepul dari mulutnya. Tawa penonton pun tak terbendung ketika Bagong membuang rokok sang satria lantaran jengkel dengan asap rokok yang tidak keluar ketika satria itu menghembuskan. Kesalahan teknis menjadi bahan olok-olok yang mencipta suasana segar. Suasana semakin hangat ketika Semar (Bian) datang, Bagong dan Semar berduet merespon suasana, bercanda dengan Wiyaga, Dalang, dan penonton.

Di tengah canda tawa itu Bagong melihat seorang anak terbang mendatanginya, namanya Tetuka. Kemudian Dewa datang mengambil Tetuka untuk di Jedhi, dalam arti kata Tetuka akan dididik atau di tatar agar menjadi Satria gagah dan pemberani. Tetuka diajarkan berbagai ketrampilan dan diberi ilmu sakti. Tetuka tumbuh besar menjadi Gathutkaca (Arko Kilat Kusumaningrat), Satria gagah berani tiada tanding. Semua dewa menjagokan Gatotkaca saat melawan para Raksasa dan mengalahkan Patih Sekipu. Prabu Kala Pracana akhirnya mengurungkan menyerang kahyangan.

Adegan perang juga dimainkan kedua dalang dengan lihai dan seru hingga ditutup dengan dua gunungan menyilang di depan kelir. Akan tetapi saat mendekati  akhir cerita, penonton banyak yang meninggalkan area pementasan. Tinggal sekitar 250 penonton, sebagian besar para orang tua dan beberapa anak muda, mungkin lantaran mengantuk atau bisa jadi masyarakat tak lagi terbiasa dengan pertunjukan wayang berdurasi panjang. Banyak kepentingan yang harus dilakukan untuk esok hari meski hari Minggu. Apalagi melihat wayang semalam suntuk.

Pentas berdurasi 3 jam ini merupakan perpaduan antara wayang kulit, wayang orang dan wayang golek. Dikemas dalam tatanan pementasan kolaborasi yang harmonis dan saling menghidupkan. Sanggar Seni Sarotama sejatinya sedang melakukan gerilya budaya di tengah gempuran pengaruh gaya hidup konsumeris dan instan yang diinfus lewat berbagai media elektronik maupun cetak. di Sanggar Seni Sarotama, anak-anak di didik untuk menjadi berani, kreatif dan produktif. Anak-anak itu tengah di JEDHI, seperti Gathutkaca!

Jogjakarta, 23 September 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar