Rabu, 20 April 2011

6 pucuk puisi


kenang-kenangan

pernah, ketika siang
ku menyapamu di sebuah kedai kecil
tempat biasa ku melepas rasa lelahku
kau tersenyum sambil berlalu setelah itu
senyummu terbang tertiup angin ke arahku
bergegas kutangkap dan ku bawa lari ke fotocopy

terima kasih,
kulaminating senyummu menjadi hiasan dompetku
                       
jogja 2002



sore itu datang lagi padaku
:her

ini sore kamboja yang dulu
yang terlalu panjang menjadi benang layang-layang
dan kelewat lugu untuk menjadi lagu anak-anak

di setapak jalan hujan itu, masih ditumbuhi bunga tanah
yang pernah bertaburan di seragam sekolah kita
yang berjatuhan di sepanjang tahun
dan berubah biji matahari di bawah pohon bambu
tempat tuhan mengirimi kita hujan pertama.

matahari kita tumbuh kemarin sore,
ia menulis biografi remaja di tembok rumahku

jogja 07-08




di gubuk depan kuburan

buat ayahku

nisan, wangi kamboja, suara burung hantu, bulan pucat
dan  langit abu-abu

sesuatu melawat di sela deret percakapan
mungkin semacam rindu atau catatan luka yang pongah,
seperti angin yang merubah bentuk sunyi menjadi jeruji
angin yang membawa wangi kamboja
menyelusupi dingin tubuh yang suntuk mengusir ironi

dalam gelap dan asin air mata,
kita akan membuat api untuk menyalakan mimpi
atau menggambar peta dan arah angin pada dinding bambu
biarkan jari-jari tangan bergetaran meraba-raba peristiwa
mencari pintu dan jendela yang membuka langkah
sebab jalan pulang telah ditumbuhi pagar berduri

baiklah,  setelah ayam jantan berkokok nanti
kita mulai menumbuk padi, lalu membeli amunisi
menyusun genteng-genteng dan batu-bata yang berserak
membuat rak-rak sejarah di halaman rumah
dan kembali menata pertemuan di ruang tamu

meski bulan masih pucat dan langit masih abu-abu
kita masih bersanding hangat dengan kubur leluhur
kubur yang menabur detak-detak hidup

mulut, jari-jari tangan dan kaki masih sanggup
merawat tahun-tahun yang telah tersungkur.
juga masih setia menyirami dengan air kendi,
membersihkan debu-debu, mendongeng legenda para jawara
yang mati diberondong peluru belanda.
atau menyanyikan tembang-tembang tak terkalahkan.
tembang dari keringat tanah kelahiran, yang mengalir
sederas anak panah arjuna di kurusetra.

di kurusetra!

minggiran, april 2008 


aku masih patung itu

aku masih patung itu
yang dulu datang menggores arah
tapi linglung diputaran malam
mencari rombengan sejarah.  pulang,
ingin mengecat tubuh  dan menulis badai
yang sempat mampir di ruang tamu
bermeja retak dan berkursi patah

di jalanan dan silap lampu kota
ketika dingin memecah langkah
aku mengeja jejak yang melingkar
di seputar wajah yang lupa
lantas deras hujan!
juga kelebatan bayangan!

aku masih patung itu
yang dikelilingi kecurigaan
menunggu dada berdebar
dan lirikan mata-mata, yang memburu
dengan mulut berkerat-kerat

tubuhku  memuntahkan sepi;
yang tak sepatah waktupun berteriak
memanggil nama-nama sahabatku

di hingar tidurku, terdengar
genderang drumband hantu
bararak menuju jauh yang hilang
dan semakin mematungkanku
di ujung gelap melawan arah
sambil melempar tanda tanya!

Nitiprayan 2008


cerita pagi supri

supri sedang bercermin sambil bernyanyi lagu-lagu rohani. bayinya menangis menetek istrinya yang sedang bermimpi mengoleksi perkakas dapur. sajadah di jadikan sprei dan pembungkus bekal sekolah anak-anaknya. segelas kopi dan sebatang rokok bercerita tentang musim paceklik jatuh di atas ranjang. sebuah dapur tanpa asap menjadi hantu pagi pucat pasi. kini supri telah mencair bersama matahari, menciumi hangat jalanan beraspal sambil menabuh genderang!

2ribu7

setengah abad ibu

setengah abad ibu berdandan di kamar mandi, menggambari wajahnya dengan embun dan hujan. membayangkan shinta, drupadi, dan nawang wulan meludahi kesetiaan. tak ada bunga tumbuh di kepala, kecuali melati coklat kering temangsang di pelipisnya.
pernak-pernik cerita menguap di bibir berpoles gincu warna besi tua, matanya khusyuk menatap waktu.
ia tak lagi ingin cantik, tubuhnya tak lagi ingin wangi, diam membiarkan lelaki jumpalitan  menjelma api membakari cerita paginya yang selalu gagal ia padamkan dengan air mata.
setengah abad ibu berdandan di kamar mandi menggambari wajahnya dengan embun dan hujan. membayangkan shinta, drupadi, dan nawang wulan meludahi kesetiaan.
setengah abad sudah ibu!

jogja, 2006








2 komentar:

  1. itu maksudnya apa itu puisinya????
    hahahha

    BalasHapus
  2. hahahahhaaa...

    maksud saya cuma mo bilang bahwa pemuda yang bernama alex itu anehh...

    sukanya nyiumin cewek sembarangan..
    ziziziziii...

    BalasHapus