Sabtu, 16 April 2011

Menggagas dan Bergerak


 (tawaran mencari lobang menejemen)
Oleh: Andy Sri Wahyudi

Saya sering mendengar cerita tentang teater dengan masalah klasiknya yang berupa kurangnya dana, minimnya jumlah peminat, minim fasilitas, dan kurangnya wacana yang mengakibatkan disorientasi kerja kreatif para pelakunya. Lantas membuat  para pelakunya berkeluh kesah perihal (kelompok) teater (nya) yang terseok-seok, mati suri, atau untuk memperparah lagi:  teater telah TERPURUK. Seolah keterpurukan telah menjadi mitos teater itu sendiri.  Dari kasus yang mengglisahkan itu, terus terang saya tertarik dengan kata “terpuruk”, maka saya mencari arti padanan katanya dalam kamus besar Bahasa Indonesia. Ternyata “terpuruk” artinya tenggelam, terbenam, atau terpelosok. Wuaah...benarkah Teater  telah terpuruk? Bagaimana dengan teater di Jogja? Apakah Teater telah terpuruk di kota Jogja, kota yang nota benenya kota seni dan budaya sekaligus melahirkan tokoh-tokoh kebudayaan. Sudah sedemikian parahkah?


Menengok Teater Jogja dan Nafas Kerja Kreatif
Secara kwantitas memang banyak kelompok-kelompok teater yang berdomisili di Jogja, terlebih teater kampus. Kelompok-kelompok tersebut aktif melakukan proses kreatif yang ditandai pementasan teater (salah satu contohnya). Pernah pada suatu hari saya iseng menghitung banyaknya pementasan teater di Jogja pada tahun 2007 dan 2008, hanya dari dua sumber saja: Jadwal Taman Budaya Jogja dan Newsletter skAnA buletin teater Jogja. Pada tahun 2007 ada sekitar 80 pementasan teater. Pada tahun 2008 kemarin memang agak menurun, ada sekitar 50-60an pementasan (parade teater dan pementasan 2-3 hari saya hitung satu ivent).  Tentu data itu tidak valid namun ada kemungkinan lebih banyak lagi, saya yakin pasti ada peristiwa teater yang lain seperti diskusi, seminar,workshop, musikalisasi/teaterikal puisi, atau apapun namanya yang diselenggarakan oleh kelompok teater baik kampus atau sanggar. Maka jika dalam satu tahun ada 52 minggu berarti setiap minggu pasti ada satu atau dua pementasan bahkan kadang lebih. Dan saya yakin  setiap hari pasti para pelakunya terus gelisah menggagas peristiwa teater baik generasi yang dikatakan tua maupun muda. 

Nah, dari ukuran data dari sumber yang minim tersebut apakah teater Jogja layak dikatakan terpuruk? 
Mungkin benar terpuruk jika yang diharapkan ada pementasan teater setiap hari dibeberapa tempat. Barangkali akan ada yang bilang: terpuruk secara kwalitas bentuk teaternya. Maka maafkan saya, karena ukuran kwalitas bentuk teater bagi saya harus meninjau banyak hal. Saya rasa hal itu bisa dibicarakan dalam forum khusus dengan mengundang orang yang diangap berkompten. Ah, saya sudah tak tertarik lagi dengan kata “terpuruk”. Kali ini, saya lebih tertarik membahas perihal nafas kerja kreatif kelompok teater, karena lahirnya karya adalah dari proses kerja kreatif – secara kontinyu. 

Di kota Jogja, sudah tak asing lagi mendengar pementasan teater, karena banyaknya kelompok-kelompok teater yang menggelar pementasan teater. Bahkan di tahun 1980 banyak  kelompok dan aktifis teater yang tumbuh bak cendawan dimusim hujan hingga melahirkan tokoh-tokoh legendaris. Dari tahun ke tahun terus berguliran peristiwa pementasan teater, hingga melahirkan generasi-generasi baru, sampai saat ini, generasi kita. Memang banyak kelompok teater yang bermunculan menghias panggung pertunjukan di Jogja. Akan tetapi banyak aral melintang yang menyebabkan kelompok teater tidak tahan lama, jika diandaikan, seperti percikan-percikan api yang menyala sebentar lalu padam lagi. Jarang yang sanggup melakukan proses secara kontinyu, bahkan banyak kelompok yang bertumbangan atau mandeg dalam proses kreatifnya. Entah apa sebenarnya yang terjadi dalam tubuh kelompok-kelompok teater yang bertumbangan tersebut? Banyak yang mencurigai penyebabnya karena masalah manajemen kerja. (Maaf, saya tidak begitu curiga dengan manajemen kerja, karena menurut saya manajemen itu bisa dipikirkan. Lebih tepat jika para pelakunya sendiri yang menuliskan penyebab bubarnya kelompok secara jujur).  

Manajemen memang sangat penting dalam sebuah kelompok teater untuk mewujudkan gagasan dan menggulirkan peristiwa teater. Akan tetapi, sebelum merambah pada manajemen, saya ada punya pertanyaan: Mengapa Teater? Mau ngapain? Berani nggak hayou? cukup tiga pertanyaan saja, selebihnya jika kurang silakan membuat pertanyaan sendiri. Hal itu sekadar renungan kecil demi lahirnya kesadaran, agar jelas tujuannya, berani bertanggung jawab, Percaya diri, tidak mengeluh di tengah jalan, dan tidak  menyalahkan yang lain. Kalau pertanyaan itu dirasa tidak berguna segera tinggalkan! Dan silakan berlarilah sesukanya.



Manajemen dan Ilustrasi-ilustrasi
Teater atau drama atau sandiwara atau apapun namanya merupakan ranah seni yang harus dikerjakan secara bebarengan dalam mewujudkan karya yang selalu diharapkan kontinyu. Akan tetapi pada tataran mewujudkan gagasan, kebanyakan kelompok-kelompok teater selalu mendapatkan aral melintang yang menghambat proses kerja kreatif. Jika kita memerlukan manajemen kerja, lantas manajemen seperti apa yang dapat membuat kelompok teater survive? Apa sih ukuran kesuksesan sebuah kelompok teater?
Hmmm....jika kawan-kawan menilai bahwa ukuran manajemen kelompok teater yang sukses adalah kelompok teater yang berhasil dengan pentas-pentas besar, memiliki sanggar atau studio, sanggup membayar aktor dengan honor yang mumpuni, sanggup menyewa gedung pertunjukan yang bergengsi, sanggup menggaet sponsor yang super keren atau ponding dan hibah dana, sanggup mendatangkan penonton yang berjubel, masuk media massa dan diwawancarai banyak wartawan, tour dari kota ke kota, dan pentas ke luar negeri. Maka saya hanya bisa menyarankan langsung mendatangi kelompok teater yang bisa dikatakan sukses untuk magang atau wawancara perihal manajemen. Siph deh... :)

Mungkin hal di atas adalah impian sebagian besar kelompok-kelompok teater. Sayangnya, hanya gelintiran kelompok saja yang berhasil meraih mimpi itu. Bagaimana dengan kelompok yang tak dapat meraihnya? Apakah layak dikatakan tidak sukses dalam ber-manajemen? 

Saya pikir setiap kelompok mempunyai pola manajemen yang berbeda-beda dan berubah-ubah untuk bertahan hidup dan memenuhi hasrat kreatifnya. Ada bermacam cara pengelolaan manajemen setiap kelompok seni, tergantung kebutuhan dan tujuan berkesenian setiap kelompok. Berikut ini saya berikan gambaran singkat dan tidak lengkap dari kelompok-kelompok seni yang bertahan dengan caranya sendiri. Kelompok seni dari dalam dan luar kota, juga luar negeri: 

1.      Creamer Box
Creamer Box adalah sebuah kelompok Teater dari Bandung pimpinan Bob Teguh, berdiri tahun 2000. Latar belakang Anggota Creamer Box berbeda-beda: pelukis jalanan, pengamen pantomim, pekerja percetakan, mahasisiwa, dan Bob Sendiri seorang bapak beranak satu yang bekerja sebagai seniman serabutan. Biasanya Creamer Box menggelar Pementasan tidak di Gedung-gedung standart, mereka biasa membuat ruang pertunjukan sendiri. Creamer Box tidak memiliki sanggar tempat berkumpul, tetapi setiap kali terjadi proses, mereka berkumpul mengatur jadwal untuk bertemu dan melakukan proses kreatif. Menurut cerita Bob, pernah akan mendapat bantuan dana untuk menyewa sebuah tempat semacam sanggar tempat berproses. Creamer Box menolak bantuan tersebut dengan alasan tidak mau termanajemen dan terorganisir, karena malah merepotkan. Creamer Box juga pernah mengadakan pentas teater keliling Jawa-Bali 17 kota bulan Juli 2001 dengan biaya Rp 800.000 selama satu bulan. Mementaskan Waiting For Godot karya Samuel Becket. Rasanya tidak masuk akal memang, tapi pada kenyataannya teman-teman Creamer Box berhasil menjalaninya. Eloknya lagi sesuai target, yang ternyata telah direncanakan diawal perjalanan, bahwa perjalanan itu dimulai pada tanggal 17 Juli dan harus sampai kembali ke kota tujuan terakhir, Bandung, tepat pada tanggal 17 Agustus. Entah apa saja yang terjadi dalam perjalanan, saya hanya mendengar penggalan cerita dari Bob selaku Sutradara: dari enam orang tinggal empat yang bertahan. Ia bercerita bagaimana cara menjaga mental agar tetap kuat, cara mensikapi sebuah keadaan, dan bertahan untuk hidup. Betapa karakter asli setiap person menjadi sangat nampak keasliannya, seakan jalanan menelanjangi sifat dan mental tiap person secara jujur. 

2.      Roda Gila dan Kerlap-Kerlip Bersaudara (RGdKKB)
Kelompok ini tinggal di kota Semarang dengan domisili tidak tetap, sebuah kelompok performance teater yang mencoba lepas dari teater kampus. Berdiri tahun 2008, diinisiasi oleh mahasiswa UNDIP Semarang. RGdKKB sering melakukan pementasan di beberapa tempat: cafe, sepanjang jalan raya, tempat parkir, kebun belakang rumah, makam, tenda kemah, air mancur. Mereka mensikapi keterbatasan sebagai sebuah kelebihan dengan mengeksplorasi ruang dengan ide-ide nakal yang segar. Untuk mencari sumber dana selain patungan, mereka menawarkan ide performance teaterikalnya untuk berbagai acara. Dan tahun ini mereka mulai merambah ke luar kota untuk memperluas jaringan dan  apresian. Para personil RGdKKB menjalani proses kreatif dengan rilex namun agresif untuk belajar, ruang konsolidasi untuk menggagas karya tidak melulu di Studio melainkan ditempat-tempat seperti trotoar, cafe,angkringan, mall, dll.  


3.      La Gientes
Kelompok ini berdiri tanggal 10 November 2005 yang diawali dalam sebuah naungan alumni SMA 8 dan setelah dua tahun berproses anggotanya bertambah tidak hanya dari alumni saja. Para personilnya para mahasiswa, mereka memilih kelompok seni berbasis komedi. Selain berproses kreatif dalam wadah La Gientes personilnya sering menjadi MC diberbagai acara dan melawak. La Gientes hidup ditengah perkampungan Tukangan, tepatnya di rumah salah satu personilnya. Program yang sudah dijalankan adalah “Pos Komedi Rakyat Tukangan” (PKRT) sebuah program dengan manajemen yang sederhana dan sudah berjalan dua kali. Mereka memanfaatkan fasilitas yang tersedia dan membangun jaringan kerja antar komunitas. Tahun 2008 lalu program PKRT dengan misi “semua tertawa” diselenggarakan disebuah lapangan terbuka di tengah perkampungan Tukangan yang padat penduduk. Sebuah tempat yang seringkali dilalui oleh pesawat terbang yang membawa suara berisik. Akan tetapi hal itu tidak mengganggu, malah mendukung pementasan yang berjudul Cindil Waras

4.      Gamblank Musikal Teater (GMT)
Sebuah kelompok teater yang berbasis musikal, didirikan pada tahun 2005 oleh M Ahmad Jalidu. Mereka memilih musik sebagai basis karena anggotanya adalah sekumpulan pemuda yang suka bermain musik. Mereka juga ingin membuat kelompok yang belum ada di Jogja, teater bergaya musikal, agar sedikit “beda” tanpa harus memaksakan diri. Maka: Apa yang Kupunya Apa yang Kupuja, begitulah motto sang pendirinya. Teater GMT bagi personilnya adalah sebagai Hobi, mereka menggambarkan proses teater seperti hobi bermain bulutangkis, meski tidak ada cita-cita untuk menjadi juara Thomas Cup  tetapi kalau seminggu tidak bermain badan terasa pegel dan kurang lengkap rasanya. GMT memilih target penonton selain para sahabat juga anak-anak muda dan remaja usia 17-25 tahun yang belum begitu mengenal teater (awam), bagi mereka hal ini akan mendatangkan banyak penonton. GMT juga menyesuaikan bentuk teaternya dengan idiom-idiom generasi terkini, dengan slogan-slogan, iklan, majalah, dan produk-produk yang biasa dikonsumsi audien. Pementasan biasanya mereka selenggarakan di tempat terbuka dan tanpa side wing agar penonton bisa langsung melihat persiapan para pemain, juga untuk pengiritan dana. Untuk  keanggotaanya sendiri GMT masih belum tetap karena belum menemukan sistem yang pas.

5.      Brandal Kartini
Brandal Kartini (BK) sebuah kelompok yang berdiri tahun 2008 di Kota Rembang. BK terdiri dari anak-anak muda yang tertarik dengan kesenian. Mereka bergerak lebih ke penyelenggaraan ivent-ivent sesuai minat personilnya, dan kelompok ini tengah mencari bentuknya. BK mengadakan acara-acara diantaranya musikalisasi puisi dan pembacaan buku di kawedanan (rumah dinas Bupati), dan ruang alternatif semacam kampus dengan biaya patungan ketika dirasa tempat kesenian menjadi sangat prosedural. Tempat pertemuan biasa dipinggir pantai sambil membakar ikan dan menikmati deburan ombak laut jawa. BK terinspirasi dari kata “Brandal” yang diilhami dari spirit orang-orang Lasem yang menyerang Belanda lewat jalur laut (semacam Gerilyawan) atau orang-orang bebas yang ingin menemukan sebuah bentuk kemerdekaannya sendiri. Sedang kata Kartini sendiri diambil dari pahlawan yang berjuang lewat jalur pendidikan. Dari spirit tersebut BK terus menghidupkan daya juangnya untuk terus berproses kreatif.

6.      Independent Expression  (IE)
Adalah kelompok seni tari dilakoni oleh para penari muda yang terwadahi dalam kelompok Independent Expression (IE). Kelompok ini berdiri di kota Solo pada bulan Februari 2002, dimotori oleh anak-anak muda jurusan tari ISI (d/h STSI) Surakarta. IE sebagai wadah kreatif yang berangkat dari kebersamaan dan keinginan untuk melakukan proses pembelajaran. Wadah ini sekaligus sebagai ruang bebas pada fase perkembangan untuk pematangan diri menjadi seniman.

IE terdiri dari tiga koreografer dan tujuh penari. IE mementaskan karya para anggotanya secara bergantian, diantaranya Suara I Bumi karya Boby Ary Setiawan, Day – Lama karya Agus Margiyanto, Suminten Edan karya Dedy Satya Amijaya. Mereka membuat program Voyage of IE, dan sampai tahun ini telah berhasil menyelenggarakan Voyage of IE I –  IV. IE dalam proses kerja kreatif mewujudkan gagasan sering meminta bantuan dari luar untuk mengurusi keproduksian. IE mendapat dana dari penylenggara acara ketika dapat tanggapan atau mengajukan program, mencari donatur, dan dari dana sendiri.
7.     
SaSamalona
Kelompok musik Reggae yang berdiri tahun 2000 di kota Solo, selama delapan tahun berdiri baru gsnti personil satu kali, itupun karena salah satu personilnya terserang sakit. Semula adalah para mahasiswa seni rupa yang sering berkumpul sambil dan mabuk-mabukan. Dan kebetulan senang dengan musik Reggae kemudian membentuk. Samalona membentuk karakter musiknya tidak dengan instruksi satu orang akan tetapi dari karakter bermusik setiap personil yang kemudian terjadi akulturasi karakter. Mereka terdiri dari delapan personil dengan pekerjaan yang berbeda (Tukang Tatto, Desain Interior, Grafis, kriya logam, seniman free) selama delapan tahun ini kelompok yang memakai nama sebuah pantai di pulau Sulawesi ini hidup dari ivent ke ivent yang berskala besar maupun kecil. Dan untuk menghasilkan rekaman karya mereka ngebon sebuah studio lantas sistem membayarnya dengan cara mencicil dari hasil manggung disetiap ivent. Tahun ini Samalona ingin merambah ke mayor lebel (sekalian ngecek diterima atau tidak dan mengetahui apresiasi dari pihak Mayor Label) jika tidak diterima mereka telah menyiapkan dana sendiri dengan pemasaran dititipkan ke distro dan kantong-kantong musik.


Kelompok dan Model pementasan di Belanda
Terus terang saya belum pernah ke Belanda, dalam ilustrasi kali ini saya berpijak pada penggalan pengalaman teman saya (Ficky) satu sanggar di Bengkel Mime Theatre. Tahun 2008 lalu Ficky berkunjung ke Belanda untuk belajar Seni Budaya (dapat Beasiswa dari TAP: Teo Arjan Production) selama tiga bulan.
Grup seni di Belanda pada umumnya sulit sekali melakukan pertunjukan di dalam gedung kesenian. Apalagi  jika grup tersebut  belum begitu populer di mata masyarakat umum. Di Belanda, grup seni harus melalui jasa Impresario sebelum   melakukan pertunjukan di dalam stage. Fungsi Impresario ialah  menawarkan atau bertugas menjual pertunjukan yang dibuat oleh grup kepada pengelola gedung pertunjukan. Jika pihak pengelola tertarik untuk mempertontonkan pertunjukan tersebut kepada kalayak umum, maka dibuatlah kesepakatan kontrak untuk membeli pertunjukan dengan harga sesuai kualitas pertunjukan yang telah disepakati. Dengan syarat dan ketentuan berdasarkan jumlah penonton yang hadir, maka dilakuanlah sitem reservasi atau pemesanan tiket sebelum terjadi pertunjukan. Kemudian dengan sistem tersebut jika penonton yang hadir tidak memenuhi target jumlah kursi yang ditentukan – artinya pihak pengelola merugi – maka pihak pengelola berhak membatalkan pertunjukan tersebut. Sedang  untuk publikasi pertunjukan biasanya dilakukan oleh pihak  Pengelola sendiri melalui majalah seni pertunjukan yang mereka terbitkan, website, dan mendia cetak lokal.
            Grup yang profesional biasanya mempersiapkan diri satu tahun sebelumnya untuk berproses. Mereka mementaskan satu karya yang sama, tidak hanya dalam satu atau dua kali pertunjukan di satu kota. Tetapi dipentaskan juga di beberapa kota, bahkan di beberapa negara. Hal tersebut dilakukan untuk mengganti biaya produksi dan membayar aktris/aktor yang terlibat dalam proses penciptaan karya. Selain itu mereka juga mendapat dana dari sponsor. Bagi mereka, grup yang baik adalah yang dapat memberikan kesejahteraan bagi semua anggotanya, baik di luar panggung maupun saat proses berlangsung. Sehingga proses dan karya yang mereka hasilkan akan maksimal.  
            Sebagai contoh, grup teater boneka. Grup ini terdiri dari empat orang: dua orang sebagai tim kreatif, satu orang menangani musik dan sound system. Sedang satu orang lagi mengurusi manajemen. Mereka biasanya membuat program kegiatan selama satu tahun. Diantaranya adalah melakukan pertunjukan mandiri, mendaftarkan diri ke banyak festival, membuat souvenir seperti, pin, komik, buku, dan baju untuk dibagikan secara gratis atau dijual kepada penikmat seni.  Mereka juga membuat  animasi/kartun dan menjualnya ke stasiun  televisi lokal.  Mereka memodifikasi mobil sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai alat transportasi yang efektif dan murah untuk mengangkut semua perbekalan: properti, sound system, layar media pentas, boneka, dan si seniman sendiri selama mengikuti banyak festival.
Walaupun kecil, grup ini ditangani secara profesional. Tidak hanya sekadar melakukan pertunjukan, namun juga bertujuan komersil. Bagian menejemen, mencari peluang dan mengatur supaya grup dapat terus berproses kreatif. Selain mengikuti festival, mereka juga mengamen di sudut pusat kota tertentu untuk mengasah kepekaan dalam berinteraksi langsung dengan penonton, sekaligus mendapat masukan berupa materi.
Dengan sistem pembuatan jadwal selama satu tahun, jika dari grup sendiri si seniman tidak dapat hidup dari pengahasilannya. Mereka juga melakukan pekerjaan perorangan yang dilakuan di luar grup. Seperti melukis, bermain musik, mengajar dan banyak lainnya. Karena jika tidak bergerak mencari peluang, mereka tidak dapat hidup dari seni mereka sendiri, karena biaya hidup di Belanda  sangatlah tinggi.
Jangan berpikir bahwa kami penuh hal yang berbau dengan teknologi, banyak hal liar yang masih dapat kita cari diluar teknologi. Dan yang paling penting adalah berani untuk berkarya  dan dapat hidup dari senimu!”  kata salah seorang seniman teater boneka.
***
Dari ilustrasi di atas mungkin teman-teman dapat mengambil nilai-nilai apa saja yang layak untuk diambil dan direnungkan bersama dan menjadi bahan diskusi. Bahwasannya setiap kelompok mempunyai cara dan karakter yang berbeda-beda untuk survive, memenuhi  hasrat dan memperpanjang proses kreatifnya. Dari sana kita dapat mengerti bahwa manajemen tak melulu berupa materi melainkan ada sisi lain (waktu, konflik, psikologi, personil, suasana dll) kelompok-kelompok itu seperti tengah mencari arah dan berbondong-bondong menuju mataharinya!   


Ah, manajemen memang menggemaskan...!

Saya penasaran dengan kata “manajemen” dan (lagi-lagi) saya mencarinya dalam kamus besar bahasa Indonesia yang ternyata artinya PROSES PENGGUNAAN SUMBER DAYA SECARA EFEKTIF UNTUK MENCAPAI SASARAN.
Setelah membacanya, kata SUMBER DAYA dan SASARAN sangat menarik perhatian saya. Daya adalah kemampuan melakukan sesuatu dan Sasaran adalah sebuah capaian atau target yang harus diraih dengan daya! Saya menjadi sangat realistis setelah merenungkan kata “manajemen”, bahwa saya harus membaca konteks, baik dari dalam diri maupun dari luar ketika akan mewujudkan gagasan untuk meraih sebuah sasaran. Saya harus banyak mendengar dan melihat banyak peristiwa agar tidak terjebak dalam kegelapan akibat ulah saya sendiri dan menyalahkan yang lain atau mengeluh.

Saya mencoba memahami hidup di tengah jaman yang setiap hari dituntut untuk membaca konteks yang selalu berubah-ubah dan terlalu banyak tawaran produk dengan desain besar. Seolah berada dalam ruang yang sesak dan pengap, tak ada lagi tempat untuk bernafas jika tidak ada modal materi. Saya hanya bisa mengajak kawan-kawan untuk membuat semacam lobang-lobang oksigen dengan menggagas dan bergerak dalam ruang proses kreatif untuk menumbuhkan hasrat mencipta!

NB: Maafkan saya jika tak menjawab ukuran suksesnya sebuah kelompok teater atau bahkan tak menjawab banyak hal. Terimakasih.
Prayan, 29 Juli 2009
kamu membuatku tambah cool ;)

Disampaikan dalam diskusi Poci Pait di pendapa Balai Kota Yogyakarta bersama Heru Kesawa Murti di selenggarakan oleh Teater Cantrik (sekarang Anak Muda Bicara Teater)

2 komentar: