Jumat, 15 April 2011

Pentas Komunitas Wayang Suket Ki Slamet Gundono


Serat Cabolek, Srekalan Mutamakkin, Wirid Ngundang Bima Suci 
oleh: Andy Sri Wahyudi
Padepokan Pagutan, Tegalrejo, Magelang, 26 Juni 2007.
Malam itu di halaman luas yang banyak ditumbuhi pohon kelapa, kursi-kursi lipat warna merah berjajar rapi menghadap panggung di pojok halaman. Anak-anak kecil berlarian di antara jarak kursi dan panggung yang merentang 10–15 meter. Suasananya seperti perayaan hari kemerdekaan. Acara ini dikemas dalam serangkaian pementasan: Malam Seni Pesantren yang bertajuk Menegakkan Nilai-Nilai Islam Mewujudkan Perdamaian Semesta. Susunan acara terdiri dari pembacaan puisi, geguritan dan orasi budaya serta pementasan seni tradisi Dayakan dan Mondolan (tari kolosal dengan gerak rampak). Rentang jarak antara panggung dan kursi menjadi arena pementasan.

Wayang Suket merupakan puncak acara dalam rangkaian pementasan malam itu. Sekitar pukul 21:30 WIB, saat pertunjukan Wayang Suket akan dimulai, penonton berduyun-duyun mendekati panggung sambil menenteng kursi. Sementara  panggung masih tampak sepi, diterangi lampu warna merah yang menyala remang. Penataan setting sangat sederhana, khas Wayang Suket. Panggung yang berukuran 5 x 4 meter itu berlatar kain hitam, beralaskan karpet warna merah dan tepi panggung dikelilingi jerami yang tertata acak. Ruang panggung dibagi menjadi dua bagian, peralatan musik dan properti pentas berada di bagian belakang, ruang pemainan aktor di bagian depan. Kerangka pintu berbentuk lengkung yang menggambarkan tempat sholat imam di mushola, berada di pojok ruang permainan.

Peristiwa dan Narasi Awal di Atas Panggung
Saat lampu panggung mulai menyala terang, seorang umat (Widodo) menggelar tikar menghadap kiblat (kerangka pintu lengkung), bersila sambil salawatan. Disusul dua umat lain (Waluyo dan Priyo) yang segera mengikuti irama salawat. Seorang pengembara lugu berpakaian kumal (Sosiawan Leak), nyelonong masuk mushola tanpa melepas alas kaki.
Ketiga umat mengira sang imam telah datang. Salah seorang langsung menyerukan qomat tapi terpotong setelah tahu yang datang bukan imam. Rupanya si pengembara tidak tahu kalau tempat itu adalah mushola, mungkin ia hanya ingin sekadar berteduh saja. Wajahnya tampak bingung saat ketiga umat memarahinya, terpaksa ia berdalih kehabisan air wudhu. Akhirnya si pengembara disarankan bertayamum dengan mengusapkan alas kakinya pada bagian tubuh  yang biasanya dibasuh air.

Imam (Max Baehaqi) yang datang hendak memulai shalat juga terganggu kedatangan pedagang burung (Hanindawan) yang membawa sangkar burungnya. Ia khawatir burungnya hilang jika ditaruh di luar mushola. Suasana mushola semakin ramai dengan polah tingkah dan perdebatan dalam menyelesaikan masalah.
Adegan-adegan awal merupakan komedi kontroversi comical, antara keluguan dan aturan yang disucikan, antara kenyataan dan norma agama. Aktor membangun suasana panggung dengan kekuatan karakter tokoh dan improvisasi dialog yang liar. Lewat suasana panggung itu pula, setting yang berupa mushola menjadi kabur, seolah ada kebenaran lain dalam memaknai fungsi tempat ibadah: sebuah tempat pertemuan yang akrab dalam mencari solusi masalah ke arah damai, bukan bangunan fisik yang mendapat legitimasi kesucian semata. 

Meskipun hanya mengandalkan elemen keaktoran, aktor dapat menguatkan peristiwa di atas panggung yang mengundang tawa penonton. Pertentangan karakter antar tokoh menjadi narasi awal untuk memasuki esensi cerita.

Riwayat Kyai Mutamakkin  dalam Tutur dan Adegan
Ki Dalang Slamet Gundono dating, mengajak umat salawat bersama dengan iringan musik gamelan agar syair pujian itu lebih indah. Para aktor yang semula berperan sebagai umat, bergegas menempatkan diri menjadi pemusik.
“…ngraketna paseduluran antaraning umat lan kyai, antaraning seniman lan umat, antaraning kyai lan seniman…” (…mempererat persaudaraan antar umat dan kyai, antar seniman dan umat, antar kyai dan seniman...)

Demikian petikan lagu yang mengawali cerita, ditembangkan oleh Ki Slamet Gundono dengan logat Banyumasan. Seperti biasa, Ki Dalang duduk berkalung microphone dan alat musik kencrung. Syair-syair lagu berpadu dengan irama musik gamelan dan rebana.  Kadang musik keluar dari mulut (acapella) yang sengaja digarap “ngawur” dan mengarah ke suara yang terdengar konyol. Pemusik juga memunculkan gerak bergaya kekanak-kanakan seiring irama musik.
Sesudahnya Ki Dalang berdiri, bercerita tentang riwayat Kyai Mutamakkin dalam bahasa jawa Banyumasan dengan gaya tutur ditembangkan.

“Hiduplah Kyai Mutamakkin dari desa Cabolek, Tuban pada abad 17 masa pemerintahan Kasunanan Surakarta. Ia mempunyai cara dan sudut pandang lain dalam menyampaikan ajaran ke-Islam-an. Selain Al-Qur’an ia juga mengajarkan serat Dewa Ruci pada santrinya. Banyak orang datang kepesantrennya, mendaftarkan diri menjadi santri. Akan tetapi, cara pandangnya membuahkan benci dari ulama lain. Ia difitnah memelihara anjing dalam pesantrennya”.

Saat itulah dua orang pemusik (Widodo dan Waluyo) yang masih mengenakan sarung dan peci berubah peran menjadi anjing, merangkak sambil menyalak mendekati Ki Dalang yang memerankan Kyai Mutamakkin. Anjing yang bernama Abdul Kohir dan Qomarudin itu sangat penurut dan disayangi Kyai Mutamakkin. Kedua anjing itu berkomunikasi dengan Kyai Mutamakkin dalam bahasa anjing. Adegan ini tak henti-hentinya mengocok perut penonton dan membuat anak-anak yang duduk di dekat pangung berlari ketakutan, saat kedua anjing itu merangkak ke arah mereka. Tiba-tiba datanglah seorang utusan dari Kasunanan Surakarta yang membawa surat panggilan. Kyai Mutamakkin akan diadili karena ajarannya dianggap menyimpang aturan. Para ulama di wilayah Kasunanan telah bersekongkol menuntut Kyai Mutamakkin di pengadilan. Salah satunya adalah Khotib Anom, ulama dari Kudus yang sangat membenci Kyai Mutamakkin.

Ki Dalang kembali bertutur lewat tembang, bercerita tentang Kyai Mutamakkin yang dibenci ulama lain karena ajarannya. Ia dianggap mengajarkan "ilmu hakikat" pada para santrinya. Ilmu yang ditabukan dan dianggap sesat oleh ulama lain. Sementara, musik gamelan terus mengiringi cerita, berpadu dengan suara kencrung yang dimainkan Ki Dalang.
 
Maka berkumpulah para santri dari berbagai pesantren di alun-alun, hendak menyaksikan proses pengadilan Kyai Mutamakkin. Seorang santri dari Jepara (Max Baehaqi) muncul memperagakan keahliannya sebagai santri yang memiliki ilmu kekebalan. Ia mencacah-cacah tubuhnya dengan sabit (bagian yang tumpul), dengan lagak jumawa. Datang santri dari Rembang (Waluyo) memamerkan ilmu sulapnya, hanya dengan mengatakan “Bismilahirrohmannirohim” ia sanggup mendatangkan uang. Hal itu dipraktikan oleh santri dari Jepara, ia baru mengucap kata “Bis” saja, uang seratus ribu sudah ada dalam sakunya. Kemudian datang santri dari Kudus (Sosiawan Leak), berjalan melenggang seperti perempuan. Dengan nada bicara dan gaya feminim, santri ini bercerita perihal dirinya. Jika pesantren dari Jepara dan Rembang memiliki ekstrakurikuler ilmu kekebalan dan sulap, maka ekstrakurikuler pesantren Kudus adalah merakit bom. Suatu ketika ia diutus untuk mengebom sebuah tempat, tapi naas, bom dalam saku celananya meledak. Maka jadilah ia seperti perempuan. Ketiga santri tersebut bersepakat membentuk kelompok SFC (Santri Fun’s Club). 

Beberapa saat, datang santri dari Tuban (Priyo), murid Kyai Mutamakkin. Raut mukanya tampak tulus dan bersahaja. Rupanya telah terjadi diskriminasi, santri dari Tuban selalu diperolok karena ekstrakurikulernya hanya menabuh gamelan dan membaca Serat Dewa Ruci. Percakapan para santri berlangsung agak lama dengan dibumbui improvisasi guyonan, sampai tiba waktunya persidangan dimulai. 
 
Sepanjang adegan tersebut musik menjadi elemen pelengkap yang mewarnai peristiwa. Panggung kembali didominasi aktor dengan permainan karakter dan improvisasi  dialog. Salah seorang aktor  (Sosiawan Leak) terlalu over dalam memainkan karakter dan aktingnya, sehingga mendominasi permaianan. Aktingnya sering lepas kontrol, membuyarkan konteks cerita dan suasana menjadi sangat cair.  Panggung tak ubahnya seperti warung makan, tempat pertemuan dan bebas berkelakar.       
      
Dua Teks yang Bertautan Menuju Klimaks
Pada pertengahan cerita mencuat penggalan teks baru, Serat Bima Suci. Musik mengiringi Ki Dalang yang berjoged sambil bercerita lewat tembang. Media wayang yang dibebat kain muncul sebagai gambaran tokoh.
“Bima berjalan menuju sungai, hendak menenggelamkan diri namun Hanoman terus saja menghalanginya. Hanoman menarik-narik kaki Bima, melarangnya memasuki sungai. Ia khawatir Bima akan binasa dalam air sungai. Bima murka pada Hanoman dan dihempaskan tubuh Hanoman dengan kakinya”
***

Para aktor dan Ki Dalang berakting, melengkapi kostumnya dengan ikat kepala ala ulama. Peran berganti, Leak yang semula memerankan santri dari Kudus beperan menjadi Khotib Anom, Hanindawan sebagai Kyai Mutamakkin, Ki Dalang sebagai Demang Murawan. Masing-masing memperkenalkan dan membanggakan dirinya, kecuali Kyai Mutamakkin.
Dua santri (Widodo dan Waluyo) pengawal Khotib Anom mengambil properti: dua meja kecil (meja pengadilan). Panggung berubah menjadi ruang pengadilan. Kyai Mutamakkin berpakaian serba hitam datang tanpa pengawal. Khotib Anom dan kedua santrinya memperolok Mutamakkin, menyuruhnya mengambil meja pengadilan sendiri.
 
Suasana pengadilan diwarnai perdebatan antara Khotib Anom dan Kyai Mutamakkin. Kohtib Anom yang berperangai kasar berusaha menyudutkan Kyai Mutamakkin dengan tuduhan memelihara dua anjing. Kyai Mutamakkin menjelaskan, bahwa anjing (asu) hanyalah gambaran nafsu buruk manusia yang harus dijaga dan dirawat sebagai upaya pengendalian diri. Demang Murawan yang menjadi hakim dapat menerima penjelasannya. Ia menetapkan tak ada aturan hukum untuk mengadili Kyai Mutamakkin. Khotib Anom semakin emosi tak terkendali. 

Adegan dalam persidangan lebih tertata ketimbang adegan-adegan sebelumnya. Elemen-elemen panggung menjadi satu dalam kontruksi peristiwa pentas. Dialog terucap dalam bentuk tembang jawa laiknya sebuah operet, aktor membatasi dirinya dalam berimprovisasi. Guyonan yang muncul berpijak dari konteks cerita, bukan sekadar improv. Menjelang akhir adegan, terlihat perpaduan antara irama musik, gerak dan tembang. Meja menjadi properti yang hidup saat turut dimainkan aktor sambil berjoged. Namun, mulai adegan ini penonton tak lagi berantusias melihatnya. Seputar panggung yang semula dipadati sekitar empat ratus penonton lebih, tampak semakin berkurang. Satu persatu dan serombongan pergi meninggalkan panggung, mungkin mata penonton sudah lelah karena banyak pementasan yang berlangsung sebelum pertunjukan ini.

***
Ki Dalang bertambah ekspresif menyampaikan esensi ceritanya, memainkan wayang dan bersuara lantang di tengah panggung. Ia mempertautkan dua teks peristiwa, antara kisah Mutamakkin dan cerita Bima Suci. Cerita melebur menjadi satu teks ketika Mutamakkin bersama Bima memasuki sebuah perjalanan mencari suatu hakikat akan pandangan hidup dan kebenarannya. Keduanya menjadi zat yang tak terpisahkan dalam titik klimaks peristiwa.
Kemudian alur cerita kembali berputar dari awal. Rupanya peristiwa yang datang silih berganti, hanya sebuah penantian menunggu seruan qomad muadzin. Umat bergegas merapikan pakaian, berdiri berjajar membentuk saf sholat. Pertunjukan yang berdurasi satu setengah jam itu berakhir saat Imam membacakan surat Al-Fatihah yang diakhiri suara umat bersamaan: Amiiiiin.

Memang, peristiwa yang terbangun lewat pementasan tersebut menjadi sebuah nilai tawar. Ia berdiri sebagai bentuk kesenian yang terbuka di tengah lapisan masyarakat, baik penikmat seni tradisi maupun modern. Pementasan Wayang Suket yang menggarap karya R. Ng. Yasadipura I (1729-1803) telah menciptakan ruang dialog antara kiai, seniman, tokoh masyarakat, santri dan warga sekitar yang hadir malam itu.Memaknai pluralitas menuju hidup yang lebih bermutu. Namun sayang, penggarapan artistik pertunjukan Wayang Suket “Serat Cabolek, Srekalan Mutamakkin, Wirid ngundang Bima Suci”, tidaklah banyak perubahan dari bentuk repertoar sebelumnya. Nilai pertunjukan berhenti menjadi tontonan, sudah tak lagi menantang dalam eksplorasi bentuk teaterikal.

Yogyakarta, 2007
Andy Sri Wahyudi

dimuat di Web Yayasan Seni Kelola

Tidak ada komentar:

Posting Komentar