Jumat, 15 April 2011

Pentas Teater Orok, Bali


Berita Datangnya Transformasi
Oleh: Andy Sri Wahyudi, Pegiat seni pertunjukan, tinggal di Yogyakarta

Adalah tiga kursi yang ditata berhimpitan saling membelakangi: menghadap depan, samping kanan dan kiri. Tiga perempuan anonim (Ni Nyoman Prani U., Ketut Ayu Triana S., Ni Made Rena Prilian) berkostum hitam ketat dan bermake-up tipis tengah tidur  di atas kursi-kursi itu, dan diterangi lampu warna merah. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi jam wekker yang membangunkan  mereka bertiga. Aktifitaspun segera dimulai, dua perempuan tampak sibuk berbenah diri dan membuka buku-buku, lalu memasukannya ke dalam tas. Sementara, salah satu perempuan tampak masih tiduran, lantas dibangunkan secara paksa dengan ditarik kedua tangannya oleh dua perempuan yang sudah bersiap. Akhirnya mereka bertiga bergegas berangkat ke sekolah.
Formasi kursi segera dirubah berjajar kesamping, dan tiga perempuan itu duduk mengeluarkan buku-buku dari dalam tas. Mereka mengikuti mata pelajaran dengan santai. Panggung yang telah berubah ruang kelas itu tampak ramai oleh tingkah polah tiga perempuan: saling mencontek, mengganggu teman, dan malasan-malasan. Namun sesekali mereka terdiam, gerak tubuh mereka tampak seperti sedang diawasi oleh seorang guru meski tokoh guru hanyalah imajiner.
Dua adegan tersebut merupakan peristiwa awal dari repertoar  Transformasi yang dibawakan oleh Teater Orok Universitas Udayana Bali. Pementasan berlangsung pada tanggal 21 Oktober, di Art Centre, Jl.Nusa Indah, Denpasar, Bali. Ketiga aktor anonim tersebut membuat peristiwa tanpa bahasa verbal, melainkan dengan bahasa tubuh. Mereka menggambarkan peristiwa dengan ketrampilanya sebagai aktor lewat mimik, gestur, dan gerak tubuh (pantomim). Sedangkan ruang disimbolkan dengan properti  tiga kursi yang ditata saling membelakangi. Penataan kursi menggambarkan tiga kamar kos yang berdekatan. Dalam adegan kedua, ruang kelas digambarkan dengan penataan tiga kursi berjajar menyamping. Kedua adegan tersebut menggambarkan realitas keseharian anak-anak muda yang tengah bersekolah di kota. Adegan dipresentasikan dalam bentuk gerak realis yang dibumbui aksen komikal.
Permainan  aktor dalam dua adegan masih tampak tergesa dan kurang detail dalam menggambarkan benda-benda imajiner, sehingga mengaburkan konteks yang hendak dibangun. Sedangkan musik tidak dimaksimalkan untuk membangun suasana, hanya dijadikan penanda waktu dan pengiring adegan. Hal tersebut membuat adegan awal yang seharusnya seru jadi terasa datar dan kurang memikat. Kursi yang semula terlihat potensial untuk diolah secara multi fungsi sebagaimana dalam adegan awal, ketika kursi difungsikan sebagai tempat tidur, menjadi terasa kurang adanya sentuhan eksplorasi dari para aktor lantaran kursi sekadar dijadikan tempat duduk dan penanda ruang saja.

Refleksi Perubahan
Memasuki adegan ke tiga, ketiga aktor mulai dirundung resah yang digambarkan lewat gerak teaterikal. Dalam adegan ini  mulai terasa adanya konteks baru yang tengah tumbuh di atas panggung. Mereka seperti barada dalam ruang pergaulan bebas yang menenggelamkan cita-cita dan semangat awal dalam belajar. Tubuh-tubuh aktor menggeliat cemas dan berjalan sempoyongan, bahkan ada yang jatuh tersungkur tanpa daya di lantai. Tubuh mereka seperti tubuh yang sedang kecanduan. Sementara, panggung tak lagi kentara  penggambaran ruangnya, suasana  berubah kacau, ruang menjadi misteri sisi gelap kehidupan generasi muda. Generasi yang dimanja kenikmatan fasilitas berupa uang dan teknologi, yang menumbuhkan keinginan untuk terus mencari kepuasan. Adegan tersebut membentuk sebuah konteks yang sangat jelas: transformasi atau perubahan. Adegan ini merupakan  titik memasuki esensi cerita dan isu yang hendak diusung oleh teater Orok.
Setelah kekacauan dan keresahan itu berlangsung selama beberapa menit, berangsur-angsur keadaan berubah hening. Sesosok perempuan (Linda Arista P) muncul, berjalan perlahan di bawah  keremangan lampu oranye menuju ke tengah pangung. Ia berbicara sendirian, sedangkan ketiga perempuan yang lain telah hilang, pergi entah kemana. Sosok perempuan itu bukan siapa-siapa, ia jelmaan dari perasaan dan pikiran yang tengah tersesat di dalam ruang tak dikenal, ia tengah meracau tentang keresahan atas perubahan. Tiba-tiba ketiga perempuan muncul lagi, masing-masing membawa sebingkai cermin, sambil berjalan mengelilingi sosok perempuan yang terus meracau. Bingkai-bingkai cermin itu memantulkan cahaya lampu  yang menyilaukan mata sosok perempuan, dan ia tak bisa lagi menghindar. Ketiga perempuan itu terus berjalan mendekat hingga sosok perempuan itu merunduk dan terdiam. Suasana kembali hening.
Dari kejauhan terdengar suara yang mengabarkan berita-berita perihal datangnya modal besar yang mengusung alat-alat berteknologi canggih lengkap dengan gaya hidup baru. Berita yang membawa keresahan akan datangnya transformasi atau perubahan yang tak dapat ditolak. Sebuah perubahan yang hendak menggusur nilai-nilai luhur yang telah terbangun sekian lama. Semua bakal terseret derasnya arus transformasi yang membabibuta menggerus mental, moral, dan idealisme generasi muda. Seolah hidup telah dipetakan untuk mengabdi pada kekuasaan materi dan pemilik modal. Hanya orang-orang yang selalu terjaga dan waspada yang dapat bertahan dan terus merefleksikan perubahan untuk menjadi diri sendiri sebagai manusia yang berjati diri.
Pada adegan ke tiga dan keempat, permainan aktor tampak intens dan bergairah dalam membangun peristiwa. Gestur dan gerak tubuh para aktor secara perlahan merubah permainan lebih dinamis dan bernuansa teaterikal ketimbang adegan pertama dan kedua. Penonton yang berjumlah puluhan itupun semakin intensif menyimak pementasan yang berdurasi sekitar empat puluh menit itu hingga akhir adegan.

Sepuluh Tahun Teater Orok
Transformasi merupakan karya yang digarap oleh para pelaku yang terlibat dalam pementasan, baik secara konseptual maupun teknis. Transformasi juga sebagai  pementasan puncak dari rangkaian acara ulang tahun teater Orok ke sepuluh. Teater yang dibidani oleh Curekz dan Giri Ratomo, anak muda yang masih aktif di jagad tater Bali, ini resmi berdiri tahun 1999. Selama sepuluh tahun telah menelurkan beberapa karya, diantaranya: Trilogi Sang Kelam, Takoet, Lawan Catur, Dor, Charlie, Mencari Hidup Baka.
Lantas sejauh mana pengaruh karya Transformasi dalam tubuh Teater Orok sendiri yang notabenenya teater kampus, yang identik dengan masalah klasik perihal regenerasi, birokrasi, prioritas antara teater dan tuntutan akademis. Apakah akan ada transformasi yang menyentuh ranah menejemen dan penciptaan karya, atau malah gagap menghadapi tansformasi?
Maka tetaplah terjaga dan waspadalah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar