Sabtu, 16 April 2011

api api dari perasanku


catatan buat on

1
ada telaga yang ditembus bulan dan bintang, di sekelilingnya ramai gosip peri-peri hutan. dan hantu-hantu sedang menari sambil menabur biji-biji api yang akan meluruhkan seluruh resah di taman-taman itu...
2
mereka tidak tahu kita sedang membuat bahasa yang meresapi kapiler rahasia-rahasia dan meninggalkan mereka yang datang dari negeri kebingungan. mereka yang bertubuh karatan dan berjubah hitam-hitam. mereka yang tak peduli bahasa api.
3
ada hujan asing di sebuah malam sebelum marah. hujan dari jauh tempat ayah dan ibumu ciuman pertama kali. seperti kita yang pernah menanam cinta di sepetak kebun kecil. dan membiarkannya tumbuh seperti kota di bawah pegunungan. kota yang mencatat masa kecilmu.
4
di halaman benteng kolonial, tepat di bawah pohon kamboja telah berguguran cerita remaja yang berkarakter kacang goreng. kemudian malaikat-malaikat kecil berdatangan, mereka asyik menulis puisi di rambutmu yang tersisir lugu. lalu menyalakan lentera-lentera di sekeliling kita sambil memukuli bayang-bayang dan merancang pesta kecil-kecilan.    
5
aku tak bisa menyentuhmu, karena tubuhmu telah ditumbuhi duri-duri, dan mulutmu bau minyak tanah yang mebuatku takut terbakar. cukup satu kali pancaroba menghuni tubuhku selama beberapa menit ini. mungkin esok kamu akan menguap bersama bau sampah dan wajah plastikmu yang tak juga meleleh. aku akan bertapa di pucuk daun jambu muda, mencairkan seluruh  goresan dari bibirmu. esok pagi kubawakan daun-daun untuk mengubur tubuhmu dan merubah duri-duri menjadi pelangi.
6
konon jika para bidadari sedang datang bulan, pelangi seperti terbakar api. setan dan iblis lari tunggang langgang; dewa-dewa muda sembunyi di balik awan awan. mereka kawatir langit akan menyala membakar catatan harian yang setiap hari mereka sirami dengan kata hati. seperti bulan ini yang sedang datang bulan, membuatku berjalan lamban melewati jembatan kayu di atas deras sungai. merasakan tempias dari arus kacau sambil membasuh basah yang terus bingung mencari kata hati yang masih bersembunyi di balik datang bulan dan sandiwara para bidadari.
7
aku ingin melemparmu dari ranjang kamarmu, dari nama-nama api,  ke sebuah taman sebelum firdaus atau taman-taman yang belum pernah kita kunjungi. atau mengajakmu tamasya ke sebuah gereja berwarna ungu dengan seribu lobang oksigen. gereja tanpa ornament deus ex macina!
8
ada letupan-letupan kecil yang kurasakan dalam tubuhku. entah dari mana datangnya, apa kepentingannya aku tidak tahu. tapi aku membaca ia akan segera merubah sel-sel tubuhku. aku ingin membunuhnya tapi aku tak kuasa melawannya. ini benar-benar anjing! letupan-letupan itu mengeluarkan warna dan karakter yang tak kukenali namanya. berminggu-minggu letupan itu masih juga menyerangku, ia  membuat teralis tembaga di seputar mata dan otak-ku. ia seperti penguasa tiran di negara tubuhku yang memonopoli segala keinginan dan nafsu makanku. tak ada lubang-lubang yang dapat menjebak lalu menguburnya. ia kubiarkan hidup berletupan menjadi api di pembuluh darahku, membentuk artikulasi bunyi hingga meletup tepat di jantungku.
9
hampir saja aku terjungkal dan mati dalam pelukanmu, tapi dewa para binatang segera datang menyuntikkan darah ular kobra lewat pori-pori kulitku. darah yang merubah diam menjadi pertarungan-pertarungan irama nada. lalu mendentingkan gelombang bunyi hingga meresapi nafas dan garis-garis buku menuju titik dua dan terus menyala seperti damai yang sulit kulukiskan…seperti kebohongan yang susah kulafalkan
10
melepaskan semua baju dan aksesoris waktu itu, tak semudah menggoreng tempe atau membantu ibu membersihkan meja makan. tapi aku tidak tahu mengapa kamu menjadi udara setelah aku kerasukan malam itu, dan suka sendirian. setelah kalimat itu tak dapat kubaca lagi.kalimat yang itu itu.dan kamu belum juga bisa membuat roti tart.    
11
tiba-tiba saja aku merasa lebih merdeka dan tak lagi kupunguti kenangan, kubiarkan dimakan kucing atau pergi bersama marah manismu…

solo - djogja – ambarawa – semarang 
juni-desember 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar