Kamis, 14 April 2011

Rose

 
Oleh: Andy Sri Wahyudi

Sore itu Ros datang ke rumahku, wajahnya tampak kusud dan malas. Tanpa permisi ia langsung duduk di kursi ruang tamu, lalu mengambil sebungkus rokok dari saku celana jeans-hitamnya. Sebatang rokok ia nyalakan dengan agak tergesa, dan segera asap rokok melesak dari bibirnya yang sensual. Ros tak peduli denganku yang sudah duduk di sebelahnya. Tatapan matanya terlihat kosong meski berusaha mencari-cari obyek dari interior ruang tamu. Aku berpangku tangan, tak habis pikir padanya.
“Kamu baik-baik saja Ros?” Ros tak menjawab.
Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi dengannya. Tak biasanya ia datang dalam keadaan malas dan resah. Biasanya ia datang dengan sapaan yang renyah: Hai Boby…! Lalu berlari memelukku sambil berbisik, Aku  kangen kamu… Baru kali ini tingkahnya membuatku merenung.
Aku mencoba menghangatkan suasana dengan meraih tangan kirinya yang menempel di paha kirinya, kupegang tangannya erat-erat. Segera ia mematikan rokok dengan mencecak-cecak-kan ke dalam asbak yang masih kosong. Tangannya yang lentik terlihat sedikit gemetar.
“Ros, kamu lapar?”
Kali ini ia hanya tersenyum padaku. Dan tak kuduga, tiba-tiba ia mencium keningku.Aneh.Setelah menciumku, ia tampak bingung dan salah tingkah.
“Ros, kamu telihat nervous. Kamu ingin menyatakan cinta padaku?”
Ia menarik nafas panjang, lalu tertawa terbahak-bahak melihatku. Aku tak banyak bereaksi, hanya tersenyum padanya. Kemudian ia beranjak dari kursi, berjalan sambil tertawa sendirian. Aku juga beranjak dari kursi, mengikuti langkahnya menuju ruang tengah. Tiba-tiba ia terdiam saat melangkah sampai di depan komputer, di sudut ruangan.
“Kamu masih suka menulis puisi dan cerpen, Boby?” katanya sambil menggerakkan mouse komputer yang baru kunyalakan sebelum ia datang.
“Ros, aku bukan sastrawan, aku menulis saat ada waktu senggang saja, dan sejak suka berkebun, aku jarang menulis.”
Ros tersenyum melihatku.
“Bob, Kamu masih suka musik Rock n’ Roll?”
“Iya, aku masih suka, hanya musik itu yang membuatku senang beraktivitas.”
Sebentar kemudian, musik Rock n’Roll memecah suasana. Ros mulai berjoget perlahan-lahan, dan seluruh tubuhnya mulai begerak lincah dan semakin terlihat asyik gerakannya. Gerakan yang mengingatkanku pada Mia Wallace (Uma Thurman) ketika berjoged dengan Vincent Vega (John Travolta) dalam film Pulp Fiction. Ros melepas ikat rambutnya. Dan sempurna sudah gerakannya saat memainkan rambutnya yang ikal panjang itu. Ia menarik tanganku, aku menyambutnya, lalu kami berjoget bersama sambil tertawa-tawa…
Yah, suasana sore itu mengasyikan sekali. Ros terus berjoged, seolah ingin menghempaskan keresahannya lewat naluri gerak tubuhnya. Entah berapa lama, saking asyiknya, tak terasa keringat sudah membasah di tubuhku, juga tubuh Ros. Kami berdua kelelahan. Rasa lelah yang benar-benar ternikmati, lelah yang menyenangkan. Lalu kami sama-sama menjatuhkan tubuh, terlentang di atas lantai ruang tengah dengan nafas masih terengah-engah, namun terasa melegakan. Fiuwf…
Aku dan Ros berpandangan dan saling tersenyum sambil rebahan. Yah, menikmati lelah yang masih tersisa. “Kamu bahagia Ros?” kataku seperti berbisik, tapi Ros hanya diam tak menghiraukan. Aku bangun lebih dulu, dan kubantu Ros bangun dengan menarik kedua tangannya, Houp Yak!. dan…tak kusangka Ros memelukku, tapi hanya sebentar, ia melepas pelukan itu setelah mencium bibirku. Sebuah ciuman yang aneh, ciuman yang sulit ku mengerti maksudnya.
Kemudian ia melangkah kembali ke ruang tamu. Aku menyusulnya setelah kumatikan komputer. Ia terlihat lebih santai, duduk bersandar di kursi.
“Boby, aku harus menikah,” katanya setelah menyalakan sebatang rokok.
“Menikah dengan siapa Ros?” kataku sambil mendekatinya.
“Itulah Boby, aku tak tahu harus menikah dengan siapa?”
“Mengapa kamu ingin menikah?”
“Usiaku sudah 35 tahun Bob. Dulu, aku mengira usia hanyalah angka-angka, ternyata di dalamnya ada banyak hal.”
“Kamu mau menyebutkan hal-hal itu padaku Ros?”
“Tidak Boby, kukira kamu juga pernah merasakannya sepertiku.”
“Kamu takut Ros?”
Ros terdiam tiba-tiba dan menundukkan kepala, kulihat ia menangis. Kuhentikan percakapanku dengannya. Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba ia menangis; suara sesenggukannya membuatku khawatir. Kuambilkan ia segelas air putih dingin di kulkas.
Setelah menghabiskan separuh gelas, Ros kembali malas dan resah. Aku tak tahan melihatnya. Lalu kutawari jalan-jalan menikmati suasana sore di Alun-Alun Kecil, tempat populer di kotaku. Tempat tamasya sore anak-anak yang didampingi ayah dan ibunya.
Sore itu… Berdua berboncengan naik Vespa…
Tepat pukul lima, Alun-Alun Kecil tampak ramai sekali: kereta anak-anak memutari Alun-Alun Kecil, dokar-dokar kecil mengangkut keluarga-keluarga kecil yang bahagia, penjaja makanan kecil sibuk melayani pembeli. Ada seorang anak kecil menangis di gendongan ibunya karena ketinggalan kereta. Aku dan Ros duduk di atas Vespa sambil ngemil makanan kecil. Semuanya memang serba kecil. Termasuk aku yang merasa seperti anak kecil.
“Ros, kamu ingin membuat keluarga kecil seperti mereka?” tanyaku memotong lamunannya.
Lagi-lagi Ros tersenyum padaku. Dan tiba-tiba, ia berlari mendekati seorang anak yang sedang belajar berjalan. Ia langsung menggendongnya, tak peduli anak itu menangis meraung-raung ketakutan.
“Hai Boby! Aku sudah pantas kan?” Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihatnya, yang malah terlihat kekanak-kanakan itu.
Ros mengembalikan anak itu pada ibunya, sambil meminta maaf. Ia berlari kecil, dan kembali duduk di sampingku.
“Ros, kamu ingin punya suami yang sudah mapan?”
Ros tak menjawab, malah senyum-senyum sendiri.
“Kamu ingin punya suami pengusaha? pekerja kantor? pegawai negri? penyiar radio? seniman sukses? atau olahragawan terkenal?”
“Aku belum menemukannya Bob, tapi aku tak mau menghabiskan waktu hidupku hanya untuk menjaga lelaki,”
“Aku tak mengerti Ros,” 
Ah, sudahlah. Kita jalan-jalan lagi yuk!” Ros memotong percakapan dan memaksaku menghidupkan mesin Vespa.
Aku kesulitan memahami omongannya. Ah Ros, semakin omongannya sulit dipahami, sepertinya ia merasa bangga atas kepandaiannya, dan merasa percuma jika menjelaskan padaku. Aku tak mau menghabiskan waktu hidupku hanya untuk menjaga lelaki. Uh, kalimat itu… Aku pernah dengar dalam film Virgin yang disutradarai Deborah Kampaieier dan dibintangi Elisabeth Moss, cewek bule yang  masih remaja dan agak gemuk.
Petang itu, kami berboncengan menyusuri jalan raya kota. Ros mengajakku makan malam di sebuah restoran dengan menu sederhana: sop kaki sapi.
Aneh, selama makan di restoran, kami tak bicara sepatah kata pun. Kami asyik menikmati sop kaki sapi.
Aku tak pernah mengerti apa yang dipikirkan Ros tentang pernikahan. Aku juga tak tahu, mengapa tiba-tiba ia mengkhawatirkan hal itu. Uh, kadang Ros memang suka cari perhatian. Kurasa kalau hanya soal mencari pasangan, dia tak kesulitan. Wajahnya manis, cerdas, dan mandiri. Ia juga seorang pengusaha kerajinan yang cukup sukses. Entahlah apa maunya…
Sehabis makan malam, Ros mengajakku jalan kaki menyusuri trotoar tanpa tujuan. Ros menggandeng tanganku sambil bercerita tentang masa remajanya yang nakal dan suka usil. Kudengarkan dia bercerita tentang keluarganya; tentang pacar-pacar yang disakitinya; tentang dirinya yang digosipkan pecinta sesama jenis oleh teman-temannya. Rupanya masa remaja itu sangat berkesan buatnya. Kesan yang hanya ia sendiri yang merasakan.
Di sepanjang jalan itu, Ros asyik bercerita dengan gerak tangan dan bahasa tubuhnya. Tak jarang lelaki yang meliriknya. Memang, saat bercerita ia semakin terlihat cuek dan seksi. Andaikan saja aku jadi pacarnya, tentu aku sudah cemburu.
“Boby, kamu lelah?” Ros bertanya sambil memegang tanganku.
“Tidak Ros, mungkin sedikit ngantuk.” 
“Oke Boby, aku juga sudah ngantuk. Kita pulang sekarang saja.”
Ros menggandeng tanganku lebih erat, kami berbalik arah menuju tempat parkir motor, depan restoran.
***
Tubuhku terasa lelah, kepalaku pusing, dan mataku terasa berat. Kurebahkan tubuhku di spring bad di ruang tengah. Tak lagi kupedulikan Ros. Aku tertidur masih mengenakan sepatu, mungkin tubuhku juga masih bau debu jalanan…
Aku terbangun tepat saat jam dinding berdenting satu kali. Kulihat di bawah temaram lampu, Ros membalikkan tubuhnya ke arahku. Sepertinya dari tadi ia duduk di depan komputer.
 “Kamu mimpi buruk Bob?” suaranya terdengar parau.
Lalu Ros melangkah mendekatiku yang masih ngantuk.
“Aku sudah membaca semua tulisanmu Bob. Cerpen-cerpenmu menyenangkan, puisimu sederhana, mudah dipahami dan sangat manusiawi…”
Aku tak menghiraukan lagi kata-katanya, hanya kubalas dengan juluran lidah. Ros masih bicara banyak, entah bicara apa. Aku malas mendengarnya, dan kembali kupejamkan mata.
Perlahan kurasakan, Ros berbisik sesuatu padaku lalu ...
Dini hari itu, dia menncumbuku dengan gegap gempita. Aku hanya bisa pasrah, tak kuasa menolak, membiarkannya aktif menciumiku hingga mengakhiri semuanya dengan persetubuhan yang kurasa sangat lucu, menggelikan, sekaligus merindukan.
Pagi harinya Ros sempat membuatkanku sarapan, telor mata sapi, sebelum pergi entah ke mana….
Sejak peristiwa itu, Ros tak lagi datang ke rumahku. Aku juga tak berusaha mencarinya meski tak dapat kupungkiri, aku merindukannya.
Di benakku, banyak kemungkinan tentang Ros. Mungkin ia sudah bahagia; mungkin sudah menemukan lelaki yang tentu lebih dariku; mungkin sudah merasa nyaman dan mapan; mungkin tak lagi takut dan khawatir dengan dirinya; mungkin sudah membuat keluarga kecil bahagia; atau mungkin sudah menjadi pengusaha sukses. Sementara, aku masih sibuk mengurusi tanaman hias dan sayuran yang terus tumbuh rimbun, di kebun samping rumah. Uh! Aku hanya bisa mengingat hidungnya yang mancung, dan matanya yang tajam, juga…pasrahku waktu itu. Kepasrahan lelaki yang selalu gagal kupuisikan.
***
Empat setengah tahun telah lewat. Aku selalu tersenyum jika teringat peristiwa itu. Kadang aku mengenang pertemuan pertama dengannya: waktu itu aku sedang menyiram tanaman, ia mampir untuk sekadar bertanya perihal tanaman. Dari situlah kami saling mengenal, dan sering pergi berdua: melihat pameran tanaman, menonton pementasan tari, musik, dan teater, atau menghadiri acara sastra. Tentu sambil berbincang banyak hal. Ros semakin terbiasa dan menjadi sangat dekat denganku.
Tak akan terulang untuk kedua kalinya dalam hidupku. Tak mungkin ada Ros Ros lain yang datang padaku.
Oh…ternyata aku salah. Sore itu, tepat seperti waktu itu. Waktu ia mampir untuk sekadar bertanya perihal tanaman. Ros datang dengan seorang lelaki muda. Ia menggandeng anak perempuan kecil yang membawa sekotak kardus warna coklat muda, yang bertuliskan nama dan alamat toko roti. Wajah dan penampilannya masih seperti dulu: tak ber-make up, rambutnya dikuncir sekadarnya, masih suka mengenakan jeans hitam, t-shirt biru polos, dan bersepatu ket. Kemungkinanku benar, Ros sudah membuat keluarga kecil bahagia.
“Hai…apa khabar Ros?”
Aku menyambutnya biasa saja, cukup dengan wajah cerah dan senyum renyah. Kutinggalkan aktivitasku menyiram tanaman. Aku merasa keki saat dia menolak jabat tanganku, tapi ia langsung memelukku. Kulihat lelaki yang di belakangnya menganggukkan kepala padaku, lalu berjalan keluar pagar. Pergi dengan sedan merah, mobil yang menghantarkan Ros dan anak kecil itu ke rumahku. Ros masih memelukku erat. Sementara, anak perempuan kecil itu melihatku dengan tatapan innocent, tatapan matanya mirip Ros. Aku salah tingkah ketika Ros melepaskan pelukannya, ia merunduk mengambil sekotak kardus dari tangan anak kecil itu.
 “Mawar, ini om Boby, kenalan dong..”
Anak itu menyebutkan namanya dengan malu-malu sambil menjabat tanganku. Suaranya yang lucu mencairkan salah tingkahku.
“Mawar, kamu manis mirip mamamu.”
Ros bereaksi mencubit lenganku, lalu kugendong Mawar. Kami berjalan menuju ruang tamu. Kubiarkan tangan kecil Mawar meraba-raba wajahku.
“Mawar, om mau mandi dulu ya..”
Kududukan Mawar di kursi ruang tamu, dan kubukakan toples makanan kecil. Sementara Ros berjalan-jalan mengamati ruangan.
“Masih seperti dulu Ros, tak ada yang berubah kecuali warna cat temboknya. Warna hijau lumut membuatku lebih nyaman.”
Ros tak menanggapinya, lalu aku melangkah ke kamar mandi…
Seusai mandi dan berdandan, aku kembali ke ruang tamu. Dan betapa terkejutnya aku, saat melihat roti  tart di atas meja,
“Selamat ulang tahun Boby.” Ucap Ros cuek sambil menyalakan lilin di atas roti.
Ros menggendong Mawar, berjalan mendekatiku. Ia mencium kening dan pipiku. Aku tak tahu, dari mana Ros tahu tanggal lahirku, padahal aku sendiri sudah lupa. Kejadian sore itu terlalu istimewa bagiku. Sore yang mahal sekali.
 “Ros, aku tak mengerti maksud semua ini.” 
“Aku masih ingin menikah, Bob,”  kata Ros dengan tiba-tiba dan membuatku agak geragapan.
“Bukankah semuanya sudah berhasil kamu raih?”
“Aku belum menikah, Bob.”
“Lantas?”
“Aku ingin menikah denganmu,” 
“Nanti waktu hidupmu akan habis hanya untuk menjaga lelaki. Buat apa kamu menikah denganku Ros?”
“Buat lucu-lucuan aja, lagian waktu hidupku tak kan habis untuk menjagamu Boby. Dan satu lagi Bob. Mmm… Mawar adalah anak kita.”
Aku tak dapat berkata apa-apa lagi, aku tersipu-sipu malu, hatiku bungah dan wajahku berseri-seri seperti apel merah.
“Om, tiup sekalang dong, ntal  lilinnya kebulu abis.”
Aku tersenyum lebar melihat wajah Mawar yang manis, lalu kutiup lilin yang berbentuk angka 80 itu ;-o    

Djogjakarta, Oktober  2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar