Jumat, 15 April 2011

Pentas Tari Independent Expression

Tari dari Kesendirian
Oleh: Andy Sri Wahyudi, Pegiat seni pertunjukan, tinggal di Yogyakarta.

Kesendirian menjadi titik berangkat ide kreatif. Pertunjukan ini menyokong lahirnya impresi atas tubuh-tubuh.
    Asyik dengan diri sendiri memang terasa menyenangkan dan nyaman, namun tak terasa menjauhkan diri dari interaksi sosial dan alam. Dan keasyikan itu pun akan berubah menjadi kesendirian. Disadari atau tidak, kesendirian akan menumbuhkan pertanyaan tentang eksistensi diri: “aku.” Dari kesendirian itulah munculnya kepentingan pribadi, egoisme, dan ketidakpedulian yang berakibat rusaknya harmoni kehidupan sosial dan lingkungan alam.
    Berangkat dari kegelisahan itu, Agus Margiyanto, koreografer muda asal Solo mengekspresikannya dalam koreografi tari, Sebuah Perspektif Kesendirian. Dipentaskan dalam acara Voyage of IE IV di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, 31 Mei lalu. Ruang pementasan didesain seperti suasana kafe, panggung dibagi menjadi 4 ruang. Bagian belakang ditempati para pemusik yang berkostum hitam putih dan berrompi ala waitress kafe. Di bagian samping kanan ada sebuah ruang berukuran 3x3 meter, terbuat dari rangka kayu yang dirangkai menjadi pergola, dan karpet hijau tergelar memanjang di depannya. Di bagian kiri adalah ruang kosong yang luasnya separoh panggung teater arena. Tempat duduk penonton samping kanan panggung ditutup tirai putih transparan, sebuah ruang dengan sentuhan artistik yang berbeda dengan ketiga ruang lainnya.  Tepat pukul 8 malam pertunjukan dimulai.
    Ting...ting...ting...ting... Srek..srek..srek..srek... Suara musik mulai melantun dan cahaya lampu yang semula redup mulai terang. Seorang Lelaki  berkostum  kemeja putih dan celana panjang hitam berdiri di antara para pemusik, lalu melakukan gerakan mengangkat tangan seperti memetik buah. Ia berjalan ke samping kanan menuju ruang pergola, yang di dalamnya ada tujuh penari berkostum warna-warni. Tujuh penari itu menggambarkan bunga-bunga yang tengah merekah. Mereka berjalan ke luar ruang, lalu berjatuhan di atas karpet dengan posisi kaki diangkat ke atas dan digoyang-goyang pelan. Gerakan itu menumbuhkan imaji tentang rumput dan ilalang yang tertiup sepoi angin.
    Kemudian tujuh penari itu bergerak menuju ruang kosong, mereka menyebar dan bergerak sendiri-sendiri. Ruangan itu menjadi ramai saat mereka melakukan gerak yang berbeda-beda seiring dengan suara musik akustik. Ruang dipenuhi gerakan yang apik dan lincah. Kadang mereka membentuk formasi: berdiri berjajar dan melakukan gerakan rampak. Sementara, Lelaki itu masih berada di dalam pergola kayu, terdiam di sesela lubang rangka kayu sambil memandangi tujuh penari. Seolah melihat bunga-bunga yang bermain riang di sebuah taman.
    Tubuh Lelaki itu mulai bergerak merespon ruang ketika tujuh penari mulai bermain di dalam pergola. Lelaki itu melepas pakaian dan tubuhnya menggeliat merambati rangka kayu. Penari yang lain turut mengeksplorasi ruangan itu dengan memanjat dan bergelantungan, lalu satu persatu keluar lewat sesela rangka kayu. Mereka seperti sekawanan ulat yang merambat di tangkai pohon. Diiringi lagu Come Away With Me yang dilantunkan Norah Jones, Lelaki itu menari di antara tujuh penari, dan berkali-kali ia membenturkan tubuhnya ke rangka kayu.
    Beberapa saat kemudian ketujuh penari bergerak memasuki tirai putih, tempat yang menggambarkan  taman yang begitu luasnya. Masing-masing penari membuat pose pose tubuh di kursi panjang penonton. Di balik tirai yang transparan itu, gestur tubuh mereka tampak samar seperti terselubungi kabut. Lelaki itu memanjat batang-batang kayu dan berdiri tepat di atas pergola. Perlahan-lahan ia duduk sambil memegang batang kayu yang mencuat ke atas. Cahaya lampu yang menyorotnya meredup pelan-pelan, lalu tubuhnya hilang ditelan kegelapan.

Impresi Tubuh
    Repertoar yang hanya berdurasi 30 menit itu sanggup memancing puluhan emosi penonton. Ada yang tersenyum, juga ada yang tertawa cekikikan saat pertunjukan berlangsung. Ada yang nyeletuk, “Koreografernya sedang jatuh cinta, ya?” Sementara yang lain menyeru, “Itu tadi tariannya cocok buat orang kesepian.” Malah ada yang bilang, “Wah, penari cowoknya kelihatan kasihan, ya...?” Celetukan itu telah membuktikan adanya impresi yang sempat tertangkap penonton, atau terjadi dialog nonverbal antara panggung dan penonton.
    Di beberapa adegan muncul impresi-impresi yang menandai adanya peristiwa yang terbangun lewat koreografi gerak. Seperti adegan ketika ketujuh penari mulai menyebar dan bergerak dengan lincah. Tubuh-tubuh itu menumbuhkan impresi kebahagiaan dan kekanakan.  Lalu adegan Lelaki yang termangu sendirian saat melihat para penari bergerak lincah, tertangkap tentang kegelisahan personal yang sulit terungkapkan. Juga pada adegan Lelaki yang menari di antara tujuh penari, terasa sebuah kenyamanan dan keteraturan seperti yang didambakan dalam kehidupan modern. Hingga dua adegan menjelang akhir, ketika si Lelaki membentur-benturkan tubuhnya pada rangka kayu dan para penari bergerak menjauh ke balik tirai putih. Kedua adegan itu menumbuhkan impresi perihal ketegangan antara diri sendiri dan di luar dirinya: sosial masyarakat dan lingkungan alam yang makin menjauh. Diperkuat lagi oleh impresi keterasingan dan sepi pada akhir adegan ketika Lelaki itu duduk di atas pergola dan matanya menerawang jauh entah kemana.
    Tubuh-tubuh para penari menumbuhkan impresi yang berbeda-beda dalam beberapa adegan, dan setiap adegan saling terkait membentuk satu konteks: kesendirian! Tak terelakkan, penonton terhanyut oleh gerakan para penari, namun tak semua adegan terlihat menarik dan impresif. Kadang gerak tujuh penari itu terkesan hanya sebagai pendukung, sekadar menjadi penari latar, tak membangun konteks peristiwa. Secara teknis, ketika membentuk formasi masih tampak menghafal gerak dan blocking, sehingga kurang rampak dan berakibat lepasnya konteks yang dibangun oleh si Lelaki sebagai tokoh utama yang menggulirkan peristiwa.

Kesendirian
    Sebuah Prespektif Kesendirian merupakan pementasan tari yang dilakoni oleh para penari muda yang terwadahi dalam kelompok Independent Expression (IE). Kelompok ini berdiri di kota Solo pada bulan Februari 2002, dimotori oleh anak-anak muda jurusan tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. IE adalah wadah kreatif yang berangkat dari kebersamaan dan keinginan untuk melakukan proses pembelajaran. Wadah ini sekaligus sebagai ruang bebas pada fase perkembangan untuk pematangan diri menjadi seniman. IE telah mementaskan karya para anggotanya secara bergantian, di antaranya Suara I Bumi karya Boby Ary Setiawan, Day–Lama karya Agus Margiyanto, Suminten Edan karya Dedy Satya Amijaya. Dalam Voyage of IE IV kali ini, kembali giliran Agus Margiyanto yang menampilkan karyanya.
    Kesendirian, bagi Agus, dapat melahirkan banyak peristiwa yang berdampak dalam kehidupan. Seperti yang ia utarakan seusai pementasan,  “Bisa jadi akibat ulah dari segelintir orang yang asyik dengan kesendirian-nya tanpa didasari kepedulian, dapat mengacaukan  tatanan sosial masyarakat dan kondisi alam. Karakter dan mentalitas masyarakat yang dulunya produktif  berubah menjadi konsumeris dan hedonis ketika sawah, bukit, dan tanah tanah lapang (di kota) ditumbuhi pabrik, mall, villa, dan gedung-gedung tanpa kompromi dengan alam. Maka tak heran jika sering terjadi banjir dan kekeringan, atau bencana lain yang memakan korban.”
    Modernitas yang mengagungkan kenyamanan dan keteraturan itu, ternyata menyimpan sisi gelap yang meresahkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar