Jumat, 15 April 2011

Pentas Teater EmKa, Semarang


DOM Realisme Kampung Kandangan
Oleh: Andy Sri Wahyudi, Penggiat Teater, tinggal di Yogyakarta.

Teater Emka menghadirkan teater di tengah kampung. Setting panggung memanfaatkan halaman belakang rumah warga.
    Den Setra, Kresna Gambar, Mbah Jaga, Pak Lakon, Landa Bajang, dan Prapti adalah tokoh-tokoh dalam naskah DOM karya Bambang Widoyo SP. Mereka hidup di sebuah kampong bernama Kandangan yang berdekatan dengan tempat pembuangan limbah pabrik. DOM mengisahkan sejarah hidup dan karakter enam tokoh yang bertahan hidup dengan prinsip dan pilihan hidupnya di tengah zaman yang keras dan kejam: ketika modal besar berkuasa, ketika nilai perjuangan diabaikan, semuanya ingin dicapai secara instan. Kekerasan lantas menjadi penyelesaian.
    Kresna Gambar adalah seorang penjual mainan anak dan pembuat wayang yang idealis. Baginya, menggambar bukan sekadar mencari uang tapi menjaga naluri berkarya. Den Setra, bangsawan terbuang yang ternyata turut berperan dalam merebut kemerdekaan hingga awal berdirinya negara. Tokoh yang berkeinginan menegakkan keadilan tapi malah banyak dimusuhi dan dikucilkan. Pak Lakon, mantan penjagal dan juragan sapi yang memilih hidup sederhana, berpikir sumeleh, dan menepis bayang-bayang kesuksesan masa lalunya. Ia menghindari konflik dengan anaknya yang berprinsip meraup keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya ketimbang mencari saudara dalam berdagang.
    Sementara Mbah Jaga adalah perempuan tua yang ditugasi merawat Den Setra. Ia seperti ibu bagi tokoh-tokoh lainnya. Ia yang selalu berusaha mencairkan suasana dan menenangkan perasaan lawan bicaranya. Karakternya setia dan penyabar. Kemudian Landa Bajang dan Prapti, pasangan muda yang terus berselisih karena berbeda cara menyikapi hidup. Bajang bersikukuh tetap menjadi preman buron ketimbang menyerahkan dirinya pada aparat. Sementara, Prapti menuntut hidup yang layak agar diterima oleh masyarakat umum.

Panggung Natural
    Tokoh-tokoh DOM terlihat sangat berkarakter dalam pementasan digelar di Desa Jurang Blimbing, Kec. Tembalang, Semarang, pada 7 Maret lalu. Dipentaskan oleh Teater EmKa Universitas Diponegoro (UNDIP)Semarang, dan disutradarai Asih Wijayanti. Teater EmKa mencoba membawakan bentuk teater realis dengan kemasan setting panggung yang natural. Panggung berada di sebuah kebun belakang rumah salah seorang warga kampung.
    Dapur rumah, kandang sapi, dan pekarangan ayam yang sudah tertata berjajar, dirombak menjadi rumah-rumah para tokoh. Dinding rumah dari anyaman bambu itu diberi aksen properti berupa sampiran baju kumal, seikat jagung kering, dan gambar wayang. Di halaman rumah terdapat kursi panjang, bale-bale bambu, dan tumpukan sampah. Gubuk kebun difungsikan menjadi gardu ronda yang diletakkan di pojok panggung.
    Pementasan drama realis dengan setting natural tersebut memang mempengaruhi permainan aktor. Gestur tubuh dan vokal aktor terkesan wajar dalam berakting membangun suasana cerita, seperti layaknya kehidupan kampung seharihari. Pementasan yang terasa akrab dengan penonton, karena hampir tiap adegan terasa cair. Respon penonton kadang berkebalikan dengan adegan yang tengah berlangsung. Misalnya pada adegan konflik antara Prapti (Fatharani Putri) dan Bajang (Ahmad Khoirul) yang duduk berdua di kursi panjang sambil bertengkar. Di mata penonton, adegan yang seharusnya tegang itu menjadi terkesan romantis, hingga bermunculan suara siulan dan celetukan dari penonton.
    Penonton justru terpukau ketika Kresna Gambar (Khotibul Umam) dan Den Setra (Heri Irfani) berteriak sambil menuding-nuding seperti orator. Mereka berteriak tentang keadaan zaman dan bobroknya mental para penguasa. Penonton juga sempat terdiam, takjub, ketika melihat adegan Mbah Jaga (Zainatul Mufidah) berlari masuk panggung sambil menangis dan menggendong bangkai Kliwon, anjing kesayangannya, yang mati keracunan limbah pabrik. Adegan itu terjadi setelah tertembaknya Bajang ketika lari keluar kampung. Sebuah metafora yang menggambarkan bahwa nyawa manusia tak lebih berharga dari nyawa seekor anjing.
    Terwujudnya adegan tak lepas dari peran elemen panggung yang lain, seperti lighting dan musik. Sentuhan musik dan ligthing, membuat suasana permainan tampak hidup dan mengesankan. Terlihat dalam adegan menjelangending, ketika cahaya lampu meredup dan alunan tembang Jawa mengiringi Den Setra yang tengah tiduran melamunkan masa lalunya. Adegan itu melahirkan impresi ironis pada si tokoh, kesedihan di suatu petang.
    Adegan demi adegan yang bergulir meninggalkan kesan berbeda-beda. Ada kesan tragis dalam adegan tertembaknya Bajang saat berlari keluar kampung hendak membunuh Genjik yang menghamili istrinya. Kemudian, kesan lucu saat Pak lakon yang menirukan suara anjing yang membuat Mbah Jaga marah karena disangka Kliwon yang akan diberi makan. Kesan tragis ironi muncul ketika ending: Kresna Gambar yang menyumpah serapahi orang-orang yang hendak menggusur kampong Kandangan, dan Den Setra yang meracau tentang masa lalu dan istrinya yang hilang sebelum akhirnya maut menjemputnya.
    DOM menghadirkan tokoh-tokoh yang berada di ranah kontradiktif antara idealisme dan kenyataan. Mereka berani berkata “tidak” jika hidup tak sesuai dengan nuraninya meski harus hidup dalam kemiskinan. Sedang kemiskinan itu sendiri malah menguntungkan pihak-pihak tertentu yang mengekploitasi demi kepentingan pribadi atau golongan.

Insiden Kecil
    Pementasan yang berdurasi dua jam setengah itu, tak membuat penonton beranjak dari tempat duduknya. Puluhan penonton yang terdiri dari anak-anak, remaja, ibu-ibu, bapakbapak, para sesepuh kampung, dan mahasiswa itu memadati seputar arena pentas. Mereka cukup santai, tapi begitu menyimak setiap adegan. Ada yang sambil tiduran, duduk sambil menikmati camilan, berdiri sambil merokok, berdua-duaan dengan pasangan, bahkan ada yang nangkring di atas pohon. Di tengah pementasan, lampu pentas sempat padam beberapa menit. Namun pementasan tetap berjalan dengan penerangan cahaya bulan yang kebetulan tak tertutup mendung. Pemain dan penonton segera saling merespon kejadian tersebut dengan improvisasi dialog yang lepas naskah. Selama kejadian itu, suasana bertambah ramai oleh gelak tawa dan celetukan yang tak habis-habisnya. Kemudian berangsur-angsur tenang setelah lampu pentas kembali menyala.
    Malam itu Teater EmKa telah berhasil menghadirkan peristiwa teater di tengah masyarakat kampung, sebagai upaya membuka ruang apresiasi seni teater bagi masyarakat awam. Teater menjadi tawaran seni hiburan yang baru, segar, menyenangkan, dan sarat akan nilai kehidupan yang layak direnungkan. Meminjam istilah WS Rendra: hadir dan mengalir!

 Tulisan ini dimuat dalam majalah seni dan budaya GONG EDISI 109/2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar