Jumat, 15 April 2011

Sepaket Catatan Solo Project Teater Garasi


pertanyaan rileks buat solo project-s


Tepi Sungai Winongo 24 April 2007
Sudah beberapa reportoar saya lihat tapi tidak menggugah saya untuk membuat catatan apa-apa, selain terus curiga dan bertanya-tanya sendiri. Mengapa tiga pertunjukan  hanya lewat sambil lalu saja? tidak seperti biasanya. Pentas-pentas sebelumnya membuat saya tertarik masuk dalam satu ruang dan gelisah sendiri hingga memunculkan keinginan untuk membuat sesuatu. Sebenarnya ngapain sih solo project diadakan?

Kalau begitu, sebelum memasuki pentas-pentas berikutnya, saya akan membacanya lewat buku kecil berwarna ungu kusam itu. Memang sih, saya sudah membacanya beberapa tapi sepintas lalu dan hanya menikmati gaya bahasanya saja.
Meniti Karier

RS Wirosaban 24 April 2007
Pertama, saya membaca tulisan Gunawan Maryanto yang berjudul Aktor dengan A Besar. To the point aja deh. Dalam tulisan itu saya menangkap sebuah pengantar berupa penjelasan yang rapat tapi saya tidak menangkap suasana-suasana resah di dalamnya, yang biasannya saya jumpai pada booklet-booklet pentas sebelumnya. Saya akan mencoba mencermati semampunya dan mungkin akan lebih memperjelas saya tentang solo project ini. 

Ops! sebentar, saya akan menggaris bawahi sebuah nama: Yudi Ahmad Tajudin. Rupanya dia si Pelontar ide awalnya, kemudian pementasan-pementasan yang diberi nama solo project itu terjadi. Menurutku seharusnya dia juga menulis di buku itu, saya tidak tahu alasannya mengapa dia tidak menulis?  Ah, sudahlah biarkan dia sendirian di atas garis.

Isu perihal otonomi keaktoran ini muncul di triwulan terakhir tahun 2005.

…Berangkat dari perlunya, di tengah medan teater di Indonesia, seorang aktor membangun kemandiriannya, melepas ketergantungan yang terlalu besar pada kelompok dan sutradara. Seorang aktor mesti otonom jika ingin terus tumbuh dan berkembang………pendeknya: mengambil pengetahuan dari pengalaman dengan menguasai pengetahuan (keaktoran tertentu) seorang aktor telah membangun kemandiriannya, ia telah memutus ketergantungannya, dalam banyak hal dari sutradara. 

Menurut saya kalimat itu sangat menjelaskan dan (telah) memberi pencerahan ke-aktor-an. Akan tetapi pada paragraph kedua ini, saya menemukan nalar-nalar umum mengenai Sutradara yang bukan sebagai fungsi tapi sebagai figur yang berperan menjadi patron dalam sebuah kelompok (di luar dan di dalam proses) bahkan sebagai penentu segalanya. Ya, hal ini memang telah menjadi hal yang kaprah bahkan sudah berkerak. Saya membacanya sebuah kekhawatiran dalam sebuah kelompok (Garasi) perihal ke-aktor-annya.  Hal ini akan saya khususkan: Apakah aktor di Garasi sedang seperti yang dikatakan di atas? Maksudnya, terlalu bergantung pada Sutradara sebagai figure atau sosok?
Lalu pada paragraph ke-empat, saya dikenalkan dengan sensibilitas kata. Mengapa tiba-tiba kata ini muncul dan seolah menjadi kesadaran yang merata?

Markas Bengkel Pantomim 25 April 2007
Terus terang, saya tertarik dengan solo project sebagai tawaran dan sudah barang tentu tidak saya baca sebagai upaya untuk menggusur fungsi Sutradara. Aktor sedang berada dalam dua disiplin yang berbeda (keaktoran dan penyutradaraan). Progam ini memberi ruang seluas-luasnya bagi aktor untuk belajar mewujudkan gagasan pertunjukan dan proyek teater, yang sejauh ini – dalam kasus teater di Indonesia- kebanyakan haya dilakoni oleh sutradara. Saya membaca hal ini berorientasi pada sebuah proses penciptaan yang diolah oleh aktor yang sudah tidak menjadi aktor saja sebagai fungsinya. Jika benar, apakah penciptaan itu dijadikan sebagai tugas guna memenuhi syarat tertentu atau semacam uji coba? Atau ada yang lainnya?

Saya senang dengan kata seluas-luasnya meski tampak abstrak. Kata itu mengacu pada apa dalam proses penciptaan?

Solo, Wisma TBS 26 April 2007
Selanjutnya saya ingin mencermati tulisan Kusworo Bayu Aji yang berjudul Manajemen, Ruang dan Pertumbuhan.

…Memasuki tahap Pertumbuhan yang baru. Kalimat ini membuat saya tertarik untuk membaca keseluruhannya, sebab saya membaca pertumbuhan yang baru itu mengacu pada perubahan yang terus menerus (+,-). Hal ini dapat dikatakan sebagai capaian sebuah kelompok. Kemudian muncul kekhawatiran mengenai person-personnya (aktor) apakah punya kekuatan setara (disini lebih mengacu pada apa?) jika mereka berdiri sebagai seniman/pekerja seni independent? Apakah aktor Teater Garasi mampu berkarya tanpa Yudi Ahmad Tajudin atau Gunawan Mariyanto? Hal ini sama seperti pertanyaan saya sebelumnya. kok seperti itu sih? 

Demikianlah pertanyaan saya, sebelum memberikan catatan setelah menonton peristiwa pementasan yang telah dilakoni oleh para Aktor/Seniman. Semoga saya jadi lebih jelas.

Dirangkai di Tegal Kenongo, Teater Garasi
29-30 April 2007


Jawaban:

Pertanyaan-pertanyaan di atas telah terjawab dalam sebuah percakapan segar dan tiba-tiba antara Yudi Ahmad Tajudin, Gunawan Maryanto – menyusul –  dan Saya. Pada suatu dini pagi  hingga  terbit matahari. Jawaban-jawaban tersebut saya sesuaikan dengan sifatnya yang lisan maka tak perlu saya tulis dan  bukan maksud saya merahasiakan sebab memang bukan rahasia.  Saya tak ada  kepentingan apa-apa kecuali hanya sekedar tahu saja. Selanjutnya saya ucapkan  Terimakasih.



Bapak Teladan


Sepaket Catatan Solo Project Teater Garasi

Oleh: andy sri wahyudi

Saya menulis catatan ini, sebagai penonton yang menonton pementasan secara bebas dan membebaskan diri dari harapan. Saya hanyalah penonton yang kondisional dan mungkin egois dalam menonton pementasan solo project yang dilakukan para aktor, eh sori, Aktor. Berikut ini adalah catatan-catatan saya setelah menonton dan membaca solo project.


Hindra Setya Rini
Menjadi Remaja bersama Hindra
Sayang sekali, saya hanya membaca tulisannya tapi tak melihat acaranya. Maka saya tidak menulis tentangnya. Terimakasih.


Erythrina Baskorowati
Kesepian dalam artistik yang simpatik

Melihat pementasan Perempuan dalam Monolog Sungai yang dibawakan oleh Erythrina, saya hanya diam, termangu, dan senyam-senyum sendiri pada deretan ketiga penonton yang duduk lesehan. Saya suka dengan bentuk panggungnya yang ditata oleh Ayu Arista Murti. Sebuah penataan panggung yang lugu, ramai, dan simpatik. Membuat saya tertarik untuk terus menerus melihat satu demi satu propertinya. Taman bergantung, skat-skat kecil, dan toples-toples itu, toples membuat kening saya berkerut, memfokuskan mata untuk sekadar tahu isinya. Ternyata orok-orok atau bakal manusia (sintetis). Dan suara-suara anak-anak kecil itu, semakin melengkapi imajinasi saya akan suasana-suasana asing yang perlahan terbangun. Kemudian sang Pemain muncul dari belakang dengan suaranya yang menyadarkan saya bahwa pentas monolog akan dimulai.

Imajinasi saya lenyap dan sebagian terbengkalai tidak saya urusi saat pemain mulai bercerita. Dia mulai mencuri fokus, saya lihat gerak-geriknya dan mendengar ucapannya. Berusaha dengan tekun mengikutinya, karena bahasa dalam teks yang dimainkan sangat akrab dengan hidup keseharian. Kata-katanya bersahabat dan menarikku untuk mengenali tokohnya, tetapi semakin lama ia bercerita saya sebal dengan diri sendiri yang merasa kehilangan banyak hal dalam pementasan tersebut. Saya hanya bengong melihatnya, bahkan kata-katanya mulai kabur dan tak tertangkap. Baiklah kalau begitu, bukan kemauan saya untuk meninggalkannya tapi keadaannya memang demikian.

Sejenak pikiran menjadi blank dan bingung apa yang harus dilihat, saat suasana panggung itu berhenti pada tutur pemain. Hanya kalimat-kalimat yang berlalu tak peduli dengan ruang. Sementara itu, saya sendiri gagal memunguti imajinasi yang telah terbengkalai. Wah susah deh. Benda-benda itu terdiam tak lagi bicara apa-apa seperti semula. Kemudian saya kembali mengamati ruang panggung sekadar ingin mendapatkan hal lain, tapi sayang, saya hanya menemukan seorang Aktor merana, bicara sendirian di bawah temaram lampu yang sedang berusaha membaca karakter-nya secara linear. Ia kesepian seperti bingung di tengah keramaian, hanya bicara tentang ceritanya dengan fasih tapi gagal membangun imaji seperti awal. Pelan-pelan benda-benda itu meninggalkan sang Aktor.

Hey, tanpa sengaja  kulihat jemarinya menyentuh taman gantung. Eit, itu yang paling berkesan sepanjang pertunjukan. Selanjutnya saya tak lagi tertarik dengan gerak dan suasana yang berkeinginan menjelaskan alur cerita tapi malah mengindahkan akting saja (memang serba salah sih jadi Aktor). Saya sibuk melihat bayi-bayi itu berterbangan, meloncat, bergelantungan, menari-nari dan bermain di taman bergantung. Sentuhan itu yang mengembalikan senyum saya.

Terus terang secara tema sangat menarik. Sebuah dunia kecil yang begitu ramai, tapi mengapa kondisi psikis yang  demikian kaya itu tidak muncul selain perasaan luka, dan kasihan yang ngelangut?

Eh lupa, saya suka sama musiknya. Terasa musik itu mengirama dengan ruang dan imajinasi baru.

Sepulangnya saya menerka-nerka, mungkin sang Aktor berada di wilayah ketegangan saat dirinya terbelah menjadi dua fungsi antara pemain dan sutradara. Apakah ini karena belum terbiasa?  Saya rasa tidak.

WC Gatotkaca, Supermen, dan Malaikat



Verry Handayani
Sendirian bicara dengan bintang-gemintang

Siapa yang sedang tertidur di tengah halaman rumah saat Purnama?

Wah, jadi ngawur deh. Saya melihat panggung seperti halaman rumah. Saya sendiri juga heran mengapa ruang yang sempit itu bisa terlihat luas? Entah karena efek pencahayaan, background yang berwarna terang, atau property yang minimalis? Ah, yang penting saya enjoy melihatnya.

Pertama, saya duduk di belakang mencoba mendengar dengan saksama suara sang Aktor, mengingat hal ini termasuk pengolahan sensibilitas kata. Akan tetapi saya merasa kurang nyaman melihatnya, dikarenakan sudut pandang yang menuntut mata saya memuat ruangan panggung. Perlahan dan hati-hati saya pindah dua langkah ke depan agak samping, duduk lesehan sambil bersandar pada tiang tembok. Mulai dari sini saya melihatnya dengan mengintip, meminta bantuan kepala penonton yang lain, agar lebih enak dan nyaman melihat sang Aktor. Sebenarnya sudah fokus tapi saya kurang asyik melihatnya gara-gara sering hilang di balik kepala.

Tiba-tiba saya melihat tempat yang kelihatannya prospek menjadi tempat singgah yang enjoy. Benar, sampai akhir saya berada di situ (meski harus tahan dengan bau keringat Bahrun). Sekali lagi, pindahnya dengan pelan-pelan dan hati-hati. Berada di balik tiang tembok, wah, enak sekali. Sudut pandang saya menjadi sempit dan akting sang Aktor dapat terlihat jelas. Aktingnya terlihat menarik, memang ia selalu menarikku, sebab ia Aktor pertama yang kulihat di atas panggung dengan keheranan saat pertama kali menonton pertunjukan teater.

Tempatnya sudah nyaman tapi sayang, tanpa kusadari  alur critanya hilang deh gara-gara dari tadi sibuk memilih tempat. Langsung saja ku utarakan: saya tak menangkap apa yang diceritakannya hingga akhir pertunjukan. Jika masalah sensibilitas kata sudah tak meragukannya, hanya saja kali ini dia terlihat agak spaneng. Apa penyebabnya?

Pidio at yang kadang tampak, tak berpengaruh pada suasana selain membuat beda saja. Lewat begitu saja. Ada yang menggugah imajinasi tentang cerita saat munculnya Aktor tamu (Landung Simatupang) dalam gambar hidup yang didukung warna hitam putih. Selanjutnya saya merasa gemes dengan setting yang selalu diam dan tubuh Aktor yang juga banyak diam (mungkin tuntutan naskah). Sejak saat itu saya mencoba menggerakkannya dengan memainkan mata dan menghiasnya dengan gerakan tangan di depan mata. Jadinya lucu dan seru. Ternyata saya semakin menemukan hal berbeda. Ternyata  lagi, ruang panggung dapat dipersempit dengan melihat lewat teropong tangan dan lewat sela-sela jari jemari. Sang Aktor seperti berada dalam ruang lain dan lebih fokus. Disini saya baru tahu, dia berperan sebagai orang buta. Kulihat dia merenung di tengah malam dan sendirian bicara dengan bintang-gemintang. Sunyi dan mengesankan.

Semakin lama makin terasakan bahwa dia hidup sendirian dalam panggung itu, tak ada yang menemaninya. Seperti tak ada yang mengasuhnya dalam pementasan itu, semua melewatinya. Mengapa bisa demikian? Mungkinkah tak ada ruang tawar menawar gagasan yang intens dalam proses penggarapannya? Atau….
Saya sudah merasa enjoy dan nyaman dengan posisi dan cara melihatnya. Pas! Sayang, tak berlangsung lama, pentasnya keburu bubar. Wah….

Waduh, saya lupa dengan musiknya?!

Merenung




Citra Patiwi
Dalam Panggung Gembira yang Ceriwis

Mulai pertunjukan ini, saya disuruh menulis catatan sebagai penonton. Duh, saya jadi khawatir terjebak dalam pengamatan. Mari menonton Ophelia!

Terbaca lewat panggungnya, karakter pementasan ini sepertinya agak beda dengan pementasan sebelumnya.

Gambar pidio at awal lumayan mengasyikan buat penyegaran menyambut penonton, tapi saya tetap membayangkan jika itu manual. Dilakukan Aktor secara nyata. (sebuah tempat seperti ruang kelas, dan aktor duduk berpindah-pindah; kadang berdiri, duduk dengan berbagai gaya dan mimik wajah yang wuw!)

Saya tak sengaja memilih sudut pandang yang kurang nyaman, duduk di pojok dekat dengan seorang ibu yang membawa anak-anak (ternyata ibu Tita Rubi). Tidak masalah, saya akan melihatnya dengan rileks.

Saat sang Aktor mulai ber-akting dengan memberikan aba-aba persiapan pada kru panggung, saya bertanya-tanya dalam hati, maksudnya apa sih? Masih saya ikuti aktingnya, dia mulai membangun komunikasi dengan penonton. Apakah pementasan ini akan dimulai dari suasana yang cair?. Saat masuk, saya sudah merasa cair dengan suasananya dan sudah tahu bahwa itu adalah acara pertunjukan. Kalau sambutan yang ini saya merasa keki sendiri, dan mulai dari sini, saya terusik dengan gatal-gatal yang menyerang kepala.

Aktor sudah berdiri  di atas panggung, dengan properti dan jenis level yang mendukungnya. Kali ini dia mulai bercerita, saya menikmati sampai kostum kuno futuristik itu perlahan turun lalu menjubahi sang Aktor, muncul nuansa baru saat adegan tersebut. Aih…dia bergerak robotik…, dan semakin menarikku untuk terus mengikutinya. Bagus, karakternya mengena dan berhasil menyatukan elemen keaktoran-nya. Saya tak peduli dengan nada suara yang seperti peran-nya di Waktu Batu dulu.

Duh, mengapa kemandirian itu semakin terasa kabur? Gambar-gambar pidio at yang terus berubah itu…, suara-suaranya…, properti yang bertambah, dan kru panggung yang bersliweran…., gaya bertuturnya…nah, kalau yang ini saya suka, hingga muncullah Panggung gembira dengan bintang panggung baru. Mulai ramai nih.

Gambar Pidio at membuat panggung itu terasa ceriwis, si Panggung jadi ngomong terus, menumpuki kata-kata Aktor. Gegap-gempita panggung hanya meninggalkan sedikit kesan. Mungkin penonton lain suka dan menilai keren model pertunjukan-nya tapi yang saya lihat cara menterjemahkan teksnya. Kok bisa kayak gitu ya? Bukannya saya tidak setuju adanya pidio at atau peralatan yang membuat ramai. Uh, biarin aja deh. Nonton lagi ah...

Saya jadi kurang hati-hati mengikuti ceritanya, gara-gara bertanya-tanya sendiri. Sejak saat itu, kostum, properti, dan akting Aktor tidak lagi menarikku. Tapi jika memang yang ditawarkan model semacam itu dalam menterjemahkan teks nggak masalah kok, kebetulan hujan dan suara rintiknya menggelisahkanku dari tadi. Diam-diam saya membuka atap gedung pertunjukan itu, maka lengkap sudah pemandangannya. Segalanya menjadi semakin fantastic dan bergairah, memunculkan nuansa yang ramai namun ramah. Benar-benar menggembirakan membayangkan peristiwa pentas di bawah rintik hujan. Kunikmati akting sang Aktor.

Tak terasa, selama pementasan itu saya bergerak-gerak terus dan gatal-gatal itu sungguh menyebalkan. Rupanya hal itu mengganggu penonton sekitar, termasuk ibu di sebelah yang menegurku dengan wajah cemberut. Eh, ternyata Mbak Ery yang di belakang juga terganggu. Dan saya tak lagi percaya dengan shampo bubuk!




Theodorus Cristanto
Membuatku asyik bermalas-malasan

Harus saya akui kalau pilihan tempatnya memang menarik dan selalu kuingat. Liar, bengal, nakal, dan jujur. Tatanan ruang pertunjukan membuatku menikmati apa yang sedang lewat. Suara-suara dari jalan, bintang, bulan, sepoi angin malam, dan pesawat terbang,

Pertunjukan Theodorus Cristanto ini, sangat menyenangkan sekali. Dari awal hingga akhir saya menyimak alur ceritanya. Sama sekali tidak terganggu dengan hal-hal di luar pertunjukan. Kadang saya merasa menjadi pendengar radio, penonton bulu tangkis, dan menjadi remaja yang sedang nongkrong.

Sembari menikmati suasana, saya melihat pertunjukan tersebut, tapi pelan-pelan mulai terganggu dengan akting kedua Aktor yang selalu mempertahankan jarak permainan. Aktor terus terpaku pada bentuk panggung yang berupa garis lurus. Karakter yang berlawanan itu seperti hanya diterjemahkan dalam logika permainan satu lawan satu. Jarang, saya melihat sebuah peleburan dalam penataan laku yang membuka peluang berubahnya bentuk panggung. Juga jarang ada tawaran permainan yang kontributif terhadap elemen panggung lainnya. Hal ini membuatku kehilangan suara-suara jalan. 

Dialog yang berturut-turut diucap Jerry dengan (karakter) tergesa dan dengan gerak mondar-mandir berulang, membuatku membuang pandangan ke arah seng yang berjendela langit (pidio at lagi) di seberang tempat duduk. Sebab, si Jendela itu adalah pentilasi yang menjagaku mengikuti alur pertunjukan. Irama dialog dan aktingnya terus saling bertumpukan bukan saling menguatkan (tampak pada adegan setiap kali Jerry bercerita). Hanya akting Peter (Kusen Alipah Hadi) yang menuntunku pada sandaran senyum sambil beromantika dengan cerita – teater – lama yang lugu, dan kembali menikmati suasana panggung pertunjukan. Hal ini membuatku kehilangan bulan dan bintang.

Saya mulai bermalasan, santai menikmati pertunjukan yang menyenangkan. Banyak sekali hal alami dan menarik untuk dilihat. Tapi jangan disangka saya menyepelekan pertunjukannya. Saya tetap peduli dengan lighting yang mengingatkan pada pembuatan film; gaya tutur yang terus mengalir dengan bunga belepotan; mimik wajah dan akting yang terpecah dengan teks, tapi hal ini menjadi unik, juga cerita yang kurang mengenal Pemain (cerita dari luar negri –barat- yang di indonesiakan). Dan sepoi sejuk angin malam tak kurasakan lagi.

Pertunjukan itu memang menjadi dunia tersendiri yang meminta perhatian khusus. Ada beberapa ruang yang berdiri di hadapan mata, tapi saya membiarkan diri terbelah-belah. Hanya satu yang terus menjagaku melihat pertunjukan, jendela dengan gambar langit dan awan oranye yang berarak lamban di atas taman tempat pertunjukan Zoo Story. Saya masih menyimak ceritanya.   
 
Salah seorang Penonton  (Jaduk Ferianto, Musisi)  cara ngelihatnya lucu lho! Seolah ia ingin merubah matanya menjadi mata kamera yang terfokus. Ia membolong bagian tengah kertas dan dijadikan kacamata. Lain lagi dengan Untung Basuki (Seniman), melihatnya sambil mengantuk. Apalagi Kusworo Bayu Aji (Manager) mimik wajahnya berubah-ubah gak karuan, dan Yudhi Ahmad Tajudin (Sutradara Flamboyan) seperti dewan Juri baca puisi tingkat SLTA. Dan masih ada yang lainnya.
 
Satu hal yang menarik saya sampai pertunjukan usai yakni bentuk tubuh, gerak dan gaya bermain kedua Aktor yang gigih menafsir teks tapi malah melawan teks itu sendiri. (berkeinginan seperti tokoh dari luar negri tapi malah lucu gitu deh). Hal ini sempat membuat saya tidak bermalas-malasan.
Duh…Pesawatnya kok nggak lewat lagi ya?



sejoli yang manis




Jamaludin Latief
Kesederhanaan nan eksotis

Sejak awal sampai akhir saya mengikutinya dengan tekun dan santun, duduk di posisi tengah tempat duduk berundak.

Pertunjukan berlalu dan meninggalkan kesan romantik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi adalah penggalan kisah yang terangkai dalam panduan naskah: setting, musik, kostum, properti dan gambar hidup. Saya menangkap  sebuah kerangka kreatifitas yang beriringan dalam penggarapan yang sederhana. Terlebih tata cahaya yang rapi itu membuat panggung tampak rajin. Elemen-elemen panggung saling menjelaskan, antara Aktor, gambar hidup, musik dan cerita naskah membangun relasi satu sama lain  tapi Versus Setting. Nah, ini yang menarik tapi membahasnya ntar aja.

Dalam alur cerita seringkali muncul joke-joke yan sesuai konteks, membuat banyak penonton terbawa dalam tawa namun beberapa ada yang bingung. Nilai sejarah privat dapat berkembang lewat kalimat yang melahirkan imaji dibenak penonton. Hal ini dipengaruhi pembawaan Aktor lewat gaya tutur dan tubuh yang rileks dan akrab. Tentu juga didukung properti panggung lainnya. Ah, biarkan saja joke segar itu menjadi hiasan suasana sebab memang demikianlah peristiwa ironi itu, beti (beda tipis) dengan komedi. Sebenarnya saya hanya mau bilang ke-aktor-annya mengasyikkan.

Kembali pada kerangka kreatifitas. Sejauh mana Aktor yang hermaprodit itu mengejar nilai teks lewat bahasa visual dan verbal dalam pementasannya? Memang, ada suatu kerangka pikir yang teratur dalam membangun relasi antar properti dalam peristiwa pentas, termasuk meng-komunikasikan imajinasi namun saya curiga hal itu semata lahir dari cara baca yang cenderung membahas perihal penyampaian-nya secara konvensional bukan menggali karakter-karakter dan konteks yang ada dalam teks. Biasanya ini terjadi dalam penggarapan Pantomim. Sebenarnya tidak masalah tapi akan menjebak pemain dan memotong/memendam daya kreatifitas yang berpotensi untuk melahirkan nilai tawar baru. Kecurigaan itu muncul dengan masuknya suara dubber, munculnya gambar hidup saat aktor ganti kostum dan apa lagi ya…? O ya, setting yang berhenti dan kuat.

Bagaimanapun settingnya membuat saya terkesan. Entahlah, saya sendiri kurang paham mengapa sang Aktor memilih settingnya di semacam Distro atau Mall? Inilah yang paling menarik dalam pertunjukan tersebut, Setting melawan dengan kekuatannya. Herannya lagi dia tidak anarki, malah menjadi dunia seorang pertapa modern. Bagaimana bisa? si Setting telah melawan teks yang sebenarnya sangat kontemplatif dan reflektif, ia melawan Aktor sehingga membuat Aktor lebih terlihat eksotis dalam ruangan tersebut, ia juga melawan gambar hidup, meski hal tersebut terlihat berhubungan dan sama sebagai visual tapi sebenarnya dunia yang sangat berbeda, sebab memiliki karakter dunianya sendiri-sendiri. Saya bayangkan jika pertunjukan itu di dalam Mall betulan, wah, bisa-bisa seperti penjual obat di sekatenan/pasar malam. Tapi kadang si setting berdamai dengan musiknya yang menarik itu. Disini saya disadarkan akan adanya karakter benda-benda dan ruang yang sangat berpotensi memberikan tawaran baru dalam dunia panggung. Jadi tidak hanya menjadi tempat Pertapa modern tapi memunculkan nilai baru dalam penciptaan. (Memang sih, saya tak dapat memberikan contoh kongkritnya). Bahwa benda-benda dan ruang itu mempunyai karakter yang bertalian dengan suasana-suasana dalam teks. Ruang dan benda-benda akan memberikan kontribusi dalam penciptaan, kalau benar berangkat dari pengolahan teks.Yah, setidaknya jika ditangani seorang Aktor yang pernah menggemparkan publik Jakarta. Wah, ternyata setting hanya diam tak melawan, semata menjadi ruang kuat. Aktor larut dalam kesederhanaan dan terlihat nan eksotis. Ah, sudahlah ntar malah jadi nggak sederhana dan gerr….

Saya paling suka dengan adegan dalam bus.






(Seharusnya) Bahrun Ulum
Lalu bagaimana nasib Hati yang meracau itu?

Sampai saat ini saya masih membayangkan dia meracau sendirian di dalam kamarnya.
Bahrun, apakah kamu baik-baik saja? Menghibur diri aja yuk! Tak temeni jadi buruhnya mas Gepeng nggak papa, pasti seru. Ada honornya khan?




Naomi Srikandi
Seperti Lebur Dalam Teks Pintar

Tubuhku lengket, berkeringat, dan nggak sempat mandi, aku terlalu lelah waktu melihat pementasan-nya, bahkan khawatir jika sampai ngantuk dan tertidur. Akhirnya kekhawatiran itu membuatku semakin tidak peduli dengan apa yang akan terjadi di depan mata. Saya tak lagi memaknainya sebagai pertunjukan, solo project, otonomi keaktoran atau apapun itu. Biarkan dia menjadi yang berlalu semaunya dan tulus berbuat sekehendaknya di hadapanku. Energiku tak lagi kuat untuk membacanya.

Baru hari ini, lima hari setelah pementasan-nya aku mulai menulis sesuai ingatan dan beberapa kesan yang masih tertinggal.

Tidakkah kau lihat seorang perempuan menari kian-kemari dalam rumah dongeng? 

Samar-samar dalam ingatan, ada sebuah tata artistik yang semula membelah ruang pementasan namun menyatu dalam perjalanannya dalam sebuah suasana. Tiba-tiba saya teringat sebuah film berjudul Home Alone, dan ruang yang terbelah itu menyatu dalam imaji rumah men-dongeng. Aku tidak begitu memahami relasi artistik dalam pementasan-nya, mungkin aku kurang memahami cara baca Tita Rubi atas teks. Kebetulan saya juga terlupa dengan suasana dalam tulisan Ayu Utami tersebut, hanya kembali saya baca lewat cerita dalam pentas. Tidak usah terpatok teks juga tidak masalah sebenarnya. Wujud set artistik-nya saya suka secara tata panggung, bukan secara peristiwa.   

Saya tak begitu perhatian dengan tema, akting, dan gerak tubuhnya yang menarik, lebih tertarik pada – pembawaan – cerita yang tidak menuntut adanya tangga dramatik konflik, solusi, bahkan ending. Seperti tak ada teks dalam gaya tutur penceritaannya. Teks sudah menjadi suatu hal yang di-ilmiah-kan, dan berpencar membentuk ruang tafsir visual yang berbeda, menafsir dengan bahasanya sendiri. Sebuah dunia entah atau  mungkin menjadi suatu obsesi personal si Aktor. Bahwa Aktor yang juga sebagai sutradara mempunyai pilihannya sendiri dalam menyampaikan teks lewat visualnya. Tuturnya sangat biasa, kata-katanya akrab dan bersahabat, tapi akrab dan bersahabat dengan dunianya sendiri. Ia seperti lebur dalam teks pintar yang memuat hal kontroversial. Memang seperti itulah ia (sebagai tokoh) dalam hidup kesehariannya. Biasa dan sambil lalu saja hal-hal itu menjadi bahan percakapkan/cerita. Entahlah, hal yang seharusnya menjadi tafsir umum menjadi sangat privat meski ada beberapa ruang visual yang mengarah ke umum (dalam hal ini aktor seperti bercerita untuk dirinya sendiri). Wah, saya jadi pusing sendiri deh.

O,ya, bagaimana mengenai pertunjukannya? Iya, sebuah pertunjukan dengan segala macam visual dan tata artistik yang kata salah seorang penonton: Hi– Art. Saya jengkel dengan penonton yang juga teman saya itu, dia seperti mengolok saya, agak heran melihat saya menonton pementasan ini. Tapi sudah saya katakan sejak awal meski tak bermaksud, saya tak memaknainya sebagai pertunjukan. Ia lebih cenderung menjadi sebuah wacana. Pertunjukan merupakan serpihan ide-ide yang melekat dalam ruang-ruang visual panggung. Kadang Aktor menjadi kerepotan dalam mengatur lalu-lintasnya.

Ide kadang dapat menjadi sesuatu yang mencerahkan tapi jika ide itu membanjir dan menuntut untuk terwujud, mungkin akan lebih mencerahkan, mungkin juga membingungkan. Ide memang abstrak dan banyak kemungkinan mewujudkannya. Lebih jelasnya membutuhkan konsultan yang bukan buat konsultasi tapi tempat penampungan dan tawar-menawar, membuat jalur ide biar tidak bingung dan frustasi yang berujung menempuh jalan pintas tapi malah ribet sendiri. Aku jadi gemes sendiri, habis eman-eman sama ide-nya sih.

…dan ia menjadi seorang bayi yang baru saja lahir dari seorang sundal perawan.                

Mengenai musiknya saya serahkan kepada penonton yang lain, sebab saya lebih membiarkannya lewat dengan ramah dan ternikmati. 




Sri Qadariatin
Maafkan, saya sudah tak ingin menulis…

Andaikan saja dia seorang penyanyi saya akan berjoget paling depan, andai saja dia seorang perawat setiap hari saya akan sakit, andai saja ia pekerja restourant,  tiga kali sehari saya akan  makan di sana, andai saja ia seorang petani  saya akan meminta ayah membelikan sawah di samping sawahnya, kalau ia seorang aktor dengan A besar biarkan saya menjadi penonton dengan p kecil saja. Cukup menonton bersanding pacar seperti penonton yang lainnya. Simpelnya jadi fun’s aja deh. Maafkan, saya sudah tak ingin menulis pementasan yang terakhir ini.

Itulah rencana saya sebelum melihat pementasannya. Ternyata melenceng tidak sesuai dengan rencana. Saya menangkap sesuatu. Pementasan tersebut bukan apa adanya atau ala kadarnya, juga bukan sederhana dan jelas tidak mewah yang wah. Saya juga tidak ingin membahas tentang bentuk-nya tetapi lahirnya suatu bentuk. Ini bukan masalah selera atau image bentuk dari kreatornya tapi ide yang tumbuh dan rajin disirami, dan terus membangun bentuk lewat intensitas dialog, cara baca karakter teks dan seterusnya hingga terbangun suatu kerangka pikir –artistik– yang saling mengkait rapat dalam mewujudkan bentuk. 

Dalam pementasan Sri Qadariatin terbaca ide yang lebih pada pengolahan  bukan penyelamatan. Jika benar hal ini adalah persoalan sensibilitas kata maka ia menawarkan suatu gagasan yang berangkat bukan dari perlawanan atas kelemahan sensibilitas kata-nya. Ia tidak menolak kelemahannya justru menerima kelemahannya yang malah memunculkan nilai tawar dengan pilihan ruang dan benda-benda. Ruang tidak sekadar menjadi tempat, tapi  menyiratkan pe-nilai-an dari sensibilitas kata yang dapat diolah dengan kedekatan dan suasana cair tapi fokus. Kehadiran stage-mixe juga tidak mengganggu tata ruang dan akting pemain, tapi malah membantu vokal dan aktingnya. Ia dapat bertutur dengan nada dan karakter verbal yang sesuai dan tidak berlebihan. Benda-benda seperti stage-mixe, aqua, kursi, kotak, kabel menjadi elemen yang berkarakter dan membangun relasi. E e, Pemusiknya malah di-propertikan, sekejab karakternya jadi berubah lucu. Peristiwa pentas menjadi efek dari sebuah ide dasar yang tumbuh, termasuk iringan musiknya. Latar belakang panggung-nya sengaja tidak saya bahas karena membuat saya menjadi seperti anak-anak.

Ia melahirkan suasana yang biasa-biasa saja namun memuat isi dan kejelian yang kuat. Kisah Erendira dan angin petakanya menjadi komunikatif lewat gerak dan tutur-nya, meski tidak dengan seperangkat tumpukan alat dan visual yang hebat. Sayang, permasalahannya ada pada si Aktor yang masih ingin dilihat cantik (bukan karena tuntutan naskah). Perihal ingin dilihat cantik dapat disangkal karena kadang aktornya tak sadar, tapi diam-diam hal itu menyusup di bawah sadar-nya. Kemayu…..! hehehe…   

Wajah Pribumi
Saya tidak mengatakan pementasan Sri Qadariatin bagus, juga tidak menuntut bentuk pementasan yang semacam itu menjadi hal yang ‘seharusnya’ atau menganggap pementasan tersebut sesuai dengan selera saya. Setidaknya lewat pementasan ini dapat menjadi daya tarik dalam sebuah proses penciptaan. Bahwasannya kelahiran suatu bentuk (meliputi elemen-elemen dalam panggung) bukan semata langsung menjadi bentuknya dan asal tempel saja. Kehadiran teknologi modern di atas panggung pementasan bukan sebuah hiasan –artistik– belaka atau kosmetik panggung yang memoles latar verbal dan tidak harus ada dalam teater masakini/kontemporer. Jika hadirnya alat-alat visual modern – semacam pidio at yang kini menjamur – hanya diartikan sebagai syarat kemajuan atau loncatan teater dalam suatu bentuk, hal ini dapat menghilangkan nilai aktor dengan A besar dan teknologi hanya menjajah teater saja. Parahnya lagi akan terjadi suatu kekaprahan dalam memandang teater mutakhir.

Terciptanya suatu bentuk dengan seperangkat sekenografinya, bukan pula hadiah gratis dari “sang guru” yang pernah mengajari dan melakoninya. (Bukankah lakon yang sama jika digarap oleh sutradara yang berbeda akan menghasilkan realita yang berbeda pula?) Ia (penciptaan) tetap melalui pengolahan ide dalam prosesnya saat ada semacam kerangka dasar ide yang terus tumbuh, digarap saling menjaga –tidak dihindari– terjadinya benturan, konflik, dan saling mengkait, meski dalam perjalanannya dapat pecah berkeping-keping, sesuai nilai tawar ide yang paling berpotensi menghasilkan nilai baru dalam penciptaan bentuk yang tidak pasti. Dalam hal ini saya tidak membaca bentuk teater verbal atau visual, tetapi saya membaca-nya sebuah proses penciptaan teater yang berbasis pandangan dialektik, eh, tepatnya pandangan saya tentang solo project aja. Bahwa “Kemandirian” aktor dimaknai sebagai kesadaran Aktor akan adanya kerangka berpikir kreatif, dan dari pengalamannya ia menyusun sistem pengetahuan dalam membangun relasi antar elemen-elemen lain, untuk mewujudkan ide-ide-nya lewat proses penciptaan – dialog. Maka aktor tak lagi gagap membaca wacana pertunjukan, bergantung pada sutradara, dan kaprah menilai fungsi aktor dan sutradara dalam proses penciptaan. (Saya menjadi cemas sendiri dan tidak bermaksud menggurui) Entahlah, mengapa saya merasa emosi sendiri dan seolah pementasan yang terakhir ini menjadi kambing hitam atas persoalan saya pribadi. Sebenarnya saya tidak tahu benar apa yang sudah saya katakan, jika kurang atau salah tentu akan saya perbaiki supaya lebih lengkap. Tentu akan saya tunjukan pada teman saya (Penonton waktu pentasnya mbak Naomi) yang sudut pandangnya menjurus pada peng-kelas-an, terlalu ideologis, sok kontemporer dan menyebalkan. Maafkan, maafkan dan maafkan jika saya ada kepentingan dan kurang tulus dalam mengapresiasi pentasnya mbak Uung.            
 

*          *          *




Gagal menjadi – Epilog

Menjadi aktor itu sulit, menjadi sutradara itu ribet.  Menjadi Aktor sekaligus sutradara dalam proses penciptaan? Jawabannya: Sulit banget, titik. Kata Suyatna Anirun: Tidak ada konvensi yang jadi petunjuk, bagaimana seseorang harus menyutradarai teater. Semua berpulang pada manusianya, sekalipun pada awalnya secara teknis berada pada langkah yang sama, yaitu mencari-cari, pada tahap selanjutnya berkembang sesuai latar dan obsesi sendiri-sendiri. Tapi kalau kata Peter Brook yang juga di kutip Suyatna, inspiratip lho “Dalam menghadapi lakon apa saja yang kugarap, aku selalu memulainya dari dorongan-dorongan tak berbentuk yang berhubungan dengan garapanku. Aku tak punya teknik. Dari dorongan-dorongan tak berbentuklah aku menggarap ide-ide yang muncul.”

Dapat saya bayangkan kesulitan, kekhawatiran dan keresahan para Aktor, juga yang terlibat dalam proses pementasan solo project. Kalau saya menjadi Pelaku, tentu juga akan mengalami hal yang sama bahkan hasilnya tak menjanjikan dan cenderung wagu. Kalau disuruh memilih, saya lebih senang menjadi Pelontar ide awal solo project ini dan selanjutnya akan melontarkan program Rekreasi bersama keluar kota atau ke pantai – yang nggak usah mikirin teater. Asyik-asyikan dulu aja deh!

Pada akhirnya saya tidak berkeinginan membuat  pemetaan pertunjukan tentang apa yang telah saya lihat, karena memang tidak ada – yang menyuruh membuatnya. Sebagai penutup saya akan sedikit membuat semacam benang pementasan supaya lebih enak menjadi penutup.

Dari awalnya saya tak begitu menghiraukan apa yang terjadi setelah pementasan dan mungkin komentar-komentar di atas hanya menjadi kebenaran/kesalahan saya saat itu. Karena saya tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dalam diri setiap Pelaku.

Setiap pementasan adalah peristiwa yang memiliki nasib-nya sendiri-sendiri sesuai dengan nilai fungsi bagi semua yang terlibat dalam proses maupun penikmatnya. Satu sama lainnya mempunyai nilai masing-masing dalam proses perjalanan dan berdiri gagah beriringan dengan daya kreatifitas-nya.

Dalam pementasan solo project, tak dapat saya lihat ukuran yang benar-benar dapat menjelaskan bagus tidaknya seorang Aktor dalam proses penciptaan. Kalau berhasil sih semuanya saya rasa sudah berhasil (ada hasilnya).

Dan solo project bukan segalanya. Yah, memang demikianlah adanya. Lantas bagaimana nasib pementasan-pementasan tersebut? Akankah menjadi semacam preparat dalam Laboratory of  Theatre Creation? Atau…As, mbuh! 

Teater Garasi, Yogyakarta – Indonesia, April – Mei – Juni 2007

      salam dan hormatku,


      andy sri wahyudi
sang pemberantas cinta pertama




Tidak ada komentar:

Posting Komentar