Jumat, 15 April 2011

RODA di Atas Bukit



(sebuah catatan yang harus kau mengerti)

Oleh: Andy Sri Wahyudi

Jun, aku mengenalmu sejak rambutmu masih berkepang dua ekor kuda. Waktu itu kamu masih seusia anak pertamamu, remaja kelas dua es em a. Kamu masih sering murung di depan pintu rumahmu, menunggu kedatanganku. Aku tahu, sekarang kamu sudah menjadi ibu rumah tangga, tubuhmu mulai gemuk, dan kosmetik sudah mulai belepotan di mukamu. Kosmetik murahan sekadar pelengkap berangkat arisan.
Jun, ada yang ingin kuceritakan padamu: kamu ingat tentang anak kecil yang pernah kita rawat? Anak itu Jun, yang dulu masih sekecil biji mentimun. Anak yang berambut hitam arang. Anak yang sering lapar setiap pagi, lalu kita buatkan bubur dari karet gelang. Anak yang bandelnya minta ampun, kalau pipis sambil lari mengglinding. Anak kecil yang kita namai, Roda, karena tubuhnya bulat, persis kelereng, dan selalu berputar. Ia yang kita cintai berdua, lantaran tak ada yang peduli padanya. Ingatkah kamu ketika pertama kali ia memanggilmu “ibu”? Lantas kita tertawa terpingkal-pingkal dan perlahan terharu melihat wajahnya yang sama sekali tak mirip kita. Jun, sepertinya lengkap sudah aku mengingatkanmu padanya. Kuharap kamu masih mengingatnya.
Sekarang ia sudah besar dan tinggi, sebesar dan setinggi gedung-gedung di ibu kota. Benar Jun, jangan kamu menertawainya. Tubuhnya melar, besar sekali tapi bukan karena penyakit atau kebanyakkan makan. Aku sendiri tidak mengerti mengapa ia tumbuh sebesar itu. Mungkin ia juga bingung dengan dirinya sendiri.
Namanya masih Roda, karena tubuhnya bulat dan selalu berputar.
He…he…he…aku masih ingat siapa yang memberinya nama, Roda. Kamu kan Jun?  Dan sampai sekarang orang-orang memanggilnya, Roda. Dulu kita merawatnya dengan sabar dan hati-hati, agar ia tumbuh sehat dan cerdas. Kita sama-sama tidak tahu dari mana ia datang dan terbuat dari apa?. Tiba-tiba saja ada di telapak tanganku waktu kita sedang belajar membuat kue kesukaanmu, donat. Mungkin ia terbuat dari adonan terigu atau jangan-jangan dari debu. Ah, terbuat dari apapun ia tetaplah anak kita Jun. satu-satunya di dunia.
Waktu kecil ia sangat menggemaskan seperti layaknya anak-anak tetangga kita. Yah, kebanyakan anak-anak memang menggemaskan, tapi Roda anak kita lain. Roda tak sekadar menggemaskan tapi ia sering membuat kita kebingungan setengah mati. Roda hiperaktif dan suka usil menabraki apa saja yang ada di rumah, sangat menjengkelkan. Dari kecil Roda memang sulit diatur. Tapi kita sama-sama menyayanginya.
Setiap hari kita harus membuatkannya bubur dari karet gelang, yang kita beli di warung tetangga. Satu ons karet gelang warna-warni untuk sehari. Menyenangkan sekali melihatnya makan bubur buatan kita, bubur tanpa bumbu dapur.
Roda selalu berputar Jun, dan tumbuh sehat seperti apa yang kita harapkan. Berbulan kita merawatnya, dan melihat pertumbuhannya. Perlahan, ia tak lagi bulat seluruhnya. Rambutnya mulai lebat, sebuah mulut kecil muncul tiba-tiba di permukaan tubuhnya, lalu enam mata beralis biru, hidung berlobang tiga, empat tangan kecil serupa pingset (pencabut rambut) tumbuh di kanan, kiri, depan, dan belakang tubuh bulatnya, dan sepasang telinga, seperti telinga kita. Setidaknya Roda memiliki kepala yang berwajah meski pirantinya tersusun lucu: mulut di bawah rambut, enam mata berjajar di bawahnya, lalu hidung dan sepasang telinga di bawah mata.
Aku pernah khawatir, takut kalau dia tak punya teman dan selalu manja merepotkan kita berdua. Lalu kamu mengusulkan untuk mengajarinya bahasa agar ia pandai bergaul dan punya banyak teman. Bahasa segala suasana, dan tak tergantung dengan huruf, kata, kalimat, dan tanda baca. Bahasa  Memang kita tak sepandai para sarjana, tapi kita selalu belajar untuk mengerti musim dan cuaca, meskipun kita bukan prakiraan cuaca.
12 bulan telah kita lewati, Roda sudah tumbuh remaja seperti remaja lainnya: suka berdandan di depan kaca, mulai mengenal cinta, belajar dengan lingkungannya, dan punya tokoh idola, tapi Roda tak mengidolakan tentara. Ia lebih suka pemain biola dan pengarang cerita. Ia juga suka penari, seperti cita-citamu Jun.
Duh, masa remaja Roda memang ugal-ugalan. Tak pernah pulang rumah, dan sukanya kebut-kebutan di jalan, sendirian. Kita biarkan ia berputar dan menggelinding kemana saja, karena masa remajanya tak seindah yang kita bayangkan Jun. Masa remajanya penuh tekanan yang membuatnya frustasi, bingung harus berbuat apa.
Kadang aku berpikir, mungkinkah kita salah telah mengajarinya bahasa? Atau kita tak pernah mengenalkannya agama?  Hahaha….tidak Jun, waktu itu kita belum mengenal agama kan?
Jun, setelah kepergianmu waktu itu, kepergianmu dariku yang terasa sesak dan kering. Kamu sudah tak tahu lagi bagaimana kabar Roda kan? Uh! kenakalannya semakin menjadi-jadi. Tak ada yang mampu melarangnya, termasuk aku, orang yang paling dekat dengannya. Ia tertekan oleh banyak hal yang membuat pikiran dan perasaannya kacau. Semua orang mengejeknya, semua orang menertawainya, semua orang melihat aneh padanya. Kecuali kita.
Aku maklum Jun, kamu memilih pergi demi masa depanmu. Orang tuamu benar, mereka takut hidupmu akan susah bersamaku kelak, sebab sampai sekarang aku masih bergelantungan di sepanjang jalan. Dan membenci arah. Hidupku tak sesukses teman-teman seangkatanku, yang kebanyakan sudah berkeluarga dan berharta benda. Aku masih sendirian dengan kebahagiaanku sendiri. Hanya satu pesan yang kuingat darimu: jangan pernah menangisi diri sendiri!
Ah, aku tak ingin berkeluh kesah padamu. Mari kembali tentang Roda, yang mulai tumbuh dewasa. Ia meninggalkan masa remaja, sekaligus meninggalkanku dengan gegap gempita. Aku bahagia ia tak merasa sebagai jenis manusia, dan aku tak pernah menamainya apa-apa. Sungguh Jun, kamu akan menangisinya jika melihat masa remajanya. Tetapi aku mencobanya biasa dan bahagia menikmati hidup dengannya yang lucu dan sederhana.
Dapatkah kau bayangkan saat ia berdandan di depan kaca? Tubuhnya yang bulat persis kelereng membuatku tertawa. Pada bulan-bulan pertama di massa remaja, ia bersedih dengan kondisi fisiknya, tapi kelamaan dia tertawa sendiri dan tak peduli lagi. Perempuan yang dicintainya juga tertawa melihatnya, tapi dia cukup bahagia bisa membuat perempuan itu tertawa. Roda tak lagi merasa risih dilihat orang-orang jika sedang menggelinding di jalan, malah orang-orang memberikan jalan buatnya. Mulai saat itulah ia merasa bukan jenis manusia. Semua kesedihan dan kebahagiaannya ia tumpahkan lewat puisi dan cerita. Kadang menari sendiri di halaman rumah. Aku masih menyimpan karya-karyanya Jun. Kelak pasti kamu akan membacanya, tapi jangan kau bacakan pada orang-orang, karena  mereka akan menertawainya atau tersenyum bingung.
Pada usianya yang setahun lebih sembilan bulan, tubuhnya mulai melar Jun. pintu rumah kita tak lagi cukup menampungnya. Kucoba nasehati dia dengan berbagai cara agar percaya dengan dirinya sendiri. Agar menjadi dirinya sendiri. Sejak usianya mendekati dua tahun, ia tak lagi makan karet gelang, tapi debu jalanan cukup membuatnya kenyang. Lalu dia pergi meninggalkanku. Pergi dengan kebahagiaanya.
Ia menggelinding kemana saja dia suka, kuikuti khabarnya lewat media massa. Dia tak pernah merugikan orang lain, dia tak pernah menyakiti semua mahkluk hidup, dia tak pernah mengacaukan suasana dimana pun dia berada. Roda baik hati Jun, karena kita telah mengajarinya bahasa segala suasana. Orang-orang tak lagi mengejek dan menertawainya. Kehadiran Roda selalu dinanti banyak orang, baik di kota maupun desa. Aku tak mengira dia mempunyai kelebihan luar biasa: bisa membelah dan mengubah tubuhnya menjadi apa saja.
Jun, kita patut bahagia mendengar khabarnya. Aku pernah membaca sebuah berita di salah satu media massa, ketika Roda berada di sebuah kota yang panas, kering, padat, pengap dan menyesakkan. Dia mengubah dirinya menjadi sebuah taman yang sedimikian luasnya. Dia membelah-belah tubuhnya menjadi pepohon dan rumput-rumput. Kota itu telah berubah menjadi kota yang sejuk dan rindang. Anak-anak bermain di tubuhnya, dan orang-orang tak menyangka kota mereka menjadi sebuah taman. Dan beberapa hari kemudian dia pergi meninggalkan kota itu. Kota yang telah diberinya kehidupan, sebab beberapa belahan tubuhnya yang berupa pohon dan rumput masih tertinggal, dan terus tumbuh.       
Suatu kali kulihat dia masuk acara televisi: Roda tengah menggelinding sendirian di sebuah desa, tepatnya di atas galangan sawah. Tubuhnya yang terus melar terlihat lentur menjaga keseimbangan. Desa itu sedang dilanda paceklik menahun Jun, desa pengahasil padi dan rempah itu kini layu dan jauh dari panenan. Sungai-sungai telah kering, belalang, tikus, dan warganya tengah kelaparan. Lapar sepertiku saat ini Jun ;-) Desa itu Jun, berubah seketika dalam hitungan detik. Sumber air muncul dimana-mana, tanah-tanah kering itu kembali basah dan coklat. Rerumput dan tetumbuhan mulai bersemi satu persatu. Dan hewan-hewan berdatangan meramaikan suasana desa itu. orang-orang berteriak-teriak gembira melihat desanya yang kembali subur. Itulah Jun, semua-muanya karena Roda, anak kita. Ia mengubah tubuhnya menjadi sebuah ekosisitem, ia menjadi alam kecil Jun, alam yang menghidupi hidup itu sendiri. Setelah itu ia kembali membulat dan menggelinding kemana hatinya suka. Sebagian tubuhnya dibiarkan menumbuhi dan mengairi desa itu.
Roda terus menggelinding Jun…hingga suatu ketika ia hilang, tak pernah ada kabar tentang Roda. Mungkin ia mencari tempat persembunyian untuk dirinya sendiri. persembunyian yang nyaman dan aman, sesuai seleranya. Aku sendiri juga tak tahu persembunyian seperti apa yang ia suka. Mungkinkah sebuah hutan, sungai yang luas, padang pasir, gunung, atau…oups! Ternyata semuanya salah Jun..tak ada yang pernah menyangka, tak ada yang mengira. Tiga bulan setelah ia menghilang, tiba-tiba ia jatuh dari langit, tepat ketika siang hari ketika langit sedang berwarna biru cerah. Entah siapa yang mengangkatnya ke langit? Siapa yang telah membawanya ke langit? Apakah Roda bersahabat dengan Malaikat? Tuhan? Atau jangan-jangan Iblis? Ah, kurasa nggak begitu penting ku ketahui dengan siapa dan apa ia bersahabat. Ia berhak memilih dan membuat buku hariannya dengan semua pertemuan-pertemuannya.
Waktu itu, kulihat Roda tampak begitu bahagia saat terjatuh dari langit. Tubuhnya sangat lentur dan ringan. Ia memantul-mantul seperti bola basket tapi tanpa dentuman keras, dan di setiap pantulannya diikuti dengan teriakan yang lepas. Seperti melepas seluruh resahnya. Roda bahagia sekali Jun, ia seperti menemukan hidupnya. Wajahnya cerah dan berbinar seperti waktu itu; seperti perasaan kita yang remaja. Bahagia.
Jun, tapi kebahagiaan Roda ternyata bukan kebahagiaan orang-orang. Setiap kali Roda memantul dan berteriak, orang-orang berlari tunggang-langgang, mereka ketakutan. Orang-orang khawatir Roda akan merusak semua yang ada, semua yang telah dibangun dan rawat dengan banyak biaya. Orang-orang itu tidak tahu Jun, sejatinya Roda tak akan merusak. Ia sadar dengan dirinya, sadar dengan apa yang dilakukannya. Dan sama sekali tak ada sesuatu yang rusak karena ulahnya selama ia memantul dan berteriak lepas. Entahlah, mengapa orang-orang itu masih juga ketakutan dengan Roda. Baik di kota maupun di desa. 
Setiap kali Roda melewati mereka, orang-orang itu selalu berteriak dan melempari Roda dengan sembarang benda. Tetapi Roda tetap memantul dan berteriak lepas, ia tak merasakan benda-benda yang mengenai tubuhnya. Ia tetap bahagia Jun, sebahagia hidup kita waktu itu. Berhari, berminggu, berbulan, ia terus memantul dan berteriak lepas dan bebas. Hanya aku yang tahu Jun, aku yang mengerti perasaanya; kapan Roda bersedih; kapan Roda gembira. Semua orang membicarakannya; semua media meliputnya, menyiarkannya. Seakan dunia hanya bertema tentang Roda. Apakah kamu juga mendengar berita tentang Roda? Anadaikan kamu mendengar, pasti kamu menangis.
Jun, jangan kau kira Roda tak tahu diri, egois, cuek, dan tak peduli. Ia tahu tentang dirinya sendiri, ia sadar, dan menyadari apa yang ada di sekitarnya. Perasaannya begitu peka. Tahukah kamu betapa bahagianya dia, tapi aku tak tahu mengapa dia bisa sebahagia itu? Roda tidak ingin dirinya menjadi sebuah ancaman bagi orang-orang, ia ingin diam menghentikan tubuhnya yang memantul bahagia itu. Maka ia ingin terbang setinggi-tingginya atau ingin tenggelam ke dasar laut sedalam-dalamnya. Ah, tapi ia masih mencintai kehidupan; mencintai dunia hidupnya.
Sejak saat itu Jun, sejak ia memilih berputar memutari hidupnya sendiri. memutari sebuah keabadian. Juga damai dalam dirinya. Ia berdiam dan terus berputar Jun, ia tinggal di puncak perbukitan tempat segala-galanya bebas tumbuh alami, ia seperti pertapa meski ia benci dikatakan pertapa, karena tubuhnya tak pernah diam. Roda selalu berputar dengan kecepatan seperti bola bumi, dan hanya kita yang tahu kalau dia masih berputar dan terus membesar, entah sampai kapan. Tak perlu aku harus mengerti sebuah akhir. Suatu saat nanti kamu akan melihat di banyak media, yang memberitakan bentuk bumi terlihat lucu dari ruang angkasa, karena ada benjolan besar tumbuh di tubuh bumi. Itulah Roda, yang kita sayangi dan kita cintai berdua Jun. Hanya berdua, yang lainnya sekadar suka dan simpati padanya. Atau malah kasihan, dan mungkin ada juga yang membencinya.
Jun, kapan kita akan menjenguk Roda? Kamu kangen padanya bukan? Tolong luangkan waktumu, kamu bukan sejenis wanita karier yang sibuk dan lucu kan? Kita datangi Roda, berdua Jun. datang bukan dengan air mata, tapi dengan perjalanan dan seribu cerita. Kita pernah mengasuhnya Jun, layak untuk memberinya sesuatu dari kita. Seutuhnya. Aku mohon padamu, jadilah sebuah cinta dan berdoalah agar Roda tidak meledak karena kepanasan. Ia akan bahagia melihat kita berjalan bergandengan tangan mendatanginya. Tubuhnya akan merasa dingin dan sejuk mendengar langkah kaki dan cerita dari kita. Jun, tinggalkan semua-muanya sebentar, sebentar saja. Jadilah cinta buat Roda. Sedetik saja. Se-de-tik.Tik.  

Werkudara, Prayan, Djogja, 2007

2 komentar: