Kamis, 21 April 2011

Tari Sahita

July 22, 2009
Posted by skAnA under Review/Liputan | Tags: Jagongan Wagen, Sahita |


oleh: Andy Sri Wahyudi*
 

Semula hanyalah obrolan ringan para perempuan perihal relasi dengan suami dan konflik rumah tangga. Mereka seperti ibu-ibu rumah tangga yang tengah melepas lelah setelah menyelesaikan tugas sehari-hari. Penampilan mereka menampakkan usia yang tak lagi muda, sekitar 40-an, dan berkebaya. Mereka berada dalam panggung yang ditata secara sederhana namun menarik: sebuah meja kayu berada di tengah, payung-payung kertas di samping kanan depan, dan atap panggung digelantungi burung-burung dari kertas (origami). Mereka menyebar di setiap sudut panggung dan satu tokoh berada di tengah. Di sesela obrolan itu, seorang di antara mereka mendaraskan sebuah tembang ditingkahi suara seruling besar yang ditiup seorang perempuan cantik di sudut panggung belakang.

Begitulah adegan awal dari pertunjukan Gathik Glinding yang berhasil menarik perhatian sekitar 300 penonton pada 30 Mei lalu. Pertunjukan teater tari itu dibawakan oleh kelompok Sahita dari Surakarta, pada acara Jagongan Wagen di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja. Kelompok Sahita terdiri dari lima orang perempuan yaitu Wahyu Widayati, Sri Lestari, Sri Setyoasih, Atik Kenconosari, dan Ira Kusumorasri.

Hampir di sepanjang pertunjukan terdengar suara gelak tawa penonton. Apalagi ketika para perempuan itu mulai menari dengan koreografi gerak yang terkesan seenaknya namun sangat menarik bentuknya. Sebagai contoh, saat semuanya menari sambil berjalan melingkar, tiba-tiba ada yang berlari keluar lingkaran untuk mengambil tempat yang aman dari kemungkinan tertabrak oleh penari di belakangnya. Koreografi  tarian seolah dibuat sekenanya, tampak seperti para perempuan tua yang sedang belajar menari sambil bercanda memplesetkan pakem tari tradisi menjadi tarian yang komikal dan segar. Sementara itu musik tari—yang berasal dari suara mulut salah seorang penari yang menirukan suara gamelan—kadang berbunyi sekehendak hati sehingga membuat irama menjadi kacau dan gerak menjadi tampak konyol.

Tema yang diangkat dalam pertunjukan ini cukup beragam mulai dari isu politik, gender, hingga pertentangan antar generasi. Bahasa yang digunakan tak sepenuhnya bahasa Jawa, melainkan campuran Indonesia–Jawa. Dengan gaya teater sampakan, mereka mengolok-olok kekuasaan dan menjadikan peristiwa-peristiwa kontroversial menjadi guyonan yang banal. Seperti ketika membahas penguasa  tua yang mati meninggalkan beban hutang negara, yang harus ditanggung sampai tujuh generasi. Tokoh mhah Blembem yang merasa tua dan turut menikmati hutang itu dengan santainya menyalahkan Cempluk sebagai generasi muda, “Salah sendiri lahir belakangan.” Tak kalah seru ketika isu gender mulai dibahas, kelima perempuan itu berteriak lantang “Poligami no! Poliandri yes!” Kontan penonton bersorak, disusul derai tawa panjang. Di tangan Sahita, kasus-kasus besar itu menjadi sederhana, segar, sekaligus provokatif.

Menjelang bagian akhir pertunjukan, muncullah konflik yaitu ketika suami-suami mereka tertarik pada Geyong Kanthil, gadis cantik yang masih muda. Kecantikan Geyong Kanthil memang mempesona, mengalahkan mereka berempat yang sudah mulai uzur. Digambarkan Geyong Kanthil merokok di atas meja di tengah panggung, lantas mengepulkan asap rokok. Perlahan ia berdiri sambil melantunkan sajak liris, sementara keempat perempuan yang lain tersungkur di seputarnya. Adegan itu seperti menggambarkan tergusurnya ketuaan oleh gairah dan hasrat muda yang menyala.

Sejatinya dalam pementasan Gathik Glinding ini kelompok Sahita hendak menyuarakan sebuah dobrakan terhadap dominasi laki-laki baik di ranah domestik maupun pemerintahan (politik). Sudah bukan masanya lagi perempuan dijadikan second person, namun perempuan berhak bersuara dan berperan di semua lini kehidupan.

Datangnya ide dan proses kreatif Sahita
Gathik Glinding bukan karya pertama dari Sahita, sebelumnya mereka telah mementaskan beberapa repertoar seperti Srimpi Srimpet dan Pangkur Brujul. Karya demi karya mengalir seiring perjalanan proses kreatif mereka. Kelompok Sahita menggarap karya-karyanya dengan proses yang sederhana dan unik. Dikatakan oleh Wahyu Widayati yang akrab dipanggil mbak Inong dalam sesi wawancara setelah pentas yang dimoderatori oleh Butet Kartaredjasa, biasanya ide tidak dicari-cari tapi datang ketika jagongan dan obrolan santai. Dari situlah kemudian ide dimatangkan. Secara teknis, kelompok yang berdiri tahun 2001 ini banyak belajar tari dan nembang dari para guru tari dan saling mengajari nembang satu sama lainnya. Selain itu mereka juga rajin mengikuti workshop-workshop tari. Mereka merangkai ide dan teknik kreatif  menjadi jalinan karya teater tari yang seru, segar, dan gokil habis.

* Andy Sri Wahyudi, reporter skAnA, aktor dan sutradara Bengkel Mime Theatre
(terbit di skAnA volume 10, Juli-November 2009)
—-
Komentar Penonton:
Amazing…sempurna..Seumuran ibuku masih bisa main teater?  WOWW!! Nonton Gathik Glinding tuh…rasanya kayak ciuman pertama…ahahaha… (Ayu Indra Ciptaningrum, Mahasiswa UNY, jurusan Matematika semester 4, usia 20 tahun…)
Melihat pertunjukan Gathik Glinding, jadi inget nenek saya kalau lagi “ngudang” cucu-cucunya, sumeleh, ger-geran tapi dalam maknanya, seperti sudah maklum sama dunia. Adegan perempuan berdeklamasi kok bikin rasanya jadi puber lagi ya? (Gozali, Pekerja Seni, usia 26 tahun)
                        

Rabu, 20 April 2011

6 pucuk puisi


kenang-kenangan

pernah, ketika siang
ku menyapamu di sebuah kedai kecil
tempat biasa ku melepas rasa lelahku
kau tersenyum sambil berlalu setelah itu
senyummu terbang tertiup angin ke arahku
bergegas kutangkap dan ku bawa lari ke fotocopy

terima kasih,
kulaminating senyummu menjadi hiasan dompetku
                       
jogja 2002



sore itu datang lagi padaku
:her

ini sore kamboja yang dulu
yang terlalu panjang menjadi benang layang-layang
dan kelewat lugu untuk menjadi lagu anak-anak

di setapak jalan hujan itu, masih ditumbuhi bunga tanah
yang pernah bertaburan di seragam sekolah kita
yang berjatuhan di sepanjang tahun
dan berubah biji matahari di bawah pohon bambu
tempat tuhan mengirimi kita hujan pertama.

matahari kita tumbuh kemarin sore,
ia menulis biografi remaja di tembok rumahku

jogja 07-08




di gubuk depan kuburan

buat ayahku

nisan, wangi kamboja, suara burung hantu, bulan pucat
dan  langit abu-abu

sesuatu melawat di sela deret percakapan
mungkin semacam rindu atau catatan luka yang pongah,
seperti angin yang merubah bentuk sunyi menjadi jeruji
angin yang membawa wangi kamboja
menyelusupi dingin tubuh yang suntuk mengusir ironi

dalam gelap dan asin air mata,
kita akan membuat api untuk menyalakan mimpi
atau menggambar peta dan arah angin pada dinding bambu
biarkan jari-jari tangan bergetaran meraba-raba peristiwa
mencari pintu dan jendela yang membuka langkah
sebab jalan pulang telah ditumbuhi pagar berduri

baiklah,  setelah ayam jantan berkokok nanti
kita mulai menumbuk padi, lalu membeli amunisi
menyusun genteng-genteng dan batu-bata yang berserak
membuat rak-rak sejarah di halaman rumah
dan kembali menata pertemuan di ruang tamu

meski bulan masih pucat dan langit masih abu-abu
kita masih bersanding hangat dengan kubur leluhur
kubur yang menabur detak-detak hidup

mulut, jari-jari tangan dan kaki masih sanggup
merawat tahun-tahun yang telah tersungkur.
juga masih setia menyirami dengan air kendi,
membersihkan debu-debu, mendongeng legenda para jawara
yang mati diberondong peluru belanda.
atau menyanyikan tembang-tembang tak terkalahkan.
tembang dari keringat tanah kelahiran, yang mengalir
sederas anak panah arjuna di kurusetra.

di kurusetra!

minggiran, april 2008 


aku masih patung itu

aku masih patung itu
yang dulu datang menggores arah
tapi linglung diputaran malam
mencari rombengan sejarah.  pulang,
ingin mengecat tubuh  dan menulis badai
yang sempat mampir di ruang tamu
bermeja retak dan berkursi patah

di jalanan dan silap lampu kota
ketika dingin memecah langkah
aku mengeja jejak yang melingkar
di seputar wajah yang lupa
lantas deras hujan!
juga kelebatan bayangan!

aku masih patung itu
yang dikelilingi kecurigaan
menunggu dada berdebar
dan lirikan mata-mata, yang memburu
dengan mulut berkerat-kerat

tubuhku  memuntahkan sepi;
yang tak sepatah waktupun berteriak
memanggil nama-nama sahabatku

di hingar tidurku, terdengar
genderang drumband hantu
bararak menuju jauh yang hilang
dan semakin mematungkanku
di ujung gelap melawan arah
sambil melempar tanda tanya!

Nitiprayan 2008


cerita pagi supri

supri sedang bercermin sambil bernyanyi lagu-lagu rohani. bayinya menangis menetek istrinya yang sedang bermimpi mengoleksi perkakas dapur. sajadah di jadikan sprei dan pembungkus bekal sekolah anak-anaknya. segelas kopi dan sebatang rokok bercerita tentang musim paceklik jatuh di atas ranjang. sebuah dapur tanpa asap menjadi hantu pagi pucat pasi. kini supri telah mencair bersama matahari, menciumi hangat jalanan beraspal sambil menabuh genderang!

2ribu7

setengah abad ibu

setengah abad ibu berdandan di kamar mandi, menggambari wajahnya dengan embun dan hujan. membayangkan shinta, drupadi, dan nawang wulan meludahi kesetiaan. tak ada bunga tumbuh di kepala, kecuali melati coklat kering temangsang di pelipisnya.
pernak-pernik cerita menguap di bibir berpoles gincu warna besi tua, matanya khusyuk menatap waktu.
ia tak lagi ingin cantik, tubuhnya tak lagi ingin wangi, diam membiarkan lelaki jumpalitan  menjelma api membakari cerita paginya yang selalu gagal ia padamkan dengan air mata.
setengah abad ibu berdandan di kamar mandi menggambari wajahnya dengan embun dan hujan. membayangkan shinta, drupadi, dan nawang wulan meludahi kesetiaan.
setengah abad sudah ibu!

jogja, 2006