Jumat, 15 April 2011

BABAD KAMPUNG:


SENI, SEJARAH, DAN MODAL SOSIAL

Oleh: Andy Sri Wahyudi


Semoga peristiwa malam kebudayaan ini menjadikan modal sosial masyarakat tumbuh kembali. Semoga.
(Sri Sultan Hamengkubuwana X)


Kalimat itu menjadi prasasti di atas kanvas putih, yang menandai berakhirnya peristiwa kebudayaan Babad Kampung di kampung Pajeksan tanggal 3 Agustus lalu dalam rangka Festival Kesenian Yogyakarta XX 2008 (FKY XX 2008). Peristiwa yang berlangsung secara estafet dalam satu bulan itu (6, 12, 13, 19, 20, 26, 27 Juli, 2 dan 3 Agustus 2008) diikuti oleh sembilan kampung: Tukangan, Samirono, Dolahan Kota Gede, Suryowijayan, Mergangsan, Pandean, Kricak, Minggiran, dan Pajeksan. Babad Kampung menjadi peristiwa kebudayaan yang memicu warga dalam menelusuri sejarah kampungnya. Lewat media seni sebagai bahasa atau alat ucap, masing-masing kampung berusaha menggali sejarah dan nilai-nilai lokal yang ada dalam kehidupan masyarakat. Sejarah dan nilai  yang hampir terkubur oleh gerak jaman (kapital global) yang tidak berpihak pada nilai kearifan lokal.

Babad Kampung menghadirkan seni pertunjukan yang berupa ketoprak, dagelan, tari, teater, dan operet keroncong. Pameran foto-foto kuno dari sembilan kampung turut terpajang disetiap putaran acara dari kampung ke kampung. Juga pasar rakyat yang menjual produk kerajinan, masakan, makanan tradisi, dan aneka produk lain dari hasil karya warga.  Acara tersebut berhasil menarik warga kampung untuk menghadirinya, tanpa batasan kelas dan status sosial.  Seni sebagai media kreatif untuk mengangkat isu atau tema kampung, tidak semata-mata  menjadi bahasa verbal atau catatan selebaran. Namun mampu menciptakan peristiwa, dan membangkitkan ingatan sosial tentang masa lalu kampung.

Mitos, Legenda, dan Sejarah Lokal
Cerita yang diangkat dalam pementasan di sembilan kampung, sangat kental dengan cerita mitos, legenda, dan sejarah lokal yang melekat di setiap kampung. Hal itu menjadi tema besar untuk menciptakan adegan yang mengkontruksi alur cerita. Masing-masing cerita memiliki nilai sosial dan sejarah yang menjadi wacana baru bagi masyarakatnya. Munculnya mitos, legenda, dan sejarah lokal yang digali dari tutur tetua masyarakat setempat, menjadi hal yang saling berkaitan dalam proses penggarapan karya. Mitos dan legenda bukan sekadar teks yang bersifat tahyul dan fiktif, akan tetapi menjadi ruang tafsir baru untuk mengingat kejadian masa lalu, dan membaca tanda terjadinya peristiwa yang menyangkut alam lingkungan kampung.

Legenda Ki Ageng Paker dan Mbok Randha mBodon adalah ketoprak yang dibawakan oleh warga kampung Dolahan Kota Gede. Mengisahkan tentang mBok Randha Bodhon yang berhasrat pada harta dunia, yang mengakibatkan anak cucu dan warga kampung akan menyangga beban kemuliaannya. Seperti gambaran wajah kampung di Kota Gede sebagai kampung industri kerajinan. Berkembangnya pasar industri kerajinan yang terus menuntut kerja keras dan jerih payah adalah sebuah tantangan dalam bertahan dan menghadapi perubahan hidup yang harus disangga warganya. Kampung Ledok Tukangan lewat ketoprak Geger Ledok Tukangan mengangkat mitos Lampor, pasukan Nyi Roro Kidul yang kadang melintas di sungai Code. Merupakan cerita yang dikaitkan dengan peristiwa banjir bandang (1984) yang melanda Ledok Tukangan. Lampor menjadi tanda datangnya bencana banjir, datangnya arus sungai yang bergelombang seperti pasukan prajurit. Maka warga harus bersiap gotong royong untuk menanggulanginya bersama-sama.

Empat kampung lain seperti Mergangsan, Samirono, Minggiran, dan Pajeksan. Berpijak pada sejarah lokal yang terkait dengan perubahan tata ruang dan pergeseran nilai-nilai kehidupan masyarakatnya. Munculnya bangunan instansi pendidikan, pusat-pusat perbelanjaan, kos-kosan, dan perumahan, menjadi fenomena yang layak untuk direnungkan bersama. Terutama efek bagi warga kampung setempat yang seharusnya mendapatkan kontribusi positif, tetapi malah sebaliknya: warga merasa asing dan harus beradaptasi dengan lingkungannya sendiri. Sementara, Kricak, Pandean, dan Suryowijayan mengarah pada sejarah dan peristiwa kampung dari jaman ke jaman. Sejarah yang terbaca sebagai catatan perjalanan yang memuat konflik, perjuangan hidup, dan potensi warga kampung.

Seni Kampungan
Ketika seni memasuki masyarakat kampung, sesungguhnya menjadi tugas seniman untuk menggerakkan daya hidup dan energi kreatif kampung-an. Karena untuk menciptakan karya seni membutuhkan kerja kolektif yang melibatkan elemen-elemen yang ada di kampung. Kerja yang harus digagas secara bersama untuk menggali sekaligus melahirkan nilai dan sejarah baru. Maka akan lahir “Seni Kampungan” yang tidak melulu rendah dan naïf, namun mampu menggugah kesadaran baru bagi masyarakat kampung. Kesadaran akan adanya proses dan dinamika kerja bersama menuju sebuah hasil karya.

Babad Kampung merupakan upaya untuk menumbuhkan kembali nilai kearifan lokal, ingatan, dan sejarah lewat kesenian yang dilakoni warga kampung. Dari peristiwa ini dapat menjadi inspirasi kampong-kampung lain, untuk menggerakkan daya hidup dan energi kreatif masyarakat kampung. Dan dijadikan sebagai modal sosial: dengan membaca dan menggali nilai lokal, potensi warga, dan sejarah  kampung, menjadi pijakan untuk bangkit mengubah nilai-nilai (kampungan) lama yang acap dipandang rendah dan naïf. Beranjak menjadi masyarakat kampung yang apresiatif, kritis terhadap lingkungannya, tidak mudah resah menghadapi perubahan kota, dan menjadi spirit kota Yogya. Pasti!

Andy Sri Wahyudi
Penggiat teater kampung
dan Tim Artistik Babad kampung FKY XX 2008  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar