Jumat, 15 April 2011

Arjuna di Bawah Hujan


Oleh: Andy Sri Wahyudi

Siang ke seratus telah  ia lewati dengan keresahan yang tak kunjung padam.  Ia berjalan telanjang kaki dari hutan ke hutan, menyeberangi sungai, melintasi bukit dan gunung-gunung. Tanpa mahkota, senjata, iringan prajurit, dan derap kaki kuda. Hanya kain putih menutupi seputar selangkangan. Kulitnya yang putih bersih telah berubah hitam legam, tubuhnya kurus kering, matanya cekung layu, rambutnya panjang berlekatan. Raksasa penghuni hutan tak lagi sudi memakan tubuh kering tak berdaging itu. Ia telah membuang kasta dari darah raja-raja.
Ialah Arjuna, putra ketiga Kunthi, ksatria pemberani yang pernah bertarung laksana singa di padang Kurusetra. Penumpas ribuan prajurit Kurawa dengan panah Pasopati dan keris Pulunggeni. Konon, ketampanan lelaki separoh jagad dikaruniakan Dewa kepadanya. Ia sang penyandang gelar: Lelananging Jagad.[1]
Hujan deras yang menerabasi hutan tak membuatnya menyerah. Ia terus berjalan menyusuri semak, perdu, ilalang dan rajaman hujan yang kian deras.
“Arjuna, tidakkah kau dengar detak jantungku? Tubuhku melambai-lambai, tengah gelisah menunggumu…” suara Rara Ireng terdengar lirih menguntit disetiap langkahnya. Betapa kerinduan itu melilit perasaannya. Sayang, Arjuna telah berada jauh di balik gunung-gunung, jauh dari segala yang ia punya sebelumnya, tapi jangan kau sangka ia hendak menjadi pandita atau pertapa.
Wajahnya yang legam menengadah, mulutnya terbuka menyesap hujan, menyesap dahaga, menyesap rindu. Bunga-bunga masa lalu telah larut bersama hujan, tinggal senyap dan haru biru merambati seluruh pori-pori. Kepada siapa ia hendak berkeluh kesah? Hanya hujan deras mengiringi langkahnya. Ia tak sedang menjalani laku samsara, sebab samsara hanyalah hiasan cerita yang terlupa begitu saja dalam kemenangan dan puja-puja.
 Arjuna berjalan di bawah hujan, membawa kisah-kisah dan keresahannya. Keresahan akan kekuasaannya. Kasta yang membawanya ke atas menara hidup, terasa menjebak dalam belenggu kekuasaan yang hanya melahirkan perang berkepanjangan dan ratapan miris. Ia merasa, ribuan prajurit yang telah mengorbankan jiwa raga itu bukan pahlawan, melainkan  korban yang tak pernah dihitung  dalam sejarah kebesaran kastanya. Telinganya tak pernah mendengar ratap tangis  anak istri para prajurit, yang masih setia memberikan pundi-pundi atau rempah hasil bumi sebagai persembahan bagi kerajaan.
Ia semakin merasa asing pada dirinya saat perasaan cinta itu tumbuh tak terduga, lalu merubahnya  serupa Srigala kehausan di tengah padang. Bidadari-bidadari telah hanyut dalam lumatan birahinya. Benarkah cinta-cintanya tumbuh dari lubuk hati, atau lagi-lagi kekuasaan yang menumbuhkannya? Ia masih melangkah bersama kesunyian batin yang terus-menerus menyangkal keagungan hidupnya. Tapi jangan kau sangka ia pecundang yang tengah berlari meninggalkan hidup dan dunianya.
Hari telah berselimut petang, mendung tebal bergelantungan mengelamkan langit, angin mendayu menerabas daun-daun, membawa deras hujan ke seluruh penjuru hutan. Hewan-hewan berdiam kedinginan, menggigil di dalam sarang-sarangnya yang kusud. Hujan semakin deras merontokan daun kering dan dahan-dahan rapuh. Suara petir atau guruh berdentaman di atas awan, sebab para Dewa sedang bertengkar saling berebut menyemburnya dengan deras hujan. Suara deras hujan mendesak-desak perasaan, mendatangkan mimpi-mimpi buruk tentang kisah-kisah lalu yang muram. Menghantu. Dan rasa senyap di hatinya, datang menghentikan langkahnya.
“Cucunda, apa yang tengah kau risaukan di balik kehidupan ini? Segala berkah dan restuku selalu bernaung di sepanjang hidupmu.” Suara kakek Bisma datang tiba-tiba, melayang dalam benaknya.
Arjuna bergeming memandangi daun-daun basah berserak, mengapung tak berdaya tertimpa deras hujan, mengingatkan desah nafas penghabisan kakek Bisma di tengah perang Baratayuda. Tubuhnya yang renta masih terbayang jelas membujur di atas rajaman anak panah Srikandi. Perempuan berparas ayu dan bertutur lembut, yang dipujanya telah membunuh Bisma, kakeknya meski atas nama dendam Amba.
“Arjuna, mengapa kau biarkan lelaki beringas itu menelanjangiku? Lihatlah aku yang duduk termangu puluhan tahun, membiarkan uraian rambutku resah merindukan darah Dursasana.” Drupadi, wajahnya tak mungkin pupus dalam ingatan. Perempuan anggun itu tidak mengorbankan diri demi cintanya kepada Pandawa. Arjuna tak dapat mengingkari tatapan mata Drupadi, yang menyiratkan kemarahan atas kepengecutan dan kebodohan Pandawa.
Lama ia berdiam meresapi perasaannya, hingga dingin semakin menggigilkan tubuh dan membirukan bibir. Perlahan matanya terpejam sambil menengadahkan wajah, membiarkan hujan membuat kolam-kolam di tubuhnya. Kolam berisi genangan darah dendam, darah kebinatangan, darah kekuasaan, dan darah yang terus dirundung resah.
“Dewa….!!!” Sia-sia ia berteriak menghempaskan resah, toh selalu gagal ia merobek-robek cerita itu.
Malam merambat cepat menembus rerimbun pohon, menggelapkan hutan, menggelapkan mata dan segalanya. Kembali ia melangkah, berjalan laiknya orang buta. Hanya perasaan yang tertinggal, sebab indra tubuhnya hilang terbakar gelap. Arjuna berjalan tanpa arah, berkali menabrak pohon-pohon dan semak belukar, seperti musuh yang bertubi-tubi datang menyerang lalu pergi meninggalkan luka. Lebih menegangkan dari pertarungannya saat melawan Karna. Tiba-tiba kakinya tersandung akar, tubuhnya limbung lalu jatuh tersungkur dan kepalanya terbentur batu. Dagh!
***
Pagi telah membuka matanya, membasuh wajahnya, dan suara rintihnya terdengar serak. Tubuhnya yang memar dan lecet-lecet terbaring lemas di atas tanah keras. Telinganya berdenging membuatnya tak mendengar apa pun. Tak ada matahari, hanya kabut menyelimut remang seperti tirai yang murung berdiam disebuah kamar sepi. Kulitnya mengkeriput kuyu dan membeku. Semalam hujan merajamnya tanpa ampun.
Tubuhnya menggeliat perlahan-lahan mengeluarkan bunyi gemeretak, perutnya bergemerucuk melengkapi suasana pagi di tubuhnya. Sisa-sisa luka semalam masih terasa perih dan ngilu. Ia terbangun dengan tubuh gontai, bertopang pada kedua kaki yang masih rapuh. Kepalanya berkunang-kunang terasa pusing, sedang kedua tangannya merambat-rambat mencari pegangan. Ia melangkah mendekati daun-daun muda yang sedang bersemi menghias dahan-dahan, lalu memetiknya satu-persatu dan  menyesapi sari-sarinya. Warna kelabu mulai memudar, pandangannya perlahan berubah cerah.
Sebuah sungai membentang di depan mata, suara gemuruh arus sungai mengembalikan  pendengarannya. Burung-burung terbang melintas-lintas dan sesekali menukik menyambar ikan. Ia menghentikan langkah sejenak, melihat pemandangan indah sekaligus mencemaskannya. Dengan kekuatan apa ia akan menyeberanginya? Berpuluh sungai telah ia seberangi, tapi kali ini arusnya terlalu deras, batu-batu cadasnya berlumut dan besar-besar.
“Hoei! Aku akan menyeberangkanmu!” Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kejauhan, tapi ia bingung mencari datangnya teriakan itu. Matanya memandangi seluruh permukaan sungai. Dan dilihatnya sebuah sampan kecil menerjangi arus, berlari ke arahnya. 
“Hoei tunggu! sebentar lagi aku sampai,” suaranya semakin terdengar jelas. sampan itu menepi mendekatinya. Sebatang sampan berjalan sendiri tanpa Pengemudi.
“Apa khabarmu? Naiklah di atas tubuhku. Aku akan membawamu menyeberangi sungai ini,” suaranya kecil kekanakan. Arjuna hanya termenung melihat sampan kecil yang lincah berbicara, seolah telah lama mengenalnya.
“Hei! Mengapa melamun? Ayo cepatlah naik!” Lagi, sampan kecil itu menegurnya.
Arjuna turun ke tepi sungai mendekati sampan kecil, tapi ia agak ragu dengan kata hatinya.  Tanpa basa-basi lagi, sampan kecil itu meloncat seperti buaya menangkap mangsanya, langsung menyahut tubuh Arjuna, lalu berlari menerjangi arus sungai. Arjuna kebingungan, tubuhnya basah terkena tempias air dari derasnya arus. Sampan kecil yang terbuat dari kayu itu dengan gesit berlari menghindari batu-batu cadas. Arjuna hanya diam, linglung seperti terhipnotis oleh polah tingkah sampan kecil, namun di balik diamnya ia masih menyimpan keraguan.
Di tengah sungai, sampan kecil itu mendadak berhenti.
“Arjuna Putra Kunthi, Aku adalah Sampan yang dikirim Dewa untuk menenggelamkanmu,” suaranya berubah dewasa dan tenang. Sebentar kemudian sampan kecil itu pecah berkeping-keping di tengah derasnya arus sungai. Arjuna tak sempat melompat ke atas cadas, ia blingsatan, tangannya meraih-raih sesuatu yang hampa. Arus sungai membentur-benturkan tubuhnya ke batu-batu cadas dan membawanya entah ke mana. Rupanya, para Dewa tak menghendakinya keluar dari alur cerita, yang telah dirancang rapi penuh kemenangan dan puja-puji.
***
Burung-burung mencicit, suara serangga mengkerik-kerik di balik ilalang, sekawanan gagak mengkaok-kaok di udara, angin bertiup lamban meliyut-liyutkan dedaunan. Arjuna terdampar di tepi sungai berarus tenang, setengah tubuhnya masih terapung-apung di permukaan, seolah gelombang air membangun-bangunkan dari tidur panjangnya.
Matanya terbuka perlahan, warna kelabu kembali mendatanginya. Sesekali ia terbatuk-batuk, memuntahkan air dari mulutnya. Dengan sisa-sisa tenaga ia bergerak, merangkak, membebaskan diri dari sentuhan air sungai. Kemudian menjatuhkan tubuhnya, terlentang sambil menghembuskan nafas kelegaan. Pandangan matanya yang masih buram, menerawang jauh ke atas, memandangi langit senja yang kian redup. Ia terkulai lemas, tak sanggup lagi melangkah setelah tubuhnya teraniaya arus sungai.
Tiba-tiba seorang laki-laki kurus muncul dari semak-semak mendekatinya, lalu  memapah dan menyandarkan tubuhnya di sebatang pohon besar. Laki-laki itu membuka bungkusan bekal perjalanan, kemudian dengan keempat jemari tangannya menyuapi Arjuna buah-buahan segar. Arjuna  hanya pasrah mengunyahnya pelan-pelan, dan tak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka berdua. Sesudahnya, laki-laki itu melangkah pergi, ingin sekali Arjuna menyapanya, tapi matanya terus terpaku memandang punggung laki-laki itu, yang perlahan hilang di balik pepohon. Ia tak mengenali wajahnya, tapi  jemari tangannya yang kehilangan ibu jari mengingatkannya pada seorang pemuda bernama Ekalaya.[2] Dan untuk kesekian kali rasa kecewanya tumbuh, teringat kesombongan dan kepicikannya yang telah membuat pemuda itu harus dikalahkannya secara tidak adil.
Mendung tebal berarak lambat, menggelantung berat di atas langit. Sementara, petang telah datang mengusung gelap. Hujan deras tiba-tiba mengguyur hutan, suara gelegar guntur menyusul berlarian di atas awan, petir berkilat menyambar-nyambar memancar terang kemarahan.  Perlahan ia beranjak dari sandaran, berjalan menyusuri hutan. Menembus petang, menembus hujan, menembus keresahannya dengan segenap tenaga, perasaan dan mengerahkan seluruh inderanya melawan  gelap.
Ia telah lupa dengan namanya, tapi jangan kau sangka ia pengidap Amnesia.
Sayang sekali, aku malas mengikuti langkahnya lagi. Biarkan ia berjalan di bawah hujan. Biarkan ia membuat alur ceritanya. Sendirian.  

Yogyakarta, April 2007


[1]     Simbol Laki-laki sempurna yang dikagumi banyak Perempuan se-dunia

[2]          Pemuda dari kasta Sudra yang sanggup menandingi keahlian ilmu panah Arjuna. Arjuna tidak terima lantas melapor kepada gurunya, Durna. Lalu Durna mengakalinya dengan meminta Pemuda itu memotong ibu jarinya sendiri, jika ia ingin dianggap sebagai muridnya. Pemuda itu belajar memanah sendiri (otodidak) ia memahat patung Durna guru para ksatria untuk dijadikan guru.  Tapi Durna tak mengakunyai sebagai murid karena bukan dari kasta ksatria.                                                                                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar