Jumat, 15 April 2011

Catatan Singkat:

Saya dan Babad Kampung

(Program Turba Festival Kesenian Jogja 2008)

Oleh: Andy Sri Wahyudi


Saya akan memulainya dari awal ketika dipasrahi sebagai tim artistik dalam program Babad kampung. Program yang membuat saya langsung bersemangat hanya karena kata: kampung. Entah, saya sendiri juga tidak tahu mengapa tiba-tiba saja bersemangat? Ah, terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan yang keluar dalam benak saya saat itu. Mungkin karena terlalu kangen dengan suasana kampung; mungkin ingin tinggal lagi di perkampungan yang padat dan kotor; mungkin saya simpati dengan program itu; mungkin saya berharap sesuatu dalam program itu; mungkin juga hanya ingin tahu saja; mungkin berkeinginan menggerakkan para muda remaja kampung untuk terus berkesenian; mungkin karena merasa senasib; atau mungkin jiwa saya memang jiwa kampungan? Duh…saya jadi merasa kawatir jangan-jangan kerja artistik saya terjebak dalam teori kemungkinan?      

Sudahlah tinggalkan saja “mungkin mungkin” itu, saya ingin mengutarakan hal yang saya temukan dalam peristiwa Babad Kampung. Semoga saya masih mengingat hal-hal yang saya temukan, yang saya jumpai, yang saya alami, dan yang sempat saya renungkan. Sepertinya terlalu banyak hal yang menyergap saya dan jauh dari bayangan.



Pertama Mengenalmu

Saya tak sempat mengingat lagi jam, hari, tanggal yang menandai pertemuan dengan kampung-kampung. Hanya pertanyaan pertama yang teringat setelah pertemuan pertama di lobby belakang Concert Hall,  saya masih belum memahami apa sebenarnya Babad Kampung itu? Nah, hal inilah yang menjadi kekurangan saya: malas untuk mengerti dan cenderung tak peduli, malas untuk mengerti secara teoritis. Saya sebenarnya sudah membaca setiap kertas yang dibagikan, tapi selalu saja tidak pernah masuk dalam benak saya. Entahlah, saya juga tidak tahu mengapa bisa demikian? Saya hanya percaya bahwa program ini positif secara visi dan misinya. Setidaknya untuk meramaikan kampung-kampung di Jogja sebagai kota yang tak dapat lepas dari unsur seni budaya. Dan Babad Kampung mencoba menggalinya lewat kampung-kampung yang selama ini dipandang minor (kampungan dan rendah) jauh dari gegap gempita laju gerak kotanya sendiri.

Maka untuk langkah awal, saya mengajak salah satu koordinator lapangan untuk mengunjungi 9 kampung yang dipilih. Ini langkah saya secara pribadi. Saya ingin melihat kampung secara sepintas saja untuk mengetahui suasananya. Keinginan saya ini untuk membantu saya dalam mengenal kampung satu-persatu. Mengenal dengan sudut pandang sendiri. Saya sempat berkenalan dengan beberapa kampung (Samirono, Tukangan, Pandeyan, Kricak, Sidomulyo, Mergangsan) juga bebarapa kampung lain yang pernah saya kunjungi sendiri (Suryowijayan, Minggiran kidul, dan Pajeksan), yang sama sekali belum saya lihat hanya kampung dolahan Kota Gede. Di kampung-kampung itu saya merasakan, menemukan, memikirkan peristiwa dan suasana yang berbeda-beda. Ada beberapa yang mengesankan dan menarik simpati, tapi ada juga yang melintas begitu saja seperti membiarkan saya lewat tanpa sapaan.
Secara pribadi saya merasakan sesuatu yang waktu itu belum bisa saya bahasakan. Kemudian saya mencoba mengikuti sesuatu itu dengan renungan-renungan kecil. Waktu itu seingatku bulan Mei akhir.

Renungan-renungan kecil itu mulai bersemi pada akhir Mei dan awal Juni. Renungan yang berasal dari pertemuan-pertemuan saya dengan gang-gang kampung, benda-benda, obrolan jalanan, arsitektural ala kampung, aturan-aturan, dan lintasan orang-orang. Saya menemukan sebuah komunikasi yang kacau sekaligus harmonis dalam suatu ekosisitem. Apa yang sedang saya renungkan itu sebagai upaya untuk memicu gagasan dalam kerja artistik di kampung. Karena apa yang saya temui dalam perjalanan awal itu merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dan saling berkaiatan. Bahwa gang adalah ruang yang diam tapi menyimpan banyak peristiwa, juga sebagai mediator yang lahir dari komunikasi dan melahirkan komunikasi itu sendiri, secara terus menerus. Lantas benda-benda, lintasan orang-orang, obrolan jalanan, saling berbenturan, dan terjadi dialog yang satu sama lainnya terus berpikir menjadi ruang-ruang kecil untuk membaca dirinya sendiri. Mungkin setelahnya akan membentuk sebuah bangunan dengan peristiwa di dalamnya. Sebuah dialog yang butuh proses kesetiaan untuk mengikutinya. Mungkinkah kampung akan mengarsiteki dirinya sendiri. Bukan dibuatkan ruang peristiwa atas dasar fungsi ruang yang itu-itu saja, tapi ruang harus benar-benar dibaca. Saya mencoba akan setia mengikuti dialog antar ruang. Sayang, saya merasa terpotong saat akan memulainya. Saya tidak tahu?



Tugas dan Dua Sahabat

Bulan Juni adalah bulan yang saya kira akan mendatangkan gegap gempita dalam menyusun kerja. Menyusun sejarah baru. Oke langsung saja: aku mencintaimu! Mencintai dengan seluruh bahasa, perasaan dan pertemuan. Tepat pada bulan Juni saya menyatakan cinta padanya; pada pertemuan yang selalu kurekam dan kugelisahkan. Dan saya punya dua sahabat yang kuharapkan dapat saling mencurahkan hati.

…sejak itu saya menjadi malas dan belum mampu untuk membahasakan perasaan dan pikiran. Sejak itu. Sejak rapat-rapat itu mendatangkan kekhawatiran saya sendiri. Kekhawatiran yang tumbuh dari tugas-tugas dan sistem teratur ndlujur seperti sudah pernah – terancang rapi dan optimis. Saya terlena, saya terayun-ayun angin yang membuat semakin melupakan datangnya sesuatu. Lupa perihal renungan kecil dan lupa telah menyatakan cinta. Saya terbawa arus optimisme yang terbangun sendiri. Tapi di lain sisi saya merasakan ada semacam jarak yang memisahkan dengan dua sahabatku. Entah mengapa saya juga tak tahu? Tapi belakangan saya curiga karena ada pembagian tugas yang terancang keren namun dalam praktek malah membuat saya bingung sendiri. Tetapi saya tetap berusaha untuk mengerti apa yang dinamakan: tugas. Kemudian saya iseng menanyakan tugas itu pada dua sahabat saya, ternyata keduanya juga bingung dan serba salah dengan tugas itu. Dan mungkin yang paling o’on malah saya sendiri yang kesulitan mencerna tugas itu. Tugas sebagai pendamping artistik.

Saya mulai terganggu dengan tugas sebagai pendamping, rasanya aneh seperti merendam cucian yang belum sempat dicuci. Ini mungkin masalah saya sendiri perihal pengertian tugas. Ah, bagaimanapun saya telah menyatakan cinta padanya. Bukan cinta dari pandangan pertama atau jalaran kulina, tapi semacam perasaan yang berjalan sendiri dan tak mau kompromi dengan pikiran. Maka saya ingin lepas dari kata tugas dan harus memilih dan memilah demi bahasa, perasaan, pertemuan dan penemuan. Rapat tinggallah rapat, dan sahabat tinggal kerinduan yang tak dapat tergapai. GO!!

Beginilah Jadinya Dalam Perjalanan
Mergangsan, Pajeksan, Kricak, dan Sidomulyo. Empat kampung: tiga kampung terpilih dan satu kampung partai tambahan. Saya tidak tahu harus bagaimana mengatur jadwal kerja artistik dan pertemuan-pertemuan? Aneh, saya tidak merasakan panik atau tergopoh-gopoh dalam menjalaninya. Tapi saya terus saja tegang. Saya lebih banyak diam dan menyerap peristiwa yang menemui saya silih berganti dari kampung ke kampung.

MERGANGSAN
Saya belum menemukan apa-apa pada awal kedatangan saya di kampung Mergangsan. Mungkin karena saya menganggap anak-anak muda Mergangsan sudah terlalu biasa menggagas dan menggarap peristiwa kesenian. Dan diam-diam saya mengharapkan proses perjalanan yang kontinyu, karena energi muda remaja di kampung itu saya rasa berlebih. Secara pengalaman sudah terbukti berkapasitas internasional. Maka langkah pertama yang saya jalankan langsung mengumpulkan para muda remaja untuk membuat garis besar pementasan yang meliputi: tema, metode penciptaan, sistem kerja, dan pernak-pernik kilasan teknis. Waktu itu dini hari hingga pagi menjelang subuh, saya dan sepuluh-an teman-teman Mergangsan ngobrol seputar gagasan. Hasil dari pertemuan non formal itu ditulis dalam kertas catatan (hasil itu direncanakan untuk penelitian sejarah kampung yang membuat saya bingung sendiri)
Setelahnya saya menunggu hasil dari pertemuan itu. Akan membuahkan gerak apa? Lama saya menunggunya. Hanya beberapa teman saja yang sering ngobrol seputar naskah drama yang ditulis oleh Gigon. Tetapi setelah Gigon pergi ke Jakarta, percakapan terhenti. Saya hanya mendengar kabar bahwa teknis pelaksanaan dipasrahkan ke Dika (dalam perjalanan, sebagai koordinator dia cukup berhasil). Pada tahap ini saya merasa aneh dengan semangat teman-teman Mergangsan. Semangatnya mengendur. Entahlah? Saya mencoba mendatangi Pras (termasuk coordinator), dia menjanjikan waktu akan dimulainya proses. Saya hanya diam.
Belakangan hari saya mendengar sas-sus bahwa kemerosotan itu gara-gara masalah bias anggaran dana antara pihak sanitia dan warga kampung Mergangsan. Gubrak! Seberapa besarkah efek samping dana pada semangat? Saya tidak tahu mengapa ini bisa terjadi? Saya tidak memperkirakan sebelumnya bahwa ternyata dana telah menjadi bayang-bayang sebelumnya. Saya menemukan sesuatu yang menjadi bagian renungan kecil saya. Sesuatu yang indah, lucu dan menggemaskan. Mengapa jadi se-ribet ini? Saya tidak menyepelekan masalah dana. Saya hanya menangkap harapan yang membayangi lewat rencana-rencana. Memang sangat wajar dan umum.
Ini awal mula saya turut membayangkan Babad Kampung sebagai peristiwa. Dalam tangkapan saya Babad Kampung adalah peristiwa “sederhana” yang melibatkan dan memfungsikan apapun yang ada di dalam kampung tersebut. Bukan sebuah harapan gebyar-gebyar sebagai  kampung terpilih. Sederhana dalam artian mengena dan menumbuhkan ruang-ruang baru dalam kampung itu. Ruang yang bisa menjadi titik untuk dialog. Babad Kampung memang harus menggali sejarah tetapi tidak harus kaku dan verbal bentuk visualnya. Bukan sekadar peristiwa yang beraksesoris pemasangan photo, ramainya bazaar, dan panggung hiburan yang serba memusat atau tak ubahnya membuat gedung kesenian di tengah kampung. Sayang, bayangan itu terpotong setelah mengikuti proses yang datangnya seperti tiba-tiba itu. Proses yang tersistem namun terkesan pragmatis. Yah, mungkin karena pas sekali diterapkan dalam keadaan yang mepet. Atau jangan-jangan memang demikianlah yang di tempuh setiap kampung? Secara turun temurun seperti acara fair perayaan tujuh belasan. Pertengahan proses di Mergangsan memang agak membingungkan saya. Dalam proses selama 3-4 bulan itu saya pikir dapat menumbuhkan rencana-rencana kecil untuk minat atau potensi anak-anak, remaja, pemuda, ibu-ibu, bapak-bapak, dan pinisepuh. Tentu tanpa mengesampingkan latar sejarah kampung secara umum.
Dalam hal menggerakkan massa untuk menggulirkan peristiwa, saya tetap mengakui peran anak-anak muda masih mendominasi. Hal itulah yang masih saya simpan dan saya banggakan di kampung Mergangsan. Kerja mereka tersistem dengan rancangan kerja sama yang terbaca. Saya tidak berperan terlalu banyak dan susah payah dalam prakteknya. Hanya sekadar memberikan sedikit pendapat dan melengkapi informasi apa yang dibutuhkan dalam pementasan.

PAJEKSAN
Saya sempat memasuki gang-gang di kampung Pajeksan. Gang yang ramai dan menyenangkan sekali. Di kampung Pajeksan saya hanya datang beberapa kali saja untuk mencari informasi sinopsis cerita. Saya menjumpai beberapa orang yang asyik dan bergairah, satu di antaranya tokoh ketoprak Jogja. Saya juga sempat bercakap-cakap dengan koordinator kampung. Dalam percakapan itu sempat mencuat sebuah kegelisahan yang sedang merundung generasi mudanya. Generasi yang sedang mencari bahasa untuk mengenali dirinya sendiri. Kegelisahan perihal menghidupkan potensi seninya. Saya hanya bisa berdoa semoga dalam Babad Kampung kegelisahan itu mendapat ruang plus. Bukan sekadar jadi ajang ekspresi saja melainkan juga sebagai moment untuk membuka tawaran baru akan lahirnya dialog seni atau mamacu kontinyuitas gelisah. Dan menjadi modal sosial, kata bapak Sultan. Semoga.

KRICAK
Kricak oh Kricak…
Memasuki gang di kampung Kricak, seperti memasuki sebuah labirin yang mengajak saya masuk dalam permainan: mencari jejak. Yah, saya sering berjalan-jalan sendirian, kadang naik sepeda setelah latihan Teater bersama teman-teman Sidomulyo. O, iya, sebelumnya saya informasikan terlebih dahulu: bersama teman-teman muda dari Sidomulyo dan sepasang muda-mudi dari kampung Badran, saya membuat karya bersama untuk mengisi peristiwa Babad Kampung di Kricak. (Nanti akan sedikit saya ceritakan, tapi belakangan aja ya.). Suatu hari saya berjalan-jalan sendirian menelusuri gang-gang yang penuh cerita itu. Dan bayangan saya tentang Babad Kampung tumbuh lagi dengan sendirinya, tapi kali ini kembali berangkat dari ruang. Tiba-tiba saya menghentikan langkah di sebuah gang, lalu duduk di emper rumah sambil melihat benda-benda dan tingkah polah orang-orang di seputar saya. Seolah sepanjang gang itu bercerita ribuan cerita masa lalu, kemarin, kini, dan yang akan datang. Ramai. Ramai…sekali. Saya tidak tahu berapa tahun usia gang-gang itu? Apa hobinya? Suka musik apa? Apa warna kesukaannya? Suka tamasya di mana? Bagaimana masa kecil dan masa remaja? apa saja yang ditemuinya ketika dewasa? Ah, rupanya saya berimajinasi sendiri-an.

Beberapa kali saya mengikuti proses latihan penggarapan drama di Kricak. Saya rasa gairah dan semangatnya tak jauh berbeda dengan kampung-kampung lain, pasang surut. Tetapi tetap menyimpan sebuah arah untuk sebuah pementasan di atas panggung. Saya tidak mempermasalahkan proses yang sedang berjalan dan menemui keasyikannya sendiri. Dalam hal ini saya percaya bahwa proses penggarapan merupakan perjalanan yang dilakoni untuk menemukan solusi-solusi.     

Kembali pada gang tempat saya terdiam dan tertawa sendirian. Gang-gang yang saya lewati itu seperti bercerita tentang riwayat-riwayat yang bertumpuk dari berbagai versi. Kadang menuntut untuk divisualkan dan kadang meminta untuk didiamkan saja. Di dalam gang itu ada ruang-ruang (pos kampling, kuburan, emper rumah, lincak, pagar, tembok, halaman kecil, dapur, beranda, pot tanaman, kurungan burung, kandang ayam, warung jajan, keranjang sampah dll) yang tak sempat terbaca mungkin karena jarang disapa. Ruang itu seperti mengundang saya untuk sejenak bertamu dan bertukar cerita perihal riwayatku dan riwayatnya. Kami berkenalan dan tukar menukar biodata, lalu saya kembali melangkah setelah berpelukan dengan ruang-ruang itu.

Kemudian saya jumpai anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak dan muda remaja yang sibuk di sepanjang gang-gang itu. Ada ibu-ibu ngrumpi, petan, dan menyapu halaman. Ada anak-anak bermain jaran kepang, bermain tanah, dan boneka-bonekaan. Saya juga mendengar seorang anak menangis. Ada bapak-bapak menyiram tanaman, bermalasan, dan marah sambil menyuruh anaknya mandi. Para muda remaja seperti biasa saling cari perhatian dengan lawan jenisnya yang ada di sepanjang gang dan ada yang bermain gitar. Ada lelaki tua duduk sendirian. Nah, saya mendatangi lelaki tua itu untuk sejenak menyapa dan sedikit bercerita fragmen masa mudanya. Sesudahnya saya mengucapkan banyak terimakasih pada sepanjang gang itu.

…dan tiba-tiba saya ingin menempelkan fragmen masa muda lelaki tua itu di tembok gang; menaruh suara tangisan anak di halaman kecil, lincak dan dapur; meletakkan mainan tanah anak-anak dalam kurungan burung; merekam rumpian ibu-ibu dan mencantelkannya di pagar-pagar. Membuat panggung kecil untuk pentas kecil semacam gitaran dll. Pentas yang hidup setiap malam. Saya tidak menghilangakan photo, bazaar, dan pentas drama, karena ketiganya adalah anak peristiwa yang tidak manja. Mereka akan mencari tempatnya sendiri. O, Iya, tetap ada ruang untuk pidato dan sambutan. Duh.. sepertinya saya hanya asal tempel saja, asal mendandani gang dan benda-benda. Sebenarnya saya hanya membayangkan  sebuah peristiwa berdesain “sederhana” yang berbasis dialog ruang. Tentu saja juga membutuhkan biaya dan kesetian untuk terus membaca bersama untuk menghindari asal tempel. Dialog ruang ini seperti membuat dunia kecil berpenghuni karakter-karakter yang selama ini tersembunyi: karakter induvidu warga kampung. Saya pikir desain “sederhana” ini tidak terbayang-bayang anggaran besar dan gebyar acara terlebih dahulu. Sepuluh juta menjadi sangat elastis, bisa cukup, bisa kurang, dan bisa sisa banyak. Lho? Atas dasar apa saya bisa berkata demikian? Saya hanya memperkirakan dan membayangkan saja sih…soalnya saya bukan seorang akuntan. Hehe…
Jangan marah ya…



THE SIDOMULYO BOY!

Akhirnya sampai sudah kita pada kampung Sidomulyo. Saya tak akan banyak bercerita perihal proses penggarapan drama di Kampung Sidomulyo. Di kampung ini saya membuat karya bersama. Sebuah karya yang sangat berkesan bagi saya, mungkin juga teman-teman lain yang melokaninya. Saya tidak tahu sistem apa yang mengiringinya? Energi saya banyak terkuras di kampung ini, tiga bulan bersama delapan muda remaja kampung mengumpulkan data-data keseharian dan benda-benda sekitar tanpa perencanaan. Kami bergerak dengan energi kreatif yang belum bisa saya baca. Saya seperti merasakan cinta buta pada pelacur jalang yang terbiasa survive dengan nalurinya. Saya juga tidak akan bercerita hari H pementasannya. Mungkin hanya bisa sedikit menggambarkan prosesnya. Kadang kami sakit hati, marah, kecewa, cemburu, sedih, tegang, lemas, bahagia dan…     

Ugal-ugalan! Kampungan! Dan Barbar!
WOW!! MENGGAIRAHKAN SEKALI…GUBRAK DEH POKOKNYA!!

Djogja, Agustus-September 2008
api itu masih menyala di telapak tangan kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar